Tanpa adanya kontrak dan ikatan, penulis lepas begitu rentan akan keadaan finansialnya. Ko bisa kaya gitu? Begini, sebagai penulis lepas, tawar-tawaran harga acap kali menjadi hal yang sangat jarang terjadi. Bahkan rata-rata, harga per satu tulisan biasanya telah dipatok oleh perusahaan itu sendiri.
Â
Sebagai informasi saja, masih banyak perusahaan media yang hanya membayar Rp8.000 untuk satu artikel yang dimuat. Itupun kalian masih harus bersaing dengan ratusan orang agar konten tulisan dapat naik dan mendapat uang seharga satu lele goreng itu. Parahnya, jumlah rupiah tersebut jika akan ditarik oleh sang penulis, harus mencapai nilai minimum penarikan, misalnya saja Rp200.000.
Itulah yang saya bilang sebagai kerentanan keadaan finansial. Tapi itukan di media dan notabene sebagai penulis lepas yang berlabel content writer, beda dong sama penulis buku?
Baiklah, jika itu kemudian menjadi pertanyaan yang diajukan, saya akan menjawab seperti yang pernah Mas Puthut Ea pernah sampaikan di kanal YouTubenya bahwa, royalti buku itu tergantung dari seberapa banyak buku yang terjual dalam satu tahun. Pembayaranya pun tidak setiap bulan, ada yang 3 bulan sekali atau bahkan 6 bulan sekali.
Atau bahkan, mendengar dari cerita teman saya yang seorang penulis novel sih, royalti yang diterima biasanya sebesar 15% per satu penjualan. Dan itu dibayarkan jika ada yang membeli bukunya, jika tidak, ya berarti tidak ada pemasukan sama sekali.
Lebih lanjut, saya tidak tahu ini keadaan buruk atau bukan, tapi nyatanya, menjadi seorang penulis lepas kalian harus siap dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, profesi penulis apalagi lepas, lebih sering dimaknai sebagai tukang buku, tukang cetak kalender, atau tukang ketik makalah dan macam hal lain yang berhubungan dengan keyboard laptop. Syukur-syukur engga dianggap wartawan bodrek juga.
Terakhir sebagai penutup, itu mungkin keadaan buruk yang pernah saya pribadi dengar dan rasakan. Saya pun masih yakin, bahwa masih banyak di luar sana yang pernah merasakan hal lebih buruk dari itu. Apalagi bagi mereka yang menjadi kontributor lepas media di daerah, sudah tidak jelas kontraknya lalu gaji masih dihitung seberapa banyak tulisan yang bisa dibuat dan ditampilkan, bisa-bisa sih kaki jadi kepala, kepala jadi kaki.
Yasudah, itu saja yang bisa saya ceritakan. Bagi yang tetap ingin menjadi penulis lepas, silahkan saja dan tentunya harus tetap semangat. Lalu, pertimbangkan juga segala macam yang akan dihadapinya. Lha iya, gimana lagi kan? Kalau kata senior saya sih di lembaga pers dulu bahwa menulis itu kan candu.
Terus kalau akhirnya merasa pedih ya sabar saja. Toh kalau kata Soleh Solihun juga pada tulisanya di salah satu media massa tahun 2016 lalu mengatakan bahwa di balik kesulitan selalu ada kemudahan. Di balik banyak tagihan, harus lincah mencari penghasilan tambahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H