Masjid berasal dari bahasa arab yaitu isim makanyang menunjukkan kata tempat, jadi secara umum merupakan tempat sujud, dengan kata lain merupakan tempat untuk melakukan ibadah shalat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa untuk melakukan sujud atau shalat tidak terikat pada tempat tertentu, melainkan dapat dilakukan dimanapun selama tempat tersebut merupakan tempat yang suci dan bukan merupakan tempat yang dilarang. Hal ini berdasarkan pada hadits nabi Muhammad SAW:
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ً
Artinya: “Dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci lagi mensucikan.
فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
Artinya: “Maka di mana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat”.
Dari kedua hadis tersebut di ketahui bahwa tanah di muka bumi ini adalah suci lagi mensucikan, maka dapat gunakan sebagai tempat untuk melakukan ibadah.
Pengertian masjid jika ditinjau secara sosiologis, yang berkembang pada masyarakat Indonesia, yang dapat dipahami sebagai suatu tempat atau bangunan yang digunakan oleh umat muslim unutk melakukan ibadah shalat baik itu shalat rawatib maupun shalat sunnah. Namun pada hakikatnya Masjid bukan hanya tempat untuk melaksanakan ibadah secara rutin, akan tetapi juga sebagai tempat untuk melaksanakan segala aktivitas orang Islam yang berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah SWT.
Pada dasarnya segala kegiatan dan aktivitas yang dilakukan di masjid tentu membutuhkan dana. Oleh karena itu eksistensi masjid sebagai tempat ibadah mahdhahtidak bisa dipisahkan dari pengelolaan dana yang berasal dari sumbangan umat Islam yang tidak mengharapkan adanya balasan ataupun imbalan apapun, kecuali mengharapkan ridha Allah SWT. Namun demikian tetap adanya tuntutan transparansi dan akuntabilitas oleh pengurus masjid (ta’mir) dalam pengelolaan dana umat Islam tersebut. Meskipun realitanya telah ada upaya transparansi dalam pengeloaannya, dengan ditunjukkan melaui pengumuman keadaan kas oleh ta’mir masjid yang biasanya dilakukan sebelum shalat jum’at, namun hal ini masih dianggap kurang transparan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya audit untuk memastikan bahwa dana yang dikeloal tersebut telah benar-benar di gunakan untuk kepentingan umat.
Isu tentang adanya audit terhadap masjid merupakan isu yang baru. Namun untuk peranapannya telah dilakukan di beberapa masjid di negara Amerika Serikat, akan tetapi untuk konteks audit masjid di Indonesia secara umum belum ditemukan untuk audit secara rutin. Isu audit di Indoensia muncul ketika terdapat ditemukan beberapa penyelewengan dana yang dilakukan di beberapa masjid terkait pembangunan dan renovasinya. Sebagai contoh masjid Agung Maros di Sulawesi Selatan yang diduga dikorupsi milliaran rupiah, ada juga kasus penyelewengan dana proyek Masjid Jami Al-Amin di Kelurahan Tanjung Palas Hilir, kabupaten Bulungan, dan beberapa masjid lainnya.
Meskipun audit terhadap masjid dilakukan hanya sebatas pada kegiatan pembangunan dan renovasinya, akan tetapi tidak ada salahnya ketika pelaksanaan audit tersebut diterapkan untuk mengaudit aktivitas keuangan masjid, karena tidak menutup kemungkinan adanya penyelewengan dana yang dilakukan oleh beberapa oknum pengurus masjid yang kurang bertanggung jawab. Oleh karena itu adanya audit masjid ini akan mengungkap apabila terjadi penyelewengan dana, kalaupun tidak ditemukan adanya penyelewengan dana masjid, setidaknya akan memberikan transparansi pengelolaan dana sehinggan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap ta’mir masjid tersbut.
Adanya isu audit masjid ini merupakan suatu konsep yang jitu dalam melakukan transparasi dan akutabilitas pengelolaan dana sumbangan yang diberikan oleh masyarakat. Namun kemudian timbul masalah tentang feeyang diberikan untuk auditor. Untuk mendatangkan seorang auditor tentu bukan lah permaslahan yang mudah, karena mengingat adanya fee yang harus dibayarkan kepada auditor.oleh karena itu adanya usulan tentang audit dengan bayar yang rendah dan bahkan secara sukarela untuk melakukan audit masjid. Dalam hal ini penulis kurang setuju dengan adanya usulan audit sukarela ini. Mengingat seorang akuntan merupakan suatu profesi yang professional layaknya dokter, psikolog, dan beberapa profesi lainnya. Penulis berargumen bahwa audit sukarela ini akan menurunkan nilai profesionalitas seorang akuntan atau auditor.
Penulis berpendapat bahwa untuk pelaksanaan audit masjid dapat terapkan pada masjid-masjid besar yang berada di perkotaan, dan yang telah memiliki pendapatan yang besar dari sumbangan. mislanya masjid-masjid yang telah mendapatkan pengasilan mingguan di atas puluhan juta. akan tetapi audit untuk masjid yang kecil yang masih memiliki pendapatan yang kecil, penerapan audit ini cukup dilakukan oleh tokoh masyarakat ataupun dengan cara pembukuan kas yang baik dan pelaporannya, dan pengurus sudah siap apabila sewaktu-waktu masyarakat atau pihak lain yang menginginkan laporan keuangannya.
Jika melihat pada problematika yang ada di Indonesia, pengurus biasanya tertutup dan tidak menerima aspirasi dari masyarakat, mereka sulit untuk merubah kritik menjadi suatu masukan yang positif. probematika yang lain juga ada pada masyarakatnya yang terkadang bersikap non aktif. Sehingga apapun yang diberikan atau dilaporkan oleh pengurus masjid diterma apa adanya.
Dalam melakukan audit masjid, selain keuangannya yang dapat diaudit, kinerja pengurus masjid (ta’mir)nya juga dapat di audit. Jika melihat pada realitas yang ada, khususnya di Indonesia, pengurus masjid biasa nya akan menjabat sebagai pengurus dalam jangka waktu yang lama, bahkan dapat dikatakan jabatan pengurus masjid ini merupakan jabatan seumur hidup. Pengurusnya akan diganti apabila telah meninggal dunia, tanpa memperhatikan kinerja pengurus tersebut telah baik atau belum.
Oleh karena itu adanya audit senantiasa akan menjadi control ataupun peringatan bagi pengurus masjid agar senantiasa meningkatkan kualitas kinerja nya dalam mengurus masjid. Audit juga bertujuan untuk mencari jika dalam pengurusan terdapat masalah antar pengurus kekompakan pengurus masjid sangat berpengaruh terhadap kehidupan masjid. Kegiatan-kegiatan masjid akan berjalan baik dan sukses apabila dilaksanakan oleh pengurus yang kompak bekerjasama.. Berhasil atau gagalnya pengelolaan suatu masjid, sangat bergantung pada kepengurusan yang dibentuk dan sistem yang diterapkan dalam manajemen dan organisasinya.
Masjid dengan berbagai kebijaksanaannya termasuk masalah keuangan yang harus dikelola secara transparan, sehingga para jama'ah dapat mengikuti perkembangan masjidnya secara baik. Masjid yang dirasakan sebagai milik bersama dan dirasakan manfaatnya secara maksimal oleh para jama'ah akan mendapat dukungan yang kuat, baik dari segi pembangunan maupun dana. Oleh karena itu dalam pengelolaan masjid harus ada penerapan good corporate government(GCG) yang merupakan suatu tata kelola yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggung jawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).
Pada saat sekarang ini, penerapan good corporate government(GCG) di Masjid merupakan suatu keharusan yang diterapkan, mengingat pertanggung jawabannya dapat berupa pertanggung jawaban yang bersifat vertikan dan juga yang bersifat horizontal. Dimana pertanggung jawaban horizontal adalah pertanggung jawaban pengurus kepada masyarakat yang menyumbangkan dana nya kepada masjid. Adapun pertanggung jawaban vertikal adalah pertanggung jawaban kepada Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H