Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wisata Bhinneka ke Kawasan Cilincing, Wisata Jiwa dan Raga

27 Maret 2023   06:53 Diperbarui: 27 Maret 2023   23:52 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang menarik di Mesjid Al Alam ini ada tulisan Wasiat Sunang Gunung Jati, karena rupanya mesjid ini pada masa lalu menjadi tempat persinggahan Fatahillah untuk beribadah saat mendarat di Jakarta (dahulu belum bernama Jakarta) sekitar 500 tahun yang lalu saat datang ke Banten lalu ke Jakarta untuk persiapan menyerang Portugis - tahun 1527, masuk dari Cilincing dan sempat salat di sini. 

Dulu belum ada mesjid ini. Tempat salatnya ini kemudian oleh masyarkat setempat dibuatkan Surau. Walaupun penyebutan Fatahillah (yang berasal dari Samudera Pasai - Aceh) dan Faletehan (Sunan Gunung Jati) masih sering terjadi kerancuan, dianggap orang yang sama, padahal berbeda. Kalau Faletehan adalah yang kemudian menjadi salah satu Wali Songo. Karena, menurut penuturan mbak Ira, Sunan Gunung Jati sendiri sebenarnya secara fisik belum pernah menginjakkan kakinya di mesjid ini - hanya wasiatnya yang diabadikan di dalam mesjid. 

Para peserta sendiri cukup beragam, ada yang dari Bandung, Bogor, Depok, Jakarta dan sekitarnya. Sebagian adalah para Kompasianer (penulis-penulis di Kompasiana) dan sebagian bukan. Ketertarikan terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh Koteka - Kotekatrip-4 ini dikarenakan rute jelajahnya yang bersifat kebhinnekaan, plural dan penuh dengan toleransi. Ditambah pula kegiatan ini dipandu oleh guide kita yang cantik dan energetik yaitu mbak Ira - berasal dari Komunitas Wisata Kreatif Jakarta. Perjalanan semakin seru, bersemangat, menarik, walau cukup melelahkan berjalan berkeliling tempat-tempat trip yang saat itu Jakarta dalam keadaan yang panas terik. Tapi seru abisssss. Baca sampai selesai ya supaya dapat terus mengikuti keseruannya.

Selepas mengulik Mesjid Al Alam, rombonganpun menuju pelabuhan nelayan Cilincing yang lokasinya tidak begitu jauh dari Mesjid Al Alam, hanya keluar ke arah kiri, sekitar 50 meter. Bau laut yang sudah menyeruak saat berada di mesjid tadi semakin menguat masuk memenuhi rongga hidung, ditambah panas terik Jakarta Utara yang saat itu memang puanase poll. Di sekitar pelabuhan nelayan Cilincing itu, kami disuguhi pemandangan sekumpulan perahu berbentuk tradisional sedang sandar, beberapa lalu lalang ke dan dari laut. 

Terbayang-bayang kemudian di masa lalu, seperti penuturan mbak Ira, bahwa pelabuhan ini, di tahun 1811, menjadi tempat mendaratnya tentara Inggris yang nantinya akan bekerja sama dengan Perancis melawan tentara Belanda - di masa penjajahan lalu. Nggak terbayang. Tapi saat ini, suasana sungai disuguhi warna air yang hitam dan sekumpulan sampah menumpuk di sekitar perahu terlihat dengan jelas. Saya hanya berpikir, bila saja sungai kita bersih, masyarakat sudah berperilaku buang sampah yang baik dan benar, tentu kita akan tersuguhi air sungai yang tidak hitam seperti ini dan pemandangan bebas sampah. Entah kapan hal itu dapat terwujud? Ataukah tidak? Semoga perilaku buang sampah masyarakat semakin baik ya ke depannya. Amin-amin YRA.

Puas menikmati pelabuhan nelayan Cilincing, kamipun kemudian menuju Rumah Abu Wan Lin Chie. Jarak Rumah Abu ini tidak terlalu jauh dari Mesjid Al Alam, sekitar 300 meter keluar jalan belok ke kiri. Sepanjang perjalanan banyak kami temui suplier sea food. Walaupun mereka sudah menjadi suplier tetap perusahaan/restoran tertentu, tetapi katanya, umumpun boleh ikut membelinya. Menjelang masuk ke Rumah Abu, kami disambut dengan bangunan tinggi di sebelah kanan berupa Pagoda tujuh lantai. Konon dulu pagoda ini bisa dinaiki oleh pengunjung hingga lantai teratas, tetapi sekarang tidak lagi. Pagoda itu juga, sebelum dibangunnya Monas (Monumen Nasional), merupakan bangunan tertinggi di Jakarta pada masanya.

Di dalam kompleks Rumah Abu Wan Lin Chie ini, disamping Pagoda, terdapat dua bangunan utama yang merupakan rumah abu tersebut, yang berisi kotak-kotak abu jenazah yang sudah dikremasi di krematorium. Menurut pengelolanya, Rumah Abu Wan Lin Chie ini berbentuk yayasan. Di dalam rumah abu ini, mereka menyediakan kotak-kotak penyimpanan abu jenazah di sekeliling dinding rumah abu. Kotak-kotak kecil tempat abu jenazah ini bisa berisi satu abu jenazah atau lebih. Keluarga yang meninggal membeli kotak abu tersebut. Bila keluarga kemudian berkeinginan untuk melarung abu jenazah keluarganya itu, mereka tinggal memberitahukan kepada pihak yayasan, setelah abu jenazah di larung, maka kotak tersebut menjadi kosong, dan dikembalikan ke yayasan, tetapi tidak boleh dijual kembali. Kotak penyimpanan abu jenazah ini berfungsi seperti layaknya makam di TPU (tempat pemakaman umum). Mereka juga menyediakan sesembahan dalam berbagai bentuk untuk digunakan oleh keluarga yang datang dan tersedia pula bangunan di dekat pagoda sebagai tempat membakarnya. Kaum penganut Kong Hu Cu saat berdoa, ditujukan untuk dirinya dan juga untuk keluarganya yang telah mendahului. Saat berdoa bagi keluarga yang telah meninggal, mereka biasanya melengkapinya dengan 'bekal' untuk dikirimkan ke mendiang berupa barang-barang (terbuat dari kertas) yang di bakar di tempat pembakaran. Mereka meyakini bahwa barang-barang tersebut akan sampai kepada alm/almh.

Bersebelahan dengan Rumah Abu Wan Lin Chie, terdapat Kelenteng (untuk penganut Kong Hu Cu) dan Vihara (untuk penganut Buddha) berada di dalam satu kompleks. Di kompleks ini juga terdapat STABMP (Sekolah Tinggi Agama Buddha Maha Prajna). Kelenteng dan Vihara ini bernama Lalitavustara. Bila kita memasuki kompleks Lalitayustara ini, terlihat bangunan stupa raksasa berwarna emas dengan latar belakang Pagoda di belakangnya. 

Seperti suatu bangunan yang saling berdekatan. Di kompleks ini, kami melihat patung Buddha 4 (empat) wajah - sumbangan dari Thailand, bangunan utama berupa Vihara di bagian depan dan Kelenteng yang berada sedikit di belakangnya. Awalnya agak bingung juga mengapa ada kelenteng dan vihara berada dalam satu kompleks peribadatan. Ternyata, asal-muasal bergabungnya mereka ini adalah karena alasan politis, dimulai sekitar tahun 1965. Saat kekejaman rezim orde baru dahulu, Pak Soeharto, Presiden RI saat itu melarang segala hal yang berbau 'China.' 

Suasana tempat peribadatan umat Buddha (Dok. Pribadi)
Suasana tempat peribadatan umat Buddha (Dok. Pribadi)

Tempat beribadat umat Buddha, alas duduk lotus dan patung Buddha di bagian depan (Dok. Pribadi)
Tempat beribadat umat Buddha, alas duduk lotus dan patung Buddha di bagian depan (Dok. Pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun