Mesjid Al Alam dan Pelabuhan Nelayan Cilincing (Dok: pribadi)
Awalnya saya membaca postingan mbak Gana Stegman, Ketua Koteka (Komunitas Traveler Kompasiana) di wag (whatsapp group) admin komunitas-komunitas yang berada di bawah naungan Kompasiana seperti dalam foto flyer. Koteka akan mengadakan kegiatan Kotekatrip ke-4 yaitu berupa walking tour: 'Wisata Bhinneka Cilincing, spesial perayaan Melasti.' Walking tour keempatnya ini akan menempuh rute yaitu: Masjid Al Alam Cilincing, Pelabuhan Nelayan Cilincing, Rumah Abu Wan Lin Chie, Kelenteng dan Vihara Lalitavustara, Tempat pembakaran mayat (Krematorium) Cilincing, Pura Segara serta melihat perayaan Melasti.
Perayaan Melasti itu sendiri merupakan perayaan Agama Hindu yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas umat Hindu agar lebih menaruh perhatian lagi kepada kelestarian alam lingkungan. Hal lain yaitu menghilangkan sifat merusak yang ada pada diri manusia, agar tidak menimbulkan kerusakan terutama kerusakan terhadap alam lingkungannya.
Perayaan Melasti terdiri dari prosesi iring-iringan, prosesi ritual pembersihan di depan pintu masuk pura, pensthanaan (berarti penempatan atau tag lokasi) di linggih atau tempat yang sudah tersedia, pembacaan doa-doa oleh Pandita, mekobok (artinya adalah suatu tindakan yang mengacu pada suatu tindakan atau aktivitas untuk membersihkan sesuatu dengan cara menggosok-gosokkan sesuatu dengan kuat), persembahyangan bersama dan melakukan Banten Prani, yang berarti upacara atau ritual yang dilakukan sebagai penghormatan kepada makhluk hidup, baik manusia maupun hewan dimana dalam upacara ini dilakukan pembakaran sesaji atau persembahan berupa nasi, bunga, dupa dan kemenyan sebagai tanda penghormatan dan ucapan terima kasih atas keberadaan makhluk hidup yang telah memberikan manfaat bagi manusia, pada sore harinya.
Mepo (meeting point) Kotekatrip-4 ini adalah Mesjid Al Alam Cilincing. Bila melihat rute di google map, terdapat 2 (dua) mesjid bernama sama yaitu Al Alam di Cilincing tempat mepo Kotekatrip-4 dan ada pula mesjid Al Alam di kawasan Marunda, Cilincing. Yang terakhir ini lebih dikenal dengan nama Mesjid Si Pitung.
Ke Stasiun Tanjung Priok, baru pertama kali (Dok. Pribadi)
Dari Bogor, saya memilih naik Commuter Line (Kereta Listrik - KRL) ke tempat mepo, jurusan Stasiun Kota tanpa singgah di stasiun antara, cusss langsung Bogor - Kota. Sekitar 2 (dua) jam perjalanan. Cukup lama, karena di dalam perjalanannya memerlukan melewati banyak stasiun, yaitu sebanyak 25 stasiun kereta. Sampai Stasiun Kota, tinggal berpindah rel, naik KL lagi jurusan Stasiun Tanjung Priuk. Kalau yang ini cukup singkat, hanya melewati 2 (dua) stasiun, yaitu Stasiun Kampung Bandan dan Ancol.
Tiba di stasiun masih cukup waktu untuk mencari ATM - maklum tadi di Bogor belum sempat ambil tunai untuk isi dompet. ATM tidak ditemui di dalam Stasiun yang masih memiliki nuansa stasiun lama bangunan dari jaman Belanda. Tapi asyik untuk selfie-selfie dulu. ATM ada di luar stasiun ke arah kanan, nggak jauh, ada Bank BNI dengan ATMnya yang cukup banyak berbaris rapi.
