Mohon tunggu...
Bujaswa Naras
Bujaswa Naras Mohon Tunggu... Penulis - Bergiat dalam aktivitas kajian kebijakan publik dan pemerintahan

Bergegas memperbaiki diri untuk Taman Kehidupan Bangsa Indonesia Berdaulat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Berpolitik dengan Moral dan Etika

29 September 2018   10:27 Diperbarui: 29 September 2018   11:02 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.merdeka.com

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyampaikan lima point penting, dalam pidato politik perdananya tantang moral dan etika politik. Menyambut pemilu 2019 dihadapan ribuan kader yang hadir di Kantor DPC Demokrat tertanggal 5 Januari 2018.

"Menjunjung tinggi moral dan etika politik, karena ini adalah kompetisi antar saudara, kami (Partai Demokrat) pernah menang dan kami kesatria"

Pergesekan antara tim sukses, tim sorak, dan berbagai jenis tim, menjadikan 'tensi politik' di tanah air meninggi seperti gunung yang mulai berasap. 23 September 2018 telah dimulainya kampanye, dimana para elit politik harus kerja ekstra untuk mempersiapkan diri, bertarung di pilkada  dan persiapan Pemilu presiden dan wakil presiden serta legislatif baik pusat hingga ke daerah, di bulan April 2019 akan datang.

SBY sebagai mantan Presiden Republik Indonesia ke-6 mengatakan "Pedoman tentang nilai-nilai kebajikan moral dan etika yang diajarkan agama dapat diaplikasikan dalam dunia sosial politik. Semua pemimpin politik, pemimpin agama dan tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk bersama-sama mendewasakan kehidupan politik dan demokrasi"

"Saya percaya etika politik dan ajaran tentang kebaikan dan moral akan membantu kita menemukan jalan untuk mengatasi masalah dan tantangan yang kita hadapi."

Ukuran berpolitik dan etika akan terlihat jelas pada masa kampanye 6 bulan kedepan. Bagaimana ucapan, tindakan dari masing-masing caleg, tim sukses, tim hore dan simpatisan.

Miris memang, beberapa kejadian yang melintas di layar televisi, gadget. Baik pemberitaan yang tidak seimbang, framing, tekanan narasi. Apalagi peredaran meme politik, sebaran hoax dan gerakan politik jual beli suara. Modus ini dengan telanjang pada beberapa pemilu sebelumnya, dikenal dengan politik uang, serangan fajar. 

Berharap ada kesantunan berpolitik, penggunaan etika ketimuran. Inilah ekpektasi beberapa tokoh negarawan, politisi yang masih memberi contoh berpolitik menggunakan moral dan etika. Sayang jumlahnya sedikit dari pada contoh yang membuang etika dan moral. Contoh kasus adalah para menteri menjadi bagian dari tim sukses.

15 menteri Kabinet Kerja menjadi timses pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, membuktikan rendahnya etika politik petahana. Pastilah kinerja para menteri terganggu, dan berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Masa kampanye 7 bulan, tidak mungkinlah seorang pejabat tidak mengarahkan program dan kunjungan untuk berkampanye.

KPU mepublikasikan dokumen di situs web, tercatat ada 15 menteri Kabinet Kerja yang masuk dalam daftar tim kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin untuk Pilpres 2019. Mereka adalah Menkopolhukam Wiranto, Menko PMK Puan Maharani, Mendagri Yjahjo Kumolo, Menkumham Yassona Laoly, Mensos Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Kehutanan Siti Nurbaya, Menhub Budi Karya Sumadi, Menaker Hanif Dhakiri, Menpora Imam Nahrawi.

Kemudian Menteri Koperasi Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, Menteri Desa Eko Putro Sanjojo, Menpan-RB Syafruddin, Menteri Basuki Hadimuljono dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Etika dan moral dalam berpolitik semestinya belajar dari sikap Pak Mahfud MD yang menolak menjadi Timses karena merasa tak elok karena beliau masih menjabat BPIP. Atau bisa juga meneladani etika Pak Din Syamsudin yang mundur.

Sedangkan pada tingkat kepala daerah, Sumatera Barat menjadi contoh tidak baik, termasuk beberapa wali nagari (kepala desa). Dengan keluarnya pernyataan beberapa walikota dan bupati menyatakan dukungan terhadap Jokowi. Sikap dan keputusan ini menyalahkan Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang pemilu pasal 490 sampai 494. 

Barangkali, mesti kita pemegang suara, masyarakat Indonesia melakukan pendidikan kepada elit politik dan menggerakan sahabat dan teman dan sanak saudara bahwa kitalah penentu perbaikan negara dan bangas Indonesia ini.

"Jangan Terima Uangnya, Pilih yang Bermoral". 

Bila kita menerima uangnya dan melakukan transaksi jual beli suara. Maka ada pelepasan hak kita dan nanti kita tidak bisa meminta pertanggungjawaban dari para anggota Dewan, termasuk Presiden terpilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun