Saat itu Ramadhan masih menaungi hari Jumat yang kutunggu-tunggu itu. Sengaja aku lewatkan satu mata kuliah untuk acara pengumuman lomba cerpen Islami pada sebuah gedung baru di UNY. ketika itu aku datang terlambat. sengaja tepatnya. Namun, ternyata acara itu belum dimulai sama sekali! hebat nian! Rencana pukul dua itu berubah menjadi setelah Salat Ashar! naasnya, aku yang masuk ruangan, salah duduk di barisan akhwat pula, baru terduduk beberapa detik, sudah mendengar ‘Kita mulai setelah Ashar, peserta dipersilahkan salat terlebih dahulu’. Senyum terkembang menatap orang yang diam-diam menatap.
Kembali berkumpul, nama disebut, dan berdegub kencang. tak sampai sepuluh besar!! Ada yang salah saat aku mendengar sinopsis itu. bahasa yang tak dalam, cerita ala sinetron (walau agak rumit), kenapa bisa masuk tiga besar? namun, saat aku mendengar seseorang bernama Eko yang ekspresif itu membacakan cerpen tentang lantai masjid itu, ya, aku, kami memang kalah. tak apalah, yang penting sertifikat di tangan.
Matanya yang tajam, tiba-tiba melotot, suaranya berubah-ubah seperti kesetanan, tangan mengepal dalam-dalam, seakan lelaki itu benar ada di dalam cerita yang ia ciptakan. bombastis…
Aku tersenyum, tak konsen antara kagum dan mencoba memahami. jaku ini naik turun, takut kalau-kalau mata yang mengerikan namun penuh makna seni itu menatapku. Dan belum ia tuntaskan, ia dipersilahkan menghentikan pembacaan. ia akhiri dengan pesan-pesan mulia, khas kedewasaan ala seniman dan guru jadi satu. ya, aku belajar dari itu.
Tetapi, bukan itu yang mengganggu pikiran ini. Adalah kemudian, saat pembicara yang mewakilik pembicara sebenarnya yang berhalangan hadir. lelaki dewasa yang sepertinya asdos itu dengan enaknya mengejek fakultas saya, FBS, yang justru mengadakan acara anak-anak TPA di bulan Ramadhan itu, daripada mengadakan lomba sastra macam yang dilakukan Fakultas MIPA ini. Tersenyum saya melihat betapa sok hebatnya manusia ini. Seandainya saat itu saya mempunyai pikiran ‘lalu, untuk apa FMIPA mengadakan acara sastra macam ini, yang tak berhubungan dengan bidang mreka? Lebih baik mereka mengurusi rumus-rumus dan penemuan ilmiah mereka!’. Sekarang, bagi Anda yang membaca tulisan ini, siapa yang tolol? Orang itu tak lebih manusia yang termakan katanya sendiri. Sayang, pemikiran ini hanya datang belakangan.
’saya ingin marah di depan Ayu Utami….bla ,bla, bla’
‘kata dalam puisi itu pernah dimuat dan diperdebatkan banyak sastrawan…’ lanjutnya dalam nada optimis dan raut wajah meyakinkan ala aktivis.
malas saya menjabarkan keburukan orang itu. seperti saya, Anda berhak mengadili tingkat kesombongannya.
Tapi, cerita tak sampai di sini! Ketika pembawa acara menyebutkan kriteria penilaian, ia menyebutkan ‘pemilihan diksi’. Saya tahu itu salah, itu bukan bidanganya. Tapi, seseorang di belakang saya berkata ‘diksi dkok dipilih..’ dengan tawa yang jelas mengejek. Saya tahu orang bernama Eko itu duduk tepat di belakang saya. Tapi jelas juga itu bukan suaranya. mendengar kata tadi, saya merasa bahwa mungkin ia adalah mahasiswa jurusan B.Indonesia. benar saja! pikiran saya berlalu pada masa ospek, dan wajah itu sempat muncul kembali. Pantas saja level ia dan kami yang kalah, jauh berbeda. Ternyata keduanya adalah teman dekat. Pemenang dan orang sombong satu itu. Orang itu dapat berkata sedemikian sombong, karena itu adalah bidang yang ia tahu benar. ia berada di ruang lingkup yang sangat ia kenal. namun ia tidak melihat siapa yang mengatakan kesalahan tersebut.
Cukuplah tiga kata yang membuat saya terganggu untuk kedua kalinya akan sifat sombong, hingga saya menuliskannya. itulah sebuah bibir dan kleganya: kata. berhati-hatilah. dan jangan berkata sebelum Anda melihat keadaan itu melalui sudut pandang yang berbeda. atau sebelum Anda membayangkan anda berada di posisi orang yang anda anggap salah itu. kesalahan: manusiawi. tak ada orang yang mau salah, bukan? hanya masalah waktu mereka untuk belajar, tidak melakukan kesalahan yang sama.
* * *
Tak henti aku melihat jam tangan yang tersembunyi di balik sweater. 4 20 sore, lebih. Mengapa tak juga selesai ia bicara? Pikiranku melayang pada mereka yang mungkin saja telah berkumpul di suatu tempat, sekolah lama yang tercinta. waktu itu terasa begitu lama tanpa mereka. kupaksakan dalam gusar hingga lima kurang sepuluh. Akhirnya acara selesai. aku keluar, dan berjalan begitu cepatnya. Persetan dengan wajah yang bertanya keheranan itu! lima lebih, bus bergerak lambat, sial! Aku mulai menghardik ketidaktegasanku dalam mengambil keputusan.
Bayangku, mereka telah menunggu, aku dan beberapa yang lain.
Bayangku, kumpulan teman lama itu akan tersenyum menyambutku yang muncul dari ujung gang itu. lalu, tempat itu akan dipenuhi tawa sampai malam.
Dan bus berhenti, setelah lampu merah. Aku menyeberang, berlari tanpa peduli hirauan. aku berlari secepatnya, demi waktu. Tidak, demi aku dan kesempatan, kebersamaan yang lebih lama. dengan mereka. Lima puluh meter kutempuh begitu cepatnya. Dan, ya! Kelokan itu!Di sana! setelah itu, aku akan menemukan mereka! Yang tersenyum pada aku yang jarang dapat mereka temui… Masa-masa dirindu saat SMA… terbaik! Sedikit lagi kembali!
Dan ketika itu, wajahku berpaling ke arah kiri, terus melangkah…
Namun… perlahan terhenti.
Kabur, nafasku terengah-engah. Yang sebelumnya coba kusembunyikan, mulai terlepas.
Jalan itu begitu sepi… Hanya dua.
In memories of our warmth, breakfast, and unforgetable old famz. Call me and i’ll be yours, for the name of friendship.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H