Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ngaprak Mangpaat, Mencari Intan yang Hilang, Menyusuri Jejak Pahlawan di Kawasan Empang, Bogor

18 Agustus 2022   12:57 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:25 2140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah tua keluarga keturunan Arab dengan furniture antiknya (Foto koleksi pribadi)

Ngaprak adalah ucapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sunda. Kata ngaprak, berasal dari kata dasar 'aprak' yang berarti pergi mencari kemana-mana. 

Ngaprak berarti kita melakukan kegiatan bepergian untuk mencari kemana-mana. Apa yang dicari? Tergantung tujuan apa yang ingin kita cari, apa yang ingin kita aprak

Mencari kemana-mana atau sekedar pergi-pergi berkeliling, bisa dikatakan dengan istilah 'aprak-aprakan.' sementara kata mangpaat, adalah logat Sunda yang sama arti dengan kata 'manfaat' dalam bahasa Indonesia, yang sudah kita ketahui bersama artinya……begitulah istilah Sunda.

Hayu ngaprak supaya ingat sejarah (Foto Koleksi Dadan P. - NTPB)
Hayu ngaprak supaya ingat sejarah (Foto Koleksi Dadan P. - NTPB)

Ngaprak jalan kaki menelusuri jejak sejarah di Kawasan Empang, Bogor (Foto Koleksi: Dadan P. - NTPB)
Ngaprak jalan kaki menelusuri jejak sejarah di Kawasan Empang, Bogor (Foto Koleksi: Dadan P. - NTPB)

Hayu urang ngaprak (arti: yuk kita pergi jalan-jalan mencari sesuatu) kali ini, bener-bener ngaprak yang mangpaat. Hari Minggu yang baru lalu, tanggal 14 Agustus 2022, bersama Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya (NTPB) yang di-pupuhu-I (Pupuhu = ketua) dan sekaligus menjadi 'guide' dalam ngaprak kali ini yaitu kang Hendra M. Astari, saya mengikuti kegiatan mereka.

Ini adalah ngaprak saya yang pertama kali bersama komunitas NTPB ini. Ngapraknya mengambil tema yang sesuai dengan suasana menjelang peringatan Kemerdekaan RI ke-77 yang bertagline: 'Jejak Pahlawan Kampung Arab.' 

Lagipula, sebagai warga ber-KTP Kota Bogor, walau belum lama, yaaa keterlaluan deh kalau nggak tahu cerita-cerita sejarah yang ada di kota yang ditinggalinya. Kata orang Sunda mah….kabina-bina teuing… keterlaluan amat. Padahal si Amat aja nggak keterlaluan seperti itu ya hehehe.

Masjid At-Thohiriyah dilihat dari Alun-Alun Empang (Foto koleksi pribadi)
Masjid At-Thohiriyah dilihat dari Alun-Alun Empang (Foto koleksi pribadi)

Namun yang menjadi pertanyaan adalah kok ngaprak kali ini ada kata 'kampung arab'nya ya? Kenapa dipilih kawasan Empang, Bogor? Dan apakah memang banyak jejak pahlawan di daerah itu? Nah untuk yang belum tahu dan penasaran, yuk ikuti oleh-oleh carita dari ngaprak kemarin ini.

Dari flyer ngaprak Komunitas NTPB ini telah disebutkan bahwa tujuan utama ngaprak untuk para ngapraker (begitu komunitas ini menyebut mereka yang akan ikut kegiatan ngaprak) kali ini adalah menyusuri dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di kawasan Empang Bogor. 

Mulai dari Alun-Alun, jalan Salim Balweel (Kapten Arab), Masjid Habib Karamat, Gang Intan, Gang Banjar (tempat pengasingan bangsawan Banjar), Rumah Tua Keluarga Hasanah, dan Kopi Bah Sipit.

Jalan S. Baluwel yang seharusnya adalah Syeh Salim Balweel (Foto koleksi pribadi)
Jalan S. Baluwel yang seharusnya adalah Syeh Salim Balweel (Foto koleksi pribadi)

Alun-Alun Empang

Para ngapraker kumpul di pagi hari itu, sekitar pukul 8.30 WIB, di kawasan Alun-Alun Empang yang menurut sejarahnya merupakan alun-alun luar Keraton Pajajaran. 

Kata Empang sendiri berasal sudah sejak jaman dahulu bahkan menutupi kata alun-alun yang dimiliki oleh lapangan yang sebagian berfungsi sebagai lahan parkir dan tempat para pedagang berjualan (makanan dan daging kambing) itu. 

