Makin tertangkap nggak sih keanehan itu?
Tapi karena perlu untuk diobati, akhirnya jadwal yang diberikan oleh pak Tikno melalui Imran saya okekan aja.
"Randy, ini jadwal dari pak Tikno sudah ada. Pak Tikno mau ngurut penyakit elo hari Kamis sore minggu depan ya, jam setengah empat sore. Bisa kan ya?" begitu tegas Imran.
"Insyaallah bisa Imran." Jawabku.
"Jangan insyaallah dong, kalau pake kata insyaallah kan kesannya ngga pasti gitu." Desak Imran.
"Lho, nggak kebalik Im? Kalau ditambah kata insyaallah, yang buat janji kan berarti akan semakin serius, yopora?" jawabku memastikan.
"terserah lo deh, yang penting jangan terlambat. Soalnya pasiennya banyak. Ntar gue jemput di halte bus Stasiun UI ya." Begitu nada Imran ingin memastikan.
"iya...iya... gue dateng ko nanti. Ok, kita ketemuan ya di stasiun UI." Jawabku sambil tersenyum lebar agar membuat hati Imran tenang. Jadi nanti rencananya, saya naik commuter line sampai stasiun UI, dari UI bareng Imran ke rumah tukang urut langganannya itu, naik mobilnya Imran.
Hari Kamis sekitar jam dua siang, saya sudah di Stasiun UI, janjian dengan Imran agar tidak terlambat. Tiba di rumah pak Tikno, sekitar jam 15 lewat 20 menit. Masih cukup waktu, belum terlambat. Selamat pikir saya, nggak akan ditolak oleh pak Tikno.
Di rumah pak Tikno, saya merasa sedikit keheranan, kenapa saat tiba di situ, tidak ada seorangpun pasien yang mengantri menunggu giliran di urut? Lha, saya kira jadwal waktu itu dibuat karena ramainya pasien. Jadi, diberi jadwal yang pasti, agar tidak terjadi 'penumpukkan' pasien.
Saya utarakan keanehan saya ini ke Imran, tapi Imran hanya tersenyum. Ya sudah, saya mulai buka baju untuk persiapan diurut.