Aksi bela Islam yang diinisasi oleh GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelisn Ulama Imdonesia) selalu dipandang sebagai aksi yang tidak konstitusional, anarkis, makar, ditunggangi kepentingan politik dan segala macam pandangan negatif lainnya. Padahal, aksi tersebut digelar tak lain dan tak bukan, hanya untuk menuntut keadilan hukum atas kasus Ahok yang saat ini sudah menyandang status “tersangka.”
Belum puas memandang negatif aksi damai bela Islam, mereka juga menggelar aksi tandingan. Pasca aksi bela Islam jilid II yang digelar pada 4 November lalu, kelompok yang selalu berteriak aksi bela Islam “ditunggapi kepentinggan politik” ini juga menggelar aksi tandingan bertajuk “Parade Bhinneka Tunggal Ika.”
Maksud hati mungkin ingin mengalahkan dan memukul telak aksi bela Islam jilid II yang digelar sebelumnya. Namun yang terjadi justeru sebaliknya. Jumlah peserta Parade Bhinneka Tunggal Ika tak segemuruh, semeriah, dan seramai aksi bela Islam jilid II.
Tuduhan-tuduhan negatif yang selama ini mereka lancarkan kepada umat Islam selalu saja blunder. Tak hanya blunder, tuduhan mereka justeru berbalik dan menimpa mereka sendiri.
Salah satu contoh, pasca aksi bela Islam jilid II (411) kemarin, mereka berteriak bahwa peserta aksi dibayar. Tuduhan bayarannya pun beragam, mulai dibayar 50. 000, 100. 000, hingga Rp. 500. 000 per orang. Foto Jubir FPI Munarman saat membagi-bagikan duit pun beredear di media sosial. Entah darimana foto itu mereka dapatkan, yang jelas foto itu sempat ramai menjadi perbincangan hangat para netizen.
Tak berselang lama, para “pendukung Ahok” yang selama ini selalu berteriak peserta aksi bela Islam dibayar dengan menunjukkan bukti foto Munarman, teriakan tersebut malah dipraktekkan oleh mereka sendiri. Terbukti, ketika parade Bhinneka Tunggal Ika, banyak beredar foto bagi-bagi duit. Tak hanya foto, rekaman video bagi-bagi duit kepada peserta parade Bhinneka Tunggal Ika juga banyak tertebaran. Bahkan, ada salah satu peserta yang ngamuk-ngamuk karena mengaku tak dibayar.
Contoh selanjutnya. Mereka termasuk para “pendukung Ahok” selalu berteriak bahwa aksi bela Islam “ditunggangi kepentingan politik.” Tuduhan tersebut dilancarkan, ditenggarai karena dalam aksi bela Islam 411 kemarin juga diikuti oleh sejumlah politikus kenamaan tanah air seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Selain Fadli Zon dan Fahri Hamzah, mereka juga menuduh si #Pepo sebagai dalangnya. Entah darimana informasi yang mereka dapatkan, hingga mereka berani menuduh demikian.
Lagi-lagi mereka blunder. Tuduhan “ditunggangi kepentingan politik” yang selalu mereka teriakkan, justeru menimpa mereka sendiri. Jika aksi bela Islam diinisiasi oleh Habib Rizieq yang notabene non partai dan tak pernah berpolitik. Berbeda dengan aksi tandingan “Parade Bhinneka Tunggal Ika.” Acara itu justeru diinisiasi oleh tokoh sekaligus aktor politik praktis. Iya, parade Bhinneka Tunggal Ika itu digagas oleh Hasan Nasbi Batupahat. Sangat jelas dan terang benderang kemana arah dan tujuan rangkaian acara parade tersebut digelar. Hasan Nasbi adalah konsultan politik yang berasal dari Cyrus Network. Dia adalah pimpinan tertinggi dan raja dari segala raja pasukan Teman Ahok. Jadi, sekarang yang manakah aksi yang “ditunggangi kepentingan politik.” Aksi bela Islam atau Parade Bhinneka Tunggal Ika?.Silahkan simpulkan sendiri.
Selanjutnya, aksi bela Islam jilid III (212) telah berakhir. Terbukti gelaran aksi berjalan aman, tentram dan tanpa tindakan anarkis sedikitpun. Umat Islam mematuhi perjanjian yang disepakati sebelumnya. Mereka tertib, tidak merusak tanaman, tidak nyampah, dan tepat waktu. Tepat pukul 13.00, umat Islam beranjak meninggalkan lokasi aksi (Monas).
Kabar berhembus, besok, Minggu 4 Desember 2016, akan digelar aksi tandingan kembali. Aksi dengan tema kawal dan dukung pemerintahan Jokowi-JK tersebut bertajuk “ Kita Indonesia.” Semoga saja peserta aksi tidak merasakan kekecewaan kembali, sepeti halnya peserta “Parade Bhinneka Tunggal Ika” yang digelar sebelumnya.
Menurut informasi intelijen, Partai Golkar sudah mengerahkan kader, anggota, dan simpatisannya berjumlah 120.000 orang dari berbagai daerah di Indonesia.