Menurut penjelasan kang Hendra saat memulai kegiatan ngaprak ini, sambil menebar pandangan ke sekeliling alun-alun, berawal dari tahun 1754, saat Bupati Kampung Baru - Demang Wiranata mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Belanda Jacob Mossel untuk diperbolehkan menyewa lahan di sebelah Timur Cisadane yang kemudian diberi nama Kampung Sukahati. 

Demang Wiranata ini disamping membangun alun-alun, pendapa (rumah dinas), beliaupun membangun sebuah kolam besar yang oleh masyarakat disebut dengan empang. 

Keberadaan empang inilah yang lama-lama lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan nama kampung Sukahati itu sendiri. Akhirnya lambat laun nama Sukahati tersingkir menjadi Kampung Empang. 

Sisa-sisa bangunan pendapa sudah tidak ada dan tidak diketahui persis di sebelah mana alun-alun. Hanya saja dipercaya bahwa Pendapa Demang Wiranata tersebut berada di lokasi yang sekarang ini berdiri sebuah rumah sakit swasta yang menghadap ke alun-alun.

Penjual daging kambing yang banyak terdapat di alun-alun. Naksir kepala kambingnya tuh (Foto koleksi pribadi)
Penjual daging kambing yang banyak terdapat di alun-alun. Naksir kepala kambingnya tuh (Foto koleksi pribadi)

Di samping kiri (bila kita di alun-alun menghadap ke arah jalan raya) alun-alun terdapat sebuah masjid yang didirikan pada tahun 1817 oleh uyut Thohir dari Kampung Baru. Masjid ini diberi nama Masjid Agung At-Thohiriyah, menggunakan nama uyut Thohir.  

Masjid inipun masjid bersejarah. Sering digunakan salat Jumat oleh Presiden Sukarno saat itu, termasuk bila ada tamu-tamu negara beragama Islam yang hendak salat Jumat. 

Tercatat Presiden Mesir pernah diajak oleh Bung Karno untuk salat Jumat di masjid itu. Masjid yang cukup representatif sebagai ikon masjid di Kota Bogor saat itu dan berada cukup dekat dari Istana Bogor.

Rumah tua di kampung Arab (Foto koleksi pribadi)
Rumah tua di kampung Arab (Foto koleksi pribadi)

Masjid inipun ternyata di masa lalu memberikan kontribusi yang cukup besar saat perjuangan kemerdekaan dahulu. Batalyon Hisbullah menggunakan Masjid At-Thohiriyah ini sebagai markas mereka. Para pejuang yang gugur, dimandikan, disalatkan dan diberangkatkan ke makam Dreded dari masjid ini.

Bila kita masuk ke dalam masjid, akan nampak jam Jounghans yang berada di areal mimbar yang merupakan hadiah wakaf dari Dr. Marzoeki Mahdi, Dokter Pejuang Ahli Penyakit Jiwa lulusan Sekolah Kedokteran Stovia di Batavia. Beliau dulu adalah jamaah tetap Masjid At-Thohiriyah. Nama Dokter Marzoeki Mahdi kemudian digunakan sebagai nama sebuah rumah sakit jiwa di Kota Bogor.

Foto bareng pupuhu Komunitas NTPB: Kang Hendra M. Astari (Foto Koleksi pribadi)
Foto bareng pupuhu Komunitas NTPB: Kang Hendra M. Astari (Foto Koleksi pribadi)

Kampung Arab Empang 

Persis di samping kanan rumah sakit, ada sebuah rumah tua yang di samping kanan rumah tua tersebut terlihat papan nama jalan bertuliskan Jl. S. Baluwel. 

Baluwel, ejaan penulisan yang benar seharusnya tertulis Balweel, dan huruf S di depannya adalah kepanjangan dari Salim, merupakan Kapten atau Kapitan Arab keempat. 

Kapitan Arab ini adalah jabatan yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda di Indonesia kepada pemuka suku Arab, sebagai pendatang di Indonesia, untuk menjadi pemimpin bagi komunitasnya tersebut. Ada pula sebutan kapitan untuk  pemimpin kaum Tionghoa.

Syekh Salim Balweel, seperti penjelasan pada flyer NTPB, ini dilahirkan di Hadramaut Yaman Selatan. Ia dikenal cakap berorganisasi dan semasa hidupnya menjadi pengurus organisasi Islam pertama di Hindia Belanda, yaitu Jamiatul Khair. 

Iapun tercatat sebagai Ketua Umum organisasi Al Irsyad Al Islamiyah. Di kawasan Empangpun, Salim Balweel ini mendirikan Madrasah Jamiatul Khair.

Lansekap perumahan di kawasan Empang, dilihat dari seberang sungai (Foto koleksi pribadi)
Lansekap perumahan di kawasan Empang, dilihat dari seberang sungai (Foto koleksi pribadi)

Masjid Hijau makam wali

Tidak jauh dari alun-alun Empang, terdapat Karamat Wali Masjid Hijau. Masjid hijau ini sudah menjadi cagar budaya, merupakan perpaduan masjid sekaligus makam Habib Alatas yang oleh para peziarah dan masyarakat sekitar sudah dianggap sebagai seorang wali. 

Disebut Masjid Hijau, karena di bagian kubah dan mahkota menara didominasi oleh warna hijau, sehingga dari kejauhan sudah dapat dilihat ciri dari masjid tersebut.

Cagar budaya ini dikelola oleh Yayasan Masjide Noer Alatas. Kami saat itu hanya berada di pelataran Masjid bagian depan saja, tidak masuk berziarah ke dalam. Tetapi saat   di akhir ngaprak, kami melewati Masjid Hijau kembali, kami berpapasan dengan ratusan peziarah yang hendak masuk masjid. Hingga kami agak kesulitan menyeberang. Mereka datang dari berbagai daerah dan datang ber-bis-bis dalam jumlah yang besar. Banyak sekali.

Yang saya suka dari situasi di sekitar masjid adalah adanya perpaduan kultural dari kondisi yang berada di sekitar masjid. Sepanjang jalan, banyak sekali toko-toko yang dimiliki kaum keturunan Arab yang berjualan sorban, parfum arab, dupa gaharu dan 'khas Arab' lainnya. Sementara terdapat pula penjual oleh-oleh khas Bogor, seperti talas, moci,  manisan pala dan lain sebagainya. Ciamik sekali.

Masjid Hijau Makam Wali (Foto koleksi pribadi)
Masjid Hijau Makam Wali (Foto koleksi pribadi)

Gang Banjar dan Gang Intan

Menarik mencermati kisah yang terkandung pada Gang Banjar dan Gang Intan ini, terbayang kejadian di masa kolonialisme dulu. Dan bahwa kemerdekaan yang telah dicapai Indonesia ini bukanlah barang yang murah, tetapi mahal oleh perjuangan pendahulu-pendahulu kita. Orang-orang yang kurang bersyukur saja yang memandang remeh nilai perjuangan dan kejuangan pahlawan-pahlawan kita itu.

Walau hanya menjadi nama sebuah gang sempit dan kecil di Kota Bogor, tapi Gang Intan dan Gang Banjar memiliki nilai kejuangan yang tak ternilai berharganya.

Kita mulai dari Gang Banjar. Kata Banjar merujuk pada suatu daerah di Kalimantan yang bernama Banjar - tepatnya Kesultanan Banjarmasin - dibawah kekuasaan Panembahan Adam atau Sultan Adam, dan dikaitkan pula dengan perang Banjar. 

Di perang Banjar ini Sultan Adam kalah dan intan atau berlian yang berukuran 70 karat yang  merupakan pusaka kerajaan  dirampas oleh Belanda. Konon bentuk berliannya masih berupa bongkahan. 

Oleh Belanda, intan tersebut dipotong-potong dan salah satu potongannya yang berukuran 36 karat menjadi koleksi dan dipamerkan di Museum Rijks  di Amsterdam - sejak tahun 1875. Intan yang dipamerkan tersebut memiliki ukuran berat 7,65 gram, panjang 2,1 cm dan lebar 1,7 cm serta tinggi 1,4 cm.

Intan Kesultanan Banjar yang dirampas Belanda dan dipamerkan di Museum Rijks (Foto Koleksi jejakrekamdotcom)
Intan Kesultanan Banjar yang dirampas Belanda dan dipamerkan di Museum Rijks (Foto Koleksi jejakrekamdotcom)

Akibat ulah Belanda tersebut, Gusti Muhammad Arsyad yang merupakan cucu dari Pahlawan Nasional Pangeran Antasari ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Empang Bogor - sejak tanggal 1 Agustus 1904. 

Dua tahun kemudian, Ratu Zaleha, istri beliaupun tertangkap oleh Belanda - karena rupanya Ratu ini meneruskan perjuangan suaminya setelah suaminya tertangkap dan dibuang ke Bogor. Tempat pengasingan mereka inilah yang kemudian disebut dengan Gang Banjar.

Karena semangat perjuangannya yang tinggi. Walaupun di pengasingan, Gusti Muhammad Arsyad tetap berjuang dengan caranya dan dengan yang ia bisa. 

Di pengasingan ini ia, bersama Raden Tirto Adhi Soerjo, membidani lahirnya Sjarekat Dagang Islamijah serta mendirikan usaha penerbitan pertama di Nusantara yaitu penerbitan Medan Prijaji yang diambil dari nama koran pertama yang berbahasa Melayu yang didirikan oleh Tirto. Tirto sendiri dikemudian hari dikukuhkan sebagai Bapak Dewan Pers Nasional, karena perannya dalam menerbitkan koran pertama berbahasa Melayu tersebut.

Sementara terkait kisah tentang Gang Intan,  ada dua versi. Versi pertama adalah bahwa di sekitar Gang Intan itu, dulunya memang banyak pengrajin emas (pengrajin intannya hanya satu kalau tidak salah) - sementara sekarang bisa dikatakan sudah tidak ada lagi, karena sudah banyak beralih profesi, diantaranya menjadi penjual parfum.

Versi kedua, yang cukup menarik dan terus terang, saya terharu mendengar cerita kedua ini. Tersebutlah Ni Putih di kawasan yang sekarang bernama Gang Intan itu, seorang nenek tua berambut putih (sehingga diberi julukan seperti itu). 

Ni putih - yang memiliki nama asli Nyai Salamah, ini ternyata adalah ibunda Ratu Zaleha, istri dari Gusti Muhammad Arsyad yang mengikuti anaknya ke pembuangan atau pengasingan di Bogor ini. 

Ni putih, karena sudah sepuh, sering mengalami seperti kepikunan, lupa dan berkeliaran tak tentu arah hingga ke tempat yang sekarang menjadi Gang Intan itu.. Namun berkeliarannya itu memilik tujuan untuk mencari intan. 

Rupanya, saat di Banjar dulu, Ni putih ini menyaksikan langsung bagaimana kekejaman belanda dan perampasan harta Kesultanan Banjarmasin termasuk penjarahan bongkahan intan yang bernilai ratusan karat. Trauma ini muncul saat beliau sudah semakin tua. Rupanya beliau tidak rela, harta keluarganya dirampas oleh Belanda. 

Gang Banjar dan Gang Intan. Bandingkan ukuran gang dengan ukuran badan orang seperti dalam foto (Foto koleksi pribadi)
Gang Banjar dan Gang Intan. Bandingkan ukuran gang dengan ukuran badan orang seperti dalam foto (Foto koleksi pribadi)

Rumah Keluarga Hasanah

Di kawasan Empang, saya agak terkesan dengan landscapenya. Bayangkan, didalam lingkungan gang yang cukup kecil dan sempit serta berliku dan kadang naik dan turun, tapi padat dengan pemukiman serta didalamnya banyak rumah-rumah dengan bentuk bangunan yang bagus. 

Sebagian merupakan bangunan tua yang sudah direnovasi. Seperti rumah keluarga Hassanah (disini baru tahu bahwa Hasanah ternyata bukan nama wanita, tetapi nama marga keturunan Arab, seperti Assegaf, Balweel, dan lain sebagainya). 

Terletak di gang sempit, tetapi memiliki lahan yang luas serta bangunan yang asri, bersih dan indah. Menyerupai bangunan semacam kastil/istana kecil Belanda hanya seukuran rumah. 

Sayang kami tidak dapat menemui pemilik rumah, karena sedang keluar. Tapi terus terang, kalau lain waktu saya diminta untuk berkunjung ke rumah itu lagi, saya nyerah deh, nggak bisa, karena bingung dengan kelak-kelok berlikunya jalan menuju rumah itu.

Namun kami sempat pula berkunjung ke rumah salah satu keluarga keturunan Arab yang bersedia kami kunjungi, masuk ke rumahnya untuk melihat-lihat, walau kunjungan kami secara incognito. 

Rumah yang beraksara tahun 1938 di muka rumahnya - menandakan bangunan tersebut dibangun pada tahun tersebut, memiliki ciri rumah zaman dulu, fondasi lantai rumah agak tinggi dan hanya bertembok separuh saja. 

Setengah tembok ke atas terbuat dari kayu. Keramah-tamahan dua orang tua (nenek) kakak beradik menjadikan rumah itu menjadi rumah yang ramah. 

Rumah tersebut terasa antik melihat bangunan pintu dan jendelanya. Mereka masih memiliki kondisi tempat tidur yang bila melihatnya, saya merasa berada di rumah nenek/kakek saya yang memiliki tempat tidur seperti itu. Namun kesan moderen sempat tertangkap pula telah memasuki rumah itu dari adanya kamera cctv dan router internet di bagian depan rumah. Makasih ya nek kami diizinkan masuk dan melihat-lihat rumah indahnya. Barakallah.

Rumah keluarga Hasanah yang terletak di gang kecil, tetapi memiliki luas yang cukup dan bangunan yang indah (Foto koleksi pribadi)
Rumah keluarga Hasanah yang terletak di gang kecil, tetapi memiliki luas yang cukup dan bangunan yang indah (Foto koleksi pribadi)

Rumah tua keluarga keturunan Arab dengan furniture antiknya (Foto koleksi pribadi)
Rumah tua keluarga keturunan Arab dengan furniture antiknya (Foto koleksi pribadi)

Dua orang nenek kakak beradik pemilik rumah tua tersebut (Foto koleksi pribadi)
Dua orang nenek kakak beradik pemilik rumah tua tersebut (Foto koleksi pribadi)

Kopi Bah Sipit Cap Kacamata

Perjalanan terakhir berhenti di Kopi Bah Sipit. Di sini, ternyata kita tidak hanya disuguhi kelezatan dan sejarah kopi di Bogor, tetapi juga belajar enterpreneurship dari founder Kopi Bah Sipit. 

Sepengetahuan saya selama ini, kopi tertua di Bogor adalah Kopi Oplet dan Kopi Liong Bulan. Kopi Oplet lebih tua dari Kopi Liong Bulan. Ternyata pengetahuan saya tentang kopi khas Kota Bogor keliru. Kalau mau diurut sesuai urutan berdirinya, maka urut-urutan usaha kopi di Kota Bogor adalah sebagai berikut:

1. Kopi Bah Sipit Cap Kacamata didirikan tahun 1925.

2. Kopi cap Liong Bulan berdiri tahun 1945.

3. Kopi cap Teko berdiri tahun 1950.

4. Kopi cap Oplet, di Bogor berdiri pada tahun 1975.

Melihat tahun berdirinya, memang akhirnya ternyata Kopi Bah Sipit inilah yang tertua. Kenapa saya tahunya belakangan ya? Hehehe

Akhirnya karena penasaran, sambil mendengarkan kisah tentang berdirinya, saya mencoba menikmati kopi Bah Sipit ini yang sudah dalam bentuk saset dan diberi gula saeutik (sedikit). Kopi sasetan Bah Sipit yang kesemuanya merupakan kopi dari jenis Robusta ini memang warbiasah rasanya. 

Saya suka rasa pahitnya. Sedep gitu rasanya. Saya yang suka ngopi dan tanpa gula itu, mencoba menikmati kopi Bah Sipit setelah lelah kukurilingan (berkeliling) ngaprak napak tilas di kawasan Empang Bogor.

Ada tagline yang menarik dari kopi tertua yang ada di Bogor ini, yaitu: God created coffee as the idea to create the world. Cakep bener nih taglinenya. Sementara prinsip saya, yang biasa ngopi minimal dua kali sehari ini adalah: is there life before coffee? …. Pokoknya apapun dimulai dengan kopi dan diakhiri dengan kopi pula ya hehehe, sepakat?

Kopi Bah Sipit didirikan oleh warga keturunan China bernama Yoe Hong Keng yang memang berkacamata. Menamakan kopinya dengan Bah Sipit, karena sipit matanya dan mencirikan ke khasan dari ia yang berani membuka usaha ditengah-tengah mayoritas komunitas Arab. 

Kondisi ini yang menyebabkan akhirnya Yoe, yang hidup dari tahun 1902 - 1985, fasih berbahasa Arab - akibat interaksi dengan sekelilingnya. Inilah yang saya maksud dengan nilai enterpreneurship yang saya dapat dari pendiri Kopi Kacamata ini. 

Perbedaannya menjadi branding yang tepat untuk usahanya dan usaha keras dan konsistennya membuahkan hasil keberhasilannya. Saat ini usahanya diteruskan oleh generasi keduanya.

Keseruan di toko kopi Bah Sipit & kang Hendra yang sedang menjelaskan tentang kisah toko kopi ini (Foto koleksi pribadi)
Keseruan di toko kopi Bah Sipit & kang Hendra yang sedang menjelaskan tentang kisah toko kopi ini (Foto koleksi pribadi)

Produk kopi Bah Sipit Cap Kacamata (Foto koleksi pribadi)
Produk kopi Bah Sipit Cap Kacamata (Foto koleksi pribadi)

Sate Kambing Rebing

Sudah nyobain Sate Kambing Rebing dong hehehe (Foto koleksi pribadi)
Sudah nyobain Sate Kambing Rebing dong hehehe (Foto koleksi pribadi)

Makan siang di Sate Kambing Rebing tidak termasuk dalam jadwal ngaprak, inipun diputuskan disaat akhir ngaprak, karena ternyata rumah makan Sate Kambing Rebing ini berada di belakang Masjid At-Thohiriyah dan asli, Sate Rebing ini sudah sangat terkenal di Bogor dan pecinta kuliner dari luar Bogor. 

Sering saya ditanya, sudah nyobain Sate Kambing Rebing? Karena jarang ke daerah Empang, saya selalu geleng-geleng kepala saja. Alhamdulillah kesempatan itupun datang.

Dan sesuai dengan kekhasan kawasan Empang, rumah makan inipun terletak di gang. Mobil dan motor parkir di depan Masjid At-Thohiriyah. Kita harus berjalan kaki untuk mencapainya. 

Dari segi rasa, lumayanlah, saya suka daging satenya yang cukup muda dan kuah gulenya yang cukup pekat dan berempah. Hanya menikmati Rebing ini perlu kesabaran yang ekstra karena agak lama penyajiannya dan tempatnya yang kecil perlu sabar dan antri bila saat kita datang sudah terisi oleh pengunjung yang lebih dulu datang. Yang penting, sudah nyobain sate dan gule kambing Rebing yang terkenal itu. Yeay….

Foto-foto keren

Ngaprak dengan Komunitas NTPB inipun terasa menyenangkan karena kebanyakan peserta adalah fotografer-fotografer handal yang mengerti cara mengambil gambar, sehingga hikmah dari ngaprak yang saya ikuti ini adalah banyaknya foto-foto yang bagus-bagus. I like it very much, dan terima kasih untuk foto-fotonya. Sebagian saya pinjam ya untuk postingan ini.

Kalo ngaprak wajib foto-foto deh (Foto koleksi Dadan P. - NTPB)
Kalo ngaprak wajib foto-foto deh (Foto koleksi Dadan P. - NTPB)

Untuk Komunitas NTPB, yang beralamat sekretariat di Jl. Pancasan Baru Bogor, terima kasih untuk acara ngapraknya, ditunggu ngaprak-ngaprak berikutnya, semoga bisa ikutan lagi.

Untuk yang ingin tahu komunitas ini, bisa intip Instagramnya di @napaktilas_budaya.

Secara keseluruhan, kegiatan seperti ini memang mangpaat. disamping kita tambah sehat karena berjalan kaki aprak-aprakan, informasi dan pengetahuan kita terkait nilai-nilai kepahlawanan ataupun kejuangan  yang banyak orang - saya yakin - belum tahu tentang kisah-kisah ini. 

Terutama untuk generasi muda, ngaprak peninggalan budaya ini sangatlah diperlukan, biar mereka tidak melupakan sejarah yang dimiliki bangsa ini dan terutama, agar mereka lebih cinta akan tanah airnya. itulah permata kita, itulah intan kita yang harus kita rawat dan pelihara dan kita cari bila 'hilang'. 

Ditambah lagi, kumpul-kumpul kopdar (kopi darat) komunitas seperti ini sama dengan ajang silaturahmi dan silaturahmi dalam agama adalah upaya memperpanjang umur. 

Sehat...sehat...sehat....biar kita bisa berkopdar silaturahmi sambil ngaprak mangpaat di lain waktu. 

Hatur nuhun sadayana (terima kasih semuanya)

Semoga bermanfaat.

Bogor, Medio Agustus 2022 - dalam suasana memperingati HUT RI ke-77

Sumber informasi:

Flyer Komunitas Napat Tilas Peninggalan Budaya,

Keterangan Pupuhu Komunitas NTPB,

Informasi dari rekamjejak.com, Republika dan lain sebagainya.

Foto-foto: koleksi pribadi dan koleksi kang Dadan P. - NTPB)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun