Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi Itu Harus Dipraktikkan, Bukan Teori Semata

23 November 2023   14:06 Diperbarui: 23 November 2023   14:17 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rangka hari Toleransi Internasional yang jatuh di setiap tanggal 16 November, Komunitas Wisata Kreatif Jakarta- yang dikomandani oleh mbak Ira Latief, mengadakan Tour Rumah Ibadah dengan tagline: Wisata Bhinneka atau Wisata Toleransi.

Tour Rumah Ibadah yang dilaksanakan pada hari Sabtu lalu, tanggal 18 November 2023 ini meliputi kunjungan ke 3 (tiga) rumah ibadah yang berada di ring 1', yaitu (diurut berdasarkan jadwal kunjungannya) Gereja Katedral - Masjid Istiqlal - GPIB Immanuel. 

Sekitar 30 peserta, termasuk saya di dalamnya, menjadi bagian dari kegiatan yang sarat nilai toleransi tersebut.

Pertama dari pesertanya yang sudah berasal dari beragam latar belakang dan tentunya beragam keyakinannya. Tapi kami sama-sama memiliki keyakinan untuk tidak masalah berkunjung ke tempat ibadah yang tidak sekeyakinan dengan kita. Kata orang Betawi sih,"emang napeh? masalah buat elo?"

Dengan berkunjung ke tiga tempat ibadah itu kita menjadi mendapat tambahan informasi tentang latar belakang kesejarahan Gereja Katedral, Masjid Istiqlal dan GPIB Immanuel - yang selama ini kita tidak ketahui.

Contohnya, biarpun saya muslim, sering juga mengunjungi Masjid Istiqlal, selain Istiqlal terkenal sebagai Masjid terbesar se Asia Tenggara dan masjid terbesar keenam di dunia, saya baru mengetahui kalau:

                                                                     Mengunjungi Masjid Istiqlal Jakarta

  • Ternyata di agak ke belakang dari Masjid Istiqlal, ada yang disebut dan diterangkan oleh Guide yang mengantar kami berkeliling, sebagai 'spot toleransi'. Jadi dari lokasi ini, bila kita memandang ke arah dimana Gereja Katedral berada, maka akan nampak Masjid Istiqlal berdampingan tidak terlalu jauh dengan Gereja Katedral. Dan ternyata memang Istiqlal dengan Katedral terlihat berendengan - walau Katedral terlihat agak sedikit ke bagian belakang. Menurut saya, pemandangan ini indah sekali, apalagi bila kita menikmati pemandangan ini di sore hari di areal terbuka Masjid Istiqlal yang berlantai coklat itu ditambah tamparan angin sepoi-sepori sore dan sinar matahari yang mulai menjelang tempat tidurnya di sore hari...wow, syahdu bener. Semoga spot toleransi ini dapat mewujud keinginan kita semua agar toleransi dapat permanen berada ditengah-tengah kita.
  • Masjid Istiqlal sangat ramah akan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Saat kemarin ini di sana hendak salat ashar, saya berpasan rombongan turis mancanegara, yang sepertinya berasal dari Korea - melihat raut mukanya, mengenakan seragam semacam kimono hanya memiliki tudung kepala (kapucang), baru saja keluar dari Istiqlal sambil mengeluarkan ala kaki/sepatu yang mereka bawa dan disimpan di tas goody bag berwarna merah. Ternyata saat bersama rombongan berada di information center, mendapat penjelasan bahwa pakaian bertudung kepala itu disediakan bagi turis yang ingin masuk ke Istiqlal tapi dengan mengenakan pakaian yang kurang memenuhi syarat untuk masuk ke dalam masjid (misalnya bercelana pendek atau rok setinggi lutut). Kemudian tas berwarna merah itu disediakan oleh pihak masjid bagi turis untuk menyimpan  sendal/sepatunya dan membawanya ke dalam masjid saat berkeliling di dalam masjid Istiqlal. Kamipun menggunakan tas merah tersebut.  Mengenakan kerudung bukan keharusan. Hanya saat meninjau ke dalam masjid, bila rombongannya non muslim, maka tidak dibawa ke ruang salat utama, tetapi langsung ke lantai dua, melihat tempat salat utama dari atas. Karena kami berombongan itu pesertanya campur muslim dan non muslim, kamipun langsung diantar ke lantai dua.
  • Istiqlal memiliki bedug yang berusia sangat tua (sejak sekitar tahun 1975) dan berukuran besar sekali. saking tuanya, bedug tersebut tidak digunakan lagi. Kalaupun menjelang azan ada suara bedug dan kentongan yang mengawali, itu adalah rekaman, bukan suara asli. Bedug yang terletak di bagian belakang Istiqlal ini memiliki bentuk yang unik. Yaitu kedua sisinya ditutupi oleh kulit sapi. Bedug biasanya kan hanya tertutupi kulit sapi - untuk tempat memukulnya, di satu sisinya saja, yaitu sisi depan, sisi belakangnya terbuka. Tapi ini berbeda. Konon lagi keunikannya adalah bahwa sisi depan lebih lebar dari sisi belakang, sehingga untuk kulit sapi penutup sisi depan, diperlukan satu buah kulit sapi jantan utuh - menggunakan sapi Madura. Sementara untuk sisi belakangnya menggunakan kulit sapi betina. Disamping filosofi yang menyatakan bahwa yang boleh dipukul hanya yang jantan, yang betina tidak boleh dipukul. Sangat bijaksana ya.
  • Masjid Istiqlal penuh dengan simbol dalam bangunannya, yang dihubungkan dengan Kemerdekaan RI, dengan rukun Iman dan Rukun Islam.
  • Masjid inipun mendukung konsep menjaga lingkungan sehingga di dalam bangunannya, dirancang untuk memiliki aliran udara/angin yang baik sehingga walau tidak menggunakan pendingin udara (AC), sudah terasa sejuk - dan memang Masjid Istiqlal tidak menggunakan AC. Disamping itu, tempat wudhunya dipenuhi nuansa dari perlengkapan terbuat dari stainless stell, untuk menghindari agar tidak mudah termakan karat.

