Mohon tunggu...
Rivki Maulana
Rivki Maulana Mohon Tunggu... -

Dinu Kiwari Ngancik Nu Bihari

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dari Slovakia Menuju Cipunagara

5 Juli 2011   10:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:55 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1309860020269856859

Alangkah kagetnya Lucia Janeckova ketika tiba di Desa Tanjung, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang. “Saya bingung pake gayungnya gimana dan saya belum pernah membayangkan seperti ini ,” ungkap mahasiswi Economics University, Slovakia, negeri di Eropa Timur.  Pengalaman itu Luci – begitu ia disapa – dapatkan ketika mengikuti progam Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa Asing (KKNMA) periode Januari lalu. Di sana ia bergabung dengan mahasiswa Indonesia dan lima mahasiswa asing lainnya. Mereka adalah Jihoo Lee (Korea Selatan), Olive Gordon (Australia), Amy Yin, Amy Lin (RRC), dan Johan Hung (Taiwan).



Luci dan kawan-kawan berada di Subang selama enam pekan dan merancang dan melakukan beberapa program sebagaimana halnya mahasiswa Unpad yang sedang mengikuti kuliah kerja nyata mahasiswa (KKNM). Sebelum menyusun program, mereka melakuka pemetaan social dan menganalisisnya dengan metode SWOT.

Hasil analisa mereka menunjukan  di Desa Tanjung : anak-anak putus sekolah di umur 15 ; tidak ada guru bahasa Inggris, tidak ada perpustakaan, tidak ada pendidikan kesehatan dan lingkungan, dan saluran air mampet

Berdasarkan hasil analisis tersebut, Luci dan kawan-kawan merumuskan programnya menjadi tiga bagian pokok, yakni pendidikan, kesehatan dan lingkungan. Di bidang pendidikan, Luci dan peserta KKN lainnya membangun sebuah perpustakaan. Mereka juga mengajar beberapa mata pelajaran, terutama bahasa Inggris  dan membuat kelas tambahan setelah bubaran sekolah. “Sangat menakjubkan, mereka begitu senang belajar bahasa inggris dan di akhir KKN, mereka tahu beberapa kata dan mengatakannya pada kami, ” tutur Luci.

Anak-anak sekolah di Desa Tanjung juga diajarkan cara membersihkan gigi. Selain itu, mereka juga diberi tahu betapa pentingnya membersihkan tangan sebelum dan sesudah makan. Yang unik, mereka juga membuat piramida makanan untuk mengajarkan makanan apa saja yang penting bagi kesehatan gizi mereka (rendah kalori). Selama ini, anak-anak di desa Tanjung kerap mengkonsumsi jajanan yang kurang higienis.

Jalan desa di lokasi KKN memang tidak rusak berat, tapi setiap hujan lebat turun, air langsung menggenangi jalan. Drainase jalan di desa ini mampet  karena banyaknya sampah. Saluran air yang kotor dan tergenang merupakan tempat yang sangat kondusif bagi pertumbuhan jentik nyamuk. Untuk itu, tim KKN Desa Tanjung bersama warga membersihkan saluran air sepanjang jalan desa.

Semua program tersebut bisa dilaksanakan dengan baik Luci dan kawan-kawannya yang notebene mahasiswa asing, tidak fasih bahasa Indonesia. Luci sendiri mengaku tidak menemukan kendala bahasa selama mengikuti program KKNMA ini. Ia menerangkan, jika ada hal penting, mahasiswa Indonesia membantu dia menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Luci dan kawan-kawan juga belajar sesuatu dari bahasa Indonesia. “Saya dan Oliver bisa mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia, dan itu sedikit membantu,” ujarnya.

Hal ini juga diakui koordinator KKNMA, Marleen Herudianto. Menurutnya, kendala yang ada tidak dominan di faktor bahasa, tapi koordinasi antara LPPM dan AIESEC. Kedatangan Lucia dan lima mahasiswa asing lainnya memang difasilitasi AISEC lokal Bandung, unit kegiatan mahasiswa yang kerap mengadakan program pertukaran pelajar.