Setelah itu, cari makan siang dulu, yang banyak terdapat di sekitar Stasiun Tanjung Priok, supaya pas kumpul di tempat mepo, sudah dalam keadaan kenyang dan tinggal shalat zuhur saja, langsung gabung kegiatan Kotekatrip-4 ini, karena waktunya masih cukup sampai di tempat kumpul di tempat mepo yang diagendakan pukul 12.30 WIB.
By the way, seumur-umur belum pernah lho ke Stasiun KL Tanjung Priok, kegiatan Kotekatrip-4 mampu memperjalankan saya out of the box hehehe, thanks anyway Koteka.
Babang gojek yang saya tumpangi dari caranya menjelaskan perbedaan destinasi mepo yang saya tuju (membedakan antara mesjid Al Alam Cilincing dan mesjid Al Alam si pitung, mengisyaratkan bahwa ia mengerti setiap lekuk daerah itu. Cukup banyak cerita yang saya peroleh selama perjalanan menuju tempat mepo dan tanpa terasa, saya tiba di tempat mepo tepat waktu, saat berkumandang azan zuhur.
Alhamdulillah perjalanan panjang tadi membuahkan hasil manis, semanis rencana perjalanan ini selanjutnya. Alhamdulillah pula saat sampai di mesjid, saat akan masuk, bertemu dengan mbak Ira Latief, sang guide kita siang ini. Jadilah kita berbincang sejenak sebelum melaksanakan salat dan sambil menunggu kedatangan rekan-rekan yang lain.
Setelah Salat Zuhur, perjalanan Bhinneka Kotekatrip-4 pun dimulai. Mbak Ira mulai meng-guide kita dengan mendahuluinya dengan perkenalan diantara peserta, lalu menjelaskan riwayat mesjid Al Alam ini dengan segala kisah sejarahnya hingga hubungannya dengan film jaman dulu yang terkenal itu, yaitu film 3 (tiga) dara.
Yang menarik di Mesjid Al Alam ini ada tulisan Wasiat Sunang Gunung Jati, karena rupanya mesjid ini pada masa lalu menjadi tempat persinggahan Fatahillah untuk beribadah saat mendarat di Jakarta (dahulu belum bernama Jakarta) sekitar 500 tahun yang lalu saat datang ke Banten lalu ke Jakarta untuk persiapan menyerang Portugis - tahun 1527, masuk dari Cilincing dan sempat salat di sini.
Dulu belum ada mesjid ini. Tempat salatnya ini kemudian oleh masyarkat setempat dibuatkan Surau. Walaupun penyebutan Fatahillah (yang berasal dari Samudera Pasai - Aceh) dan Faletehan (Sunan Gunung Jati) masih sering terjadi kerancuan, dianggap orang yang sama, padahal berbeda. Kalau Faletehan adalah yang kemudian menjadi salah satu Wali Songo. Karena, menurut penuturan mbak Ira, Sunan Gunung Jati sendiri sebenarnya secara fisik belum pernah menginjakkan kakinya di mesjid ini - hanya wasiatnya yang diabadikan di dalam mesjid.
Para peserta sendiri cukup beragam, ada yang dari Bandung, Bogor, Depok, Jakarta dan sekitarnya. Sebagian adalah para Kompasianer (penulis-penulis di Kompasiana) dan sebagian bukan. Ketertarikan terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh Koteka - Kotekatrip-4 ini dikarenakan rute jelajahnya yang bersifat kebhinnekaan, plural dan penuh dengan toleransi. Ditambah pula kegiatan ini dipandu oleh guide kita yang cantik dan energetik yaitu mbak Ira - berasal dari Komunitas Wisata Kreatif Jakarta. Perjalanan semakin seru, bersemangat, menarik, walau cukup melelahkan berjalan berkeliling tempat-tempat trip yang saat itu Jakarta dalam keadaan yang panas terik. Tapi seru abisssss. Baca sampai selesai ya supaya dapat terus mengikuti keseruannya.
Selepas mengulik Mesjid Al Alam, rombonganpun menuju pelabuhan nelayan Cilincing yang lokasinya tidak begitu jauh dari Mesjid Al Alam, hanya keluar ke arah kiri, sekitar 50 meter. Bau laut yang sudah menyeruak saat berada di mesjid tadi semakin menguat masuk memenuhi rongga hidung, ditambah panas terik Jakarta Utara yang saat itu memang puanase poll. Di sekitar pelabuhan nelayan Cilincing itu, kami disuguhi pemandangan sekumpulan perahu berbentuk tradisional sedang sandar, beberapa lalu lalang ke dan dari laut.
Terbayang-bayang kemudian di masa lalu, seperti penuturan mbak Ira, bahwa pelabuhan ini, di tahun 1811, menjadi tempat mendaratnya tentara Inggris yang nantinya akan bekerja sama dengan Perancis melawan tentara Belanda - di masa penjajahan lalu. Nggak terbayang. Tapi saat ini, suasana sungai disuguhi warna air yang hitam dan sekumpulan sampah menumpuk di sekitar perahu terlihat dengan jelas. Saya hanya berpikir, bila saja sungai kita bersih, masyarakat sudah berperilaku buang sampah yang baik dan benar, tentu kita akan tersuguhi air sungai yang tidak hitam seperti ini dan pemandangan bebas sampah. Entah kapan hal itu dapat terwujud? Ataukah tidak? Semoga perilaku buang sampah masyarakat semakin baik ya ke depannya. Amin-amin YRA.
Puas menikmati pelabuhan nelayan Cilincing, kamipun kemudian menuju Rumah Abu Wan Lin Chie. Jarak Rumah Abu ini tidak terlalu jauh dari Mesjid Al Alam, sekitar 300 meter keluar jalan belok ke kiri. Sepanjang perjalanan banyak kami temui suplier sea food. Walaupun mereka sudah menjadi suplier tetap perusahaan/restoran tertentu, tetapi katanya, umumpun boleh ikut membelinya. Menjelang masuk ke Rumah Abu, kami disambut dengan bangunan tinggi di sebelah kanan berupa Pagoda tujuh lantai. Konon dulu pagoda ini bisa dinaiki oleh pengunjung hingga lantai teratas, tetapi sekarang tidak lagi. Pagoda itu juga, sebelum dibangunnya Monas (Monumen Nasional), merupakan bangunan tertinggi di Jakarta pada masanya.
Di dalam kompleks Rumah Abu Wan Lin Chie ini, disamping Pagoda, terdapat dua bangunan utama yang merupakan rumah abu tersebut, yang berisi kotak-kotak abu jenazah yang sudah dikremasi di krematorium. Menurut pengelolanya, Rumah Abu Wan Lin Chie ini berbentuk yayasan. Di dalam rumah abu ini, mereka menyediakan kotak-kotak penyimpanan abu jenazah di sekeliling dinding rumah abu. Kotak-kotak kecil tempat abu jenazah ini bisa berisi satu abu jenazah atau lebih. Keluarga yang meninggal membeli kotak abu tersebut. Bila keluarga kemudian berkeinginan untuk melarung abu jenazah keluarganya itu, mereka tinggal memberitahukan kepada pihak yayasan, setelah abu jenazah di larung, maka kotak tersebut menjadi kosong, dan dikembalikan ke yayasan, tetapi tidak boleh dijual kembali. Kotak penyimpanan abu jenazah ini berfungsi seperti layaknya makam di TPU (tempat pemakaman umum). Mereka juga menyediakan sesembahan dalam berbagai bentuk untuk digunakan oleh keluarga yang datang dan tersedia pula bangunan di dekat pagoda sebagai tempat membakarnya. Kaum penganut Kong Hu Cu saat berdoa, ditujukan untuk dirinya dan juga untuk keluarganya yang telah mendahului. Saat berdoa bagi keluarga yang telah meninggal, mereka biasanya melengkapinya dengan 'bekal' untuk dikirimkan ke mendiang berupa barang-barang (terbuat dari kertas) yang di bakar di tempat pembakaran. Mereka meyakini bahwa barang-barang tersebut akan sampai kepada alm/almh.
Bersebelahan dengan Rumah Abu Wan Lin Chie, terdapat Kelenteng (untuk penganut Kong Hu Cu) dan Vihara (untuk penganut Buddha) berada di dalam satu kompleks. Di kompleks ini juga terdapat STABMP (Sekolah Tinggi Agama Buddha Maha Prajna). Kelenteng dan Vihara ini bernama Lalitavustara. Bila kita memasuki kompleks Lalitayustara ini, terlihat bangunan stupa raksasa berwarna emas dengan latar belakang Pagoda di belakangnya.
Seperti suatu bangunan yang saling berdekatan. Di kompleks ini, kami melihat patung Buddha 4 (empat) wajah - sumbangan dari Thailand, bangunan utama berupa Vihara di bagian depan dan Kelenteng yang berada sedikit di belakangnya. Awalnya agak bingung juga mengapa ada kelenteng dan vihara berada dalam satu kompleks peribadatan. Ternyata, asal-muasal bergabungnya mereka ini adalah karena alasan politis, dimulai sekitar tahun 1965. Saat kekejaman rezim orde baru dahulu, Pak Soeharto, Presiden RI saat itu melarang segala hal yang berbau 'China.'
Terdapat banyak pelarangan, seperti misalnya: tidak dibolehkan penggunaan nama asli (nama China) - sehingga mereka merubah semua nama menjadi nama Indonesia, tidak diperbolehkannya pelaksanaan ibadah Kong Hu Cu, tidak boleh ada perayaan Cap Go Meh, dilarangnya pertunjukkan Barongsay dan lain sebagainya yang terkait dengan atribut-atribut budaya atau kultur China. Secara resmi, larangan itu dicabut dimasa pemerintahan Presiden Abdurrakhman Wahid almarhum.
Vihara yang merupakan tempat ibadah umat Buddha yang diakui dalam 5 (lima) agama di Indonesia diperbolehkan melaksanakan kegiatannya secara bebas, untuk itulah, agar kelenteng dan umatnya 'aman', merekapun bergabung dengan Vihara agar dapat melaksanakan ibadahnya tanpa larangan. Terkadang bahkan terjadi pula, agar rasa aman itu ada, pemeluk Kong Hu Cu beralih agama kedalam salah satu dari lima agama yang saat itu resmi diakui oleh pemerintah. Dari luar memang yang nampak adalah hanya atribut Buddha, tidak ada sama sekali tanda bahwa di dalamnya ada Kelenteng. Sangat menyedihkan ya zaman pak Harto dahulu.
Di areal Vihara dan Kelenteng ini kami mendadak mendapat teman, seorang ibu umat Buddha yang baru saja selesai beribadah, yang tertarik bergabung dengan kami yang malah kemudian ikut mengantar kami berkeliling di tempat ibadah Buddha tersebut dan kemudian ikut mendengarkan penjelasan mbak Ira saat memasuki areal kelenteng yang berada di bagian belakang Vihara. Saya lupa nama lengkapnya, tetapi sebut saja bu Yulia. Bu Yulia menjelaskan yang ia ketahui seputar bagaimana ibadah umat Buddha. Bila melihat tempat ibadahnya, maka ibadah dilakukan dengan lutut diletakkan di lantai, terdapat alas lutut di lantai. Ruangan ibadah umat Buddha, terasa mistis bagi saya dan dinginnya AC menambah suasana tersebut. Sementara di Kelenteng, sedang ada kegiatan ritual, sehingga kami tidak diperbolehkan mengambil gambar. Namun dari bagian luar saja, sudah cukup melihat seperti apa dalamnya kelenteng itu.
Keluar dari Vihara dan Kelenteng, kami berjalan kaki kembali - karena namanya juga 'walking tour' ya, penuhi kegiatan kita dengan jalan kaki, kami berjalan menuju arah kiri, ke arah pantai. Kira-kira 500 meter, sampailah kami memasuki gerbang Pura Segara, tempat ibadahnya umat Hindu. Sepanjang perjalanan banyak dijual sea food dan restoran sea food, tetapi mbak Ira merekomendasikan satu sea food restoran, yaitu RM Babe. Katanya, ini sea food restaurant yang paling terkenal di kawasan itu. Setelah pulang dari Pura, kami merencanakan singgah makan siang sore (dan bagi sebagian yang belum lunch, maka itu menjadi lunch-nya), menikmati kelezatan masakannya.... can't wait....
Memasuki gerbang pura, terasa kesibukan perayaan Melasti hari itu. Banyak sekali orang datang, berpakaian adat Bali. Parkir kendaraan dipenuhi oleh banyak kendaraan, termasuk bis-bis untuk yang datang berombongan. Terlihat pula spanduk penyambutan untuk Bapak Gubernur DKI, bapak Heru. Rupanya, perayaan Melasti saat itu akan dihadiri oleh orang nomer satu di Jakarta ini. Kami berjalan melewati keriuhan itu, memotong tempat parkir menuju ke krematorium yang berada di sisi kiri pura. Saat kami tiba di krematorium, yang bagian pertama adalah krematorium dengan oven sedangkan krematorium berbahan bakar kayu terletak di bagian agak belakang. Saat kami tiba di krematorium itu sedang ada satu jenazah dalam proses pembakaran, kami mengamati situasi dari luar saja sambil menikmati kisah-kisah seputar krematorium dari mbak Ira, sang guide kami.
Saat menuju ke pantai dan pura dari arah belakang, setelah selesai dari krematorium, terlihat dari kejauhan bahwa arak-arakan pengambilan air suci untuk Melasti dari pantai sudah selesai. Rombongan berjalan kembali dari pantai menuju pura. Yowis, kita langsung ke pura saja untuk bergabung dengan peserta lain umat Hindu merayakan Melasti di Pura Segara.
Amazing, perayaan Melasti diikuti oleh banyak sekali umat Hindu. Saya baru pertama kali ini merasakan berada dalam rombongan besar umat Hindu dengan pakaian adat Bali yang biasa digunakan oleh mereka saat akan ke pura mengikuti upacara Melasti. Yang putra tidak lupa dengan topi/udeng Bali, baju putih, kain kamen putih dan selendang kuning di pinggang melilit rapi. Yang putripun demikian. Didominasi kebaya brokat putih, bersanggul dengan hiasan kepala, berselendang lilit pula.
Cantik-cantik dan tampan-tampan, dari usia lanjut hingga anak kecil, berpakaian senada. Di bagian belakang pura, tempat kami masuk, terdapat sederetan penjual kuliner Bali yang tumpah ruah dinikmati oleh para umat Hindu yang memang kebanyakan berasal dari daerah Bali. Sementara kami lewati dulu sajian kuliner Bali ini, langsung menuju pintu belakang dan memasuki kawasan Pura - setelah permisi terlebih dahulu dengan barisan among tamu di bagian belakang.
Kami masuk melewati barisan penari yang siap melakukan ritual tari Baris, yaitu tarian perang yang dilakukan oleh para pria dengan gerakan dinamis dan diiringi dengan alat musik tradisional Bali. Sementara di bagian kiri, sekelompok penabuh gamelan dengan pakaian yang gagah (karena semua penabuh gamelannya adalah pria), bermake up, bersemangat menabuh gamelan dengan musik riang gamelan Bali.