                                                                     Berkunjung ke Gereja Katedral Jakarta

Kedua, dengan mengunjungi Gereja Katedral dan GPIB Immanuel, kami yang muslim, jadi mengetahui gereja itu seperti apa (demikian pula sebaliknya, non muslim yang berkunjung ke masjid Istiqlal). Apalagi Katedral dan Immanuel merupakan tempat bersejarah dan masuk kedalam kategori cagar budaya.

Di Katedral ada pula museum yang dapat dikunjungi - karena Katedral memiliki sejarah yang panjang, termasuk berperanan hingga proses kemerdekaan. Sayang saat datang ke Katedral, sudah agak terlalu sore, sehingga tidak dapat mengunjungi museumnya. Memasuki ke dalam Gerejapun hampir tidak bisa, karena Misa sore akan segera dimulai. Beruntung pihak Gereja masih mengizinkan kami masuk untuk melihat-lihat ke dalam Gereja dan mengambil beberapa foto.

                                                                    Mengunjungi GPIB Immanuel Jakarta

Di GPIB Immanuel lain lagi kisahnya. Tiba di sana, ternyata di dalam Gereja sedang ada tim paduan suara berlatih untuk persiapan pentas dalam rangka memperingati Hari Natal. Alhamdullillah tidak lama kemudian, ternyata mereka break latihan, jadi kami diizinkan untuk masuk ke dalam Gereja dan kemudian berbincang-bincang dengan salah seorang pengurus paduan suara yang bernama 'The Voice of Soul Choir'. Jadi makin seru nih bincang-bincang dengan mereka. Ternyata kemudian mereka berinisiatif untuk mempraktikkan apa yang sudah dilatihnya. Nggak tanggung-tanggung, mereka kemudian menyanyikan dua buah lagu. Luar biasa, suara mereka yang indah, ditambah bentuk dan struktur bangunan Gereja, dapat memantulkan suara, membuat suara mereka menjadi sangat kuat dan sangat indah. Membuat kami yang menyaksikannya menjadi sangat terpesona. Thanks for 'the show' and your hospitality yaaaaa.

                                                        Indah dan merdunya lagu yang dimainkan oleh tim Voice of Soul Choir

Ketiga, kegiatan seperti ini seharusnya dapat dicontoh, dan bahkan dipersering. Salut untuk tim Wisata Kreatif Jakarta - mbak Ira dan temans yang membuat kegiatan-kegiatan toleransi seperti ini. Mengunjungi rumah-rumah ibadah yang berbeda keyakinan dengan kita seharusnya dapat masuk menjadi kurikulum sekolah, mulai dari Sekolah Dasar. Sehingga dapat terjalin dialog-dialog antar umat beragama secara ringan tetapi sangat bermanfaat. Supaya tidak mudah timbul kecurigaan diantara yang berbeda karena minimnya pengetahuan antar beda iman ini.

Saat diminta memberikan feedback di akhir Wisata Bhinneka ini, saya menyampaikan bahwa sangat mengapresiasi kegiatan Wisata religi Bhinneka yang sarat nilai toleransi ini, karena memberikan kepada kita semua setidaknya tiga tipe literasi, yaitu: literasi edukasi, literasi toleransi beragama dan literasi rumah-rumah ibadah.

Berbeda itu nyata, yang harus dipertemukan adalah persamaannya, bukan perbedaannya. Lagipula, untuk meningkatkan rasa ataupun nilai toleransi memang harus dipraktikkan, bukan hanya teori semata.

Selamat Hari Toleransi Internasional

Catatan:

- beberapa foto dalam video YouTube terlampir sumbernya adalah peserta Wisata Bhinneka Group Wisata Kreatif Jakarta 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun