Ponselku berdering dua kali tanda ada pesan WA masuk. Kala itu (27/12/18), baru dua hari aku merasakan minggu tenang sebelum UAS semester ganjil.Â
Ketika kuperiksa, ternyata bukan pesan masuk, melainkan sebuah notifikasi group baru. Group tersebut berisikan sekitar 10 orang lebih dengan nama "Jangan Tanya Ini Grup Apa."
Karena ada keterangan tersebut, kuurungkan niat untuk menanyakan lebih lanjut mengapa aku dimasukan ke dalam grup antah berantah itu. Singkat kata, salah satu anggota grup bertanya "Kapan mau berangkatnya?"
Pertanyaan yang bukan saja membuatku semakin penasaran, namun juga begitu membuatku bingung. Tak berapa lama, pertanyaan itupun ditanggapi oleh salah satu anggota grup lainya, "Kita ke sana (Wonosobo/Dieng) sebelum tahun baru, biar bisa tahun baruan di Dieng."
Baiklah, jika Wonosobo atau Dieng, aku setuju. Dieng, tunggulah kedatangku.
Tanggal 31/01/18, matahari pagi telah menyinari langit Yogya. Semburatnya mampu melewati celah sempit tirai jendelaku. Ponselku yang tersimpan di pinggir kasur telah berbunyi sebanyak 3 kali. Rencananya, hari ini aku bersama 8 orang lainya akan menempuh perjalanan panjang dari Yogyakarta menuju Dieng dengan satu kali pemberhentian di daerah Wonosobo, tempat tinggal salah satu temanku.
Pukul 13.00 WIB adalah waktu yang kita sepakati untuk berkumpul dan memulai perjalanan ini. Hanya saja, rencana tersebut cuma sebatas isapan jempol belaka karena pada buktinya, baru selepas ashar perjalanan ini dimulai.
Perjalanan kali ini aku berboncengan dengan temanku menggunakan motornya. Hal tersebut dilakukan mengingat beratnya medan yang akan dilewati dan telah tuanya usia motorku.
Langit mendung dengan terpaan angin diselimuti deburan asap kendaraan, menjadi suguhan kami sepanjang perjalanan Yogya hingga Magelang. Kondisi jalanan pun masih seperti biasa, padat dan mengakibatkan macet di beberapa Km tertentu.
Lepas dari Magelang, suguhan pemandangan sawah makin banyak aku lihat. Pun dengan pohon-pohon di pinggir jalan, daun berjatuhan tersapu angin dari kencangnya kendaraan yang lalu lalang.
Hampir 4 jam lebih kami menempuh perjalanan Yogya-Wonosobo. Sebenarnya, waktu tempuh yang lama ini adalah akibat dari salah satu jalan alternatif yang sedianya akan kami lewati tengah dilakukan perbaikan. Alhasil, kami pun memutar otak mencari jalan terbaik selanjutnya.
Pukul 19.00, kami pun sampai di pasar Kertek. Beberapa toko kelontongan dan baju masih terlihat buka. "Tidak jauh lagi dari situ," ungkap seseorang di penghujung telepon mengagetkanku yang tengah melamun menikmati dinginya udara. Benar memang, meskipun masih jauh dari Dieng, hawa dingin aku rasai kala itu semakin menusuk tulang.
Kami melanjutkan perjalanan, jalan yang sedikit gelap karena kurang penerangan menjadi sajian kami berikutnya. Mobil dan motor kian kentara kami lihat, baik yang akan menuju Dieng atau pulang dari Dieng.
Baru jalan 1 Km, tiba-tiba hujan datang. Deras, membasahi kami yang sedari tadi telah kedinginan. Kamipun berhenti di teras sebuah toko. Hampir 20 menit kami berteduh hingga akhirnya kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan.
Jalan semakin banyak kelokan dan juga tanjakan yang membuat motor meraung. Hingga tidak lama dari itu, rumah besar, dengan bangunan toko di depanya terlihat. Dua orang dengan memegang payung telah bersiap menyambut.
Hawa dingin kian menusuk. Sajian teh hangat manis dan beberapa piring gorengan telah menyambut. Juga, mie hangat --makanan khas kami (anak kos)--- telah tercium dari jauh. Suara petasan pun kian bersahutan dari berbagai arah, apalagi mendekati detik-detik pergantian tahun.
(01/1/19) Pagi yang begitu dingin di tahun yang baru. Sedianya, kami akan menuju puncak Dieng pada pukul 04.00 pagi. Hanya saja, cuaca dan kedaan tidak mendukung kami untuk mewujudkan hal itu.
Pagi harinya, untuk mengusir hawa dingin, kami mencari sarapan yang bukan saja nikmat di lidah tapi juga ramah di kantong.
Sego megono sendiri adalah nasi yang dicampur dengan sayur kol atau kacang panjang dan ditemani dengan gorengan hangat khas Wonosobo. Perpaduan gurihnya bumbu dan segarnya sayur benar-benar membuat kami puas kala itu, apalagi ketika kami tahu bahwa sepiring nasi megono hanya berkisar Rp 3000 kala itu.
Selesai sarapan, akhirnya kami berpamitan dan meminta izin untuk meneruskan perjalanan menuju Dieng. Biasanya, waktu tempuh dari rumah teman kami di Kertek menuju Dieng adalah 30 menit. Hanya saja karena waktu itu adalah hari libur Natal dan Tahun Baru, baru sekitar satu jam kita dapat mencapai puncak Dieng.
Benar-benar membuat kami tidak bisa berkata lagi kecuali menikmatinya dengan penuh rasa syukur. Dan tidak lama dari itu, kalimat "Selamat Datang di Dieng Plateau" menyambut kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H