Di sebelah kanan kami terdapat tempat meletakkan sesajian-sesajian untuk persembahan yang menurut kebiasaannya akan dibagi-bagikan kepada para tamu dan umat Hindu yang hadir sebagai simbol kebersamaan dan persaudaraan. Sesajian itu sendiri merupakan persembahan berupa makanan dan bahan-bahan lain yang dibawa oleh umat Hindu Bali yang dipercaya sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan) serta roh-roh leluhur. Beberapa jenis sesajian yang biasanya dibawa saat perayaan Melasti di pura:
- Nasi tumpeng, yang melambangkan kesucian, kekayaan dan kesejahteraan,
- Buah-buahan segar, yang melambangkan keberlimpahan dan kesuburan,
- Jajan pasar, yang melambangkan keberagaman dan keunikan budaya Bali,
- Banten, sesajian yang melambangkan rasa syukur dan penghormatan kepada Sang Hyang Widhi dan roh-roh leluhur,
- Serta air suci yang diambil dari mata air (laut) atau sumber air suci yang diyakini memiliki kekuatan magis. Air suci digunakan untuk membersihkan dan menyusikan diri sebelum melakukan upacara. Saat kami disitupun, karena posisi kami tepat di depan tempat persembahan itu, terkena juga percikan air suci yang diciprat-cipratkan kepada para hadirin yang hadir dan areal sekeliling pura.
Sementara di depan kami ada dua penari yang menari sambil berdialog terkait ritual Melasti. Di belakang penari, jamaah Melasti duduk santun dan rapih di lantai dan khusuk mengikuti ritual Melasti ini. Di belakang areal persembahan terdapat bagian inti pura dimana di situlah kemudian dilaksanakan tari Baris ini sebagai bagian dari ritual Melasti. Kami tidak dapat memasuki areal itu, kecuali kami mengenakan selendang kuning terlilit di pinggang. Tetapi, melihat dari luar saja sudah lebih dari cukup. Bahagia sekali bisa ikut berbaur di tengah-tengah saudara kita umat Hindu yang sedang berbahagia merayakan upacara Melasti.
Mengakhiri kegiatan Kotekatrip-4 kali ini, kami menuju kembali ke RM Babe untuk mencicipi sea food-nya yang terkenal itu, tetapi sebelumnya, mampir sebentar di deretan kuliner Bali di belakang pura untuk mencicipi aneka kuliner Bali. Saya sempat mencoba sate lilit ayam Bali yang rasanya khas dan lezat itu. Saat memilih makanan, perlu kita tanyakan dulu, karena memang ini kuliner Bali, yang sebagian ada yang non halal. Yang menjadi favorit lainnya adalah lepet isi kacang tolo dan lepet isi pisang. Yang isi kacang tolo, biasa didapat di Bogor, tetapi yang isi pisang, wah, jarang tuh, hanya sayang saat saya minta yang isi pisang, yaaaaah... sudah kehabisan.
Hari itu, saya mendapat ilmu dan pengalaman yang luar biasa. Dimana saya merasa, inilah penerapan yang tepat dari pernyataan: walau kita tidak bukan saudara seagama, tetapi kita adalah saudara dalam kemanusiaan, apalagi kita adalah saudara sebangsa dan setanah air, yang selalu didengung-dengungkan oleh Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., Nelson Mandela, Bung Karno, Abdurrahman Wahid, hingga Presiden kita Joko Widodo. Hari itu, seolah-olah saya menjadi bagian dari sejarah masa lalu yang berpengaruh terhadap sejarah masa depan kita dengan segala keberagamannya dengan segala pengalaman perjalanan bangsa ini.... Wow....warbiasah.
Terima kasih Koteka, terima kasih Wisata Kreatif Jakarta, mbak Ira dan semua teman-teman serombongan yang membuat walking tour bhinneka Kotekatrip-4 menjadi sangat indah luar biasa. Bravo.
See you next time, insyaallah.
Salam Bhinneka, salam persaudaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H