Marleen menjelaskan, mahasiswa asing yang mengikuti program KKN tidak dibekali rencana kerja yang rinci sehingga mereka mengalami kebingungan di lapangan. “Mereka gak tau apa yang harus mereka lakukan di desa, sementara mereka kan terbiasa well planned,” Ujar Dosen FTIP ini.

Hal ini, lanjut Marleen berimbas pada penyusunan program kerja yang mepet karena mahasiswa asing tidak punya waktu yang cukup untuk menyusun program kerja. Selain itu, mereka kurang suka dengan akomodasi yang disediakan di desa, terutama MCK. “tapi di akhir mereka bilangwonderful,” ungkap Marlen sembari tersenyum.

Rakhmi Annisawaty, selaku trainee manager AIESEC mengakui, mengkoordinisasi mahasiswa asing bukanlah hal mudah. Ia meminta pihak LPPM lebih mengerti kondisi di internal AIESEC sendiri. Selain itu, AIESEC juga meminta akomodasi dan transportasi yang lebih baik bagi mahasiswa asing yang mengikuti program ini.

Terkait hal ini, Luci menyarankan agar pihak-pihak yang berwenang membagi peran secara jelas, terutama peserta program seperti dia. Ini penting dilakukan agar pada periode selanjutnya (Juli) tidak terjadi hal serupa.

Pulang dengan segudang pengalaman

Banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman mengikuti KKNMA di Subang. Luci menuturkan, banyak hal menakjubkan yang ia temui di sini dan itu sangat berbeda dengan Slovakia. Menurutnya, orang Indonesia sangat ramah dan ringan tangan, selalu sedia membantu orang lain. “Di sana (Slovakia), orang baru akan membantu kamu kalau kamu memintanya,” ungkap perempuan berambut pirang ini. Namun, jarang sekali orang Slovakia yang membantu meski diminta, bahkan, terkadang mereka bisa marah karena dianggap menganggu.

Orang Indonesia juga sangat baik hati, mereka selalu membantu jika saya butuh dan mereka selalu bertanya jika saya butuh bantuan mereka. Di mata Luci, orang Indonesia sangat bersahabat, semua orang ingin berbicara dengannya dan berfoto bersama. “Lucu sekali, terkadang ada orang tak dikenal meminta kami berfoto dengannya di pinggir jalan,” tuturnya.

Hal lain yang membuat Luci kaget setengah mati adalah tempat tinggal selama KKNMA. Ia sangat kaget di sana tidak ada tempat tidur dan kursi sehingga ia harus tidur dan duduk di lantai. Tapi lambat laun ia mulai merasa kerasan karena pemilik rumah selalu menyuguhkan masakan Indonesia. Orang-orang desa juga sering melontar senyum dan berusaha berbicara padanya dan Luci sangat menyukai kondisi ini.

Di saat tidur, Luci selalu terbayang negerinya Slovakia di mana saat itu musim dingin tiba dan suhu mencapai minus 10®C. Itu lebih baik karena di sini suhu bisa mencapai 35®C. Luci juga tak percaya, bagaimana senja bisa datang begitu cepat di sini. Di Slovakia, hari baru berganti gelap pukul  9 malam, sementara di Indonesia, terangnya siang habis pukul 6 sore.

Semua pengalaman dan pelajaran yang Luci dapatkan dari program ini, harus dibayar dengan pengorbanan yang besar. Luci mengaku, ia merogoh kocek sangat dalam untuk sampai di Indonesia. Perjalanan ke Subang adalah trip paling mahal dalam hidupnya karena ia terbang hamper setengah belahan bumi. Tapi, biaya hidup di desa sangat lah murah, tidak seperti di Bali yang sama mahalnya dengan Slovakia.

Berapa jumlah kocek yang ia keluarkan untuk mengikuti KKNMA? “Saya tak ingin mengatakannya, yang jelas, itu jumlah uang  yang banyak kok,” tuturnya.

Agustus 2010

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun