Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Moestaram, Soeratin Cup dan Pahlawan Sepak Bola

2 Februari 2021   01:32 Diperbarui: 3 Februari 2021   01:02 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Moestaram dan istri (dok: Nin Ade)

Moestaram Soeratin cup (dok: PSSI)
Moestaram Soeratin cup (dok: PSSI)
Melalui tulisan, banyak hal dapat disampaikan. Melalui tulisan, banyak hal dapat diciptakan dan diceritakan. Melalui tulisan, ternyata banyak hal dapat terkuak. Demikianlah, hingga seorang Pramoedya Ananta Toer pun menyampaikan petuah yang menjadi favorit saya hingga kini, yaitu: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Di dalam tulisan ini, ada sedikit cerita, bagaimana kami sekeluarga mengetahui kiprah luar biasa kakek kami di dalam dunia persepakbolaan tanah air, dari sebuah informasi yang ada dalam sebuah buku.  

Kakek kami, Almarhum bapak Raden Moestaram bin Natadiwidjaja, yang kadang namanya ditulis dalam ejaan baru sebagai Mustaram,  ternyata merupakan seorang pemain bola terkenal dizamannya, zaman penjajahan Belanda dulu. Informasi tersebut kami peroleh setelah kami mengetahui nama Moestaram atau biasa disapa dengan nama kecilnya, yaitu Moes (kami menyebutnya dengan Aki Moes - Aki merupakan sebutan untuk kakek dalam Bahasa Sunda), disebut-sebut dalam buku karya Eddi Elison yang terbit tahun 2013 yang berjudul: 'Soeratin Sosrosoegondo Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan.'

Lebih lanjut Eddi memaparkan dalam bukunya itu, sebuah kisah bersejarah tentang Moestaram yang terjadi pada medio bulan Agustus tahun 1937, yaitu sebagai berikut:     

...saat itu persiapan PSSI untuk membentuk tim hanya dua hari. Sehingga PSSI kesulitan untuk memanggil pemain dari berbagai perserikatan, sampai akhirnya terpilih 12 pemain. Rinciannya, delapan pemain dari Surakarta (Maladi, Soemarjo, Soewarno, Handiman, Kemi, Soeharto, Soetris, Jazid), tiga dari Cirebon (Sardjan, Moestaram, Ahoed), dan satu pemain lagi berasal dari Yogyakarta (Djawad). Mereka lah skuad pertama timnas Indonesia yang murni dipilih oleh PSSI. Meski dibentuk dalam waktu singkat, ternyata timnas yang dibentuk PSSI tersebut mampu memberikan kejutan dengan mengimbangi Nan Hua, yang saat itu merupakan salah satu klub besar di Cina, dengan skor 2-2. Berdasarkan reportase koran Sin Tit Po (9 Agustus 1937), Nan Hua yang saat itu diperkuat pemain legendaris Lee Wai Tong, sempat unggul lebih dulu lewat gol Shiu Wing. Skor 1-0 bertahan hingga babak pertama berakhir. Pada babak kedua, Indonesia sempat berhasil membalikkan kedudukan lewat dua gol yang dicetak Moestaram. Sayang, beberapa menit sebelum pertandingan selesai, King Cheung berhasil membawa Nan Hua menyamakan kedudukan menjadi 2-2....

Horeeee.... ternyata luar biasa ya Aki Moes ini. Di momen yang bersejarah tersebut, Aki Moes dapat menciptakan gol balasan yang nggak tanggung-tanggung, Aki Moes menciptakan 2 (dua) gol berturut-turut di babak kedua yang membuat pertandingan itu menjadi seri, dua sama. 

Untuk sebuah tim yang saat itu dibentuk dengan persiapan yang sangat singkat, hasil tersebut tentulah sangat membanggakan. Warbiasah Aki, salutku padamu. Sangat betul pula apa yang disebutkan di buku itu, yaitu bahwa momen tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah momen perjuangan kebangsaan.

Kalau tidak membaca informasi seperti yang disampaikan di dalam buku itu, kami tidak mengenal prestasi Aki Moes di kancah persepakbolaan tanah air. Karena memang di dalam keluarga, tidak ada yang tahu mengenai hal itu. Ibu saya saja, yang merupakan putri kedua dari Aki Moes ini, saat saya bacakan ke beliau kutipan buku di atas,  bahwa nama Aki Moes disebut-sebut dalam buku tentang Soeratin tersebut, terlihat bulir air mata menggelantung di kedua kelopak matanya. 

Ninin Ade (Ninin adalah sebutan untuk nenek dalam bahasa Sunda) seakan dibawa kembali ingatannya ke masa berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ninin Ade sendiri tidak mengetahui sepak terjang Aki Moestaram yang membanggakan tersebut. Memang semua keluarganya tahu tentang hobi bola Aki Moes ini (Saat itu Aki Moestaram memang tinggal dan bekerja di Cirebon dan tergabung dalam Klub Sepak Bola Daerah Cirebon). Mengerti pula kalau beliau itu adalah pemain yang handal di tim sepak bola PSSI - pemain nasional, yang saat itu berusia sekitar 25 tahun. 

Tahu juga kalau Aki Moes, yang dilahirkan di Sumedang tanggal 2 Oktober 1912 ini sangat keranjingan dengan sepak bola. Tapi informasi yang dimiliki keluarga terkait prestasi-prestasi beliau sangatlah minim. Informasi seperti yang ditulis dalam buku itu tidak diketahui keluarga.

Hal ini dapat dimungkinkan terjadi disebabkan oleh antara lain karena Aki Moestaram meninggal di usia yang relatif muda yaitu 42 tahun karena serangan jantung. Beliau meninggal dunia pada tanggal 8 Agustus 1955. Saya sendiri, juga kakak dan adik saya, bahkan almarhum bapak saya, belum pernah bertemu langsung dengan beliau. Karena saat alm ayah saya menikahi ibu saya, Aki Moes sudah lama wafat. Pada saat Aki Moes wafat, putra-putrinya masih kecil-kecil. 

Pernikahan Aki Moestaram dengan dara jelita Ninin Ai (dengan nama lengkap: Nyi Entin binti Sudjana Sastrawidjaja pada tanggal 21 Agusus 1937), Aki Moes dikaruniai 6 (enam) orang putra-putri, tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Dari keenam putra-putri Aki Moes, saat ini, tinggal satu orang yang masih Alhamdulillah sehat wal afiat, yaitu ibu saya yang biasa dipanggil dengan sebutan kesayangan, Nin Ade (nama lengkap beliau adalah R. Ade Fatimah).

Tidak ada foto-foto Aki Moestaram yang dapat terdokumentasi dengan baik. Hanya satu yang dapat kami peroleh dari hiasan foto ornamen keluarga. Foto Aki Moes berdua dengan Nin Ai. Hingga kamipun mengenal Aki Moes lewat namanya saja. Walau sesekali mengunjungi rumah peristirahatan terakhirnya saat ini yaitu di kompleks pemakaman Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Di makam tersebut Aki Moes berdampingan dengan kekasih hati tersayangnya, yakni almarhumah Nin Ai yang meninggal pada tanggal 2 Januari 1996 dalam usia 77 tahun. 

Yah, kami tidak sempat bertemu muka dengan beliau. Tidak sempat mendengarkan kisah-kisah kepahlawanannya di lapangan hijau, lapangan yang kemudian membuat Aki Moes berkesempatan mengharumkan nama bangsa itu.

Nin Ade, kemudian lanjut menceritakan sedikit dari apa yang diingat dan dialaminya saat Aki Moestaram masih hidup dan bagaimana beliau sangat bangga dengan kesebelasan tanah air serta'kegilaan' beliau pada dunia persepakbolaan. Jadi menurut Nin Ade, zaman itu belum ada televisi (sebagai informasi, televisi masuk ke Indonesia yang ditandai dengan mulai mengudaranya TVRI di tahun 1962). 

Pertandingan sepak bola disiarkan melalui stasiun radio (RRI - Radio Republik Indonesia). Bila ada pertandingan sepak bola di radio, setiap orang di rumah tidak boleh berisik, karena Aki Moes ingin 'khusuk' mendengarkan siaran pertandingan tersebut. Sebelum pertandingan dimulai, Aki Moes telah mempersiapkan kertas dan pulpen. 

Saat siaran pertandingan sepak bola itu dimulai, Aki Moes pun mulai sibuk mencoret-coret di kertas-kertasnya itu pemain-pemain yang sedang berlaga di lapangan serta apa yang terjadi di lapangan (yang terjadi di lapangan pertandingan dipindahkan ke atas kertas oleh Aki Moes). Perpindahan pemainpun diikutinya dengan coretan-coretan pulpen dikertas-kertasnya itu. 

Sehingga Aki Moes mencoba memvisualisasikan apa yang didengarnya dari pesawat radio ke kertas-kertas tersebut dengan pulpennya. Demikian beliau melakukannya dengan serius hingga pertandingan usai. Saat memvisualisasikannya di kertas itu, Aki Moes ingat atau tahu nomor punggung setiap pemain. Ia mengikuti apa yang dikatakan oleh si penyiar radio tersebut dengan seksama.

Bagi yang tidak terbiasa 'menyaksikan' pertandingan bola melalui radio, sepertinya memang akan agak sulit membayangkan visualisasi yang dilakukan oleh Aki Moes tersebut. Namun yang sudah biasa, sepertinya tidaklah mengherankan. Konon pula, reporter siaran bola di radio sangat seru dan heboh melebihi penyiar/komentator bola di televisi.

Sehingga, masih menurut Ninin Ade, mengikuti Aki Moes 'menonton' bola lewat radio itu, dan melihat coretan-coretan Aki Moes di atas kertas, anggota keluarga lainnya akhirnya mengikuti pula keseruan pertandingan sepak bola tersebut. Karena disamping keseruan gerakan tangan Aki Moes saat memegang pulpen di atas kertas mengikuti ucapan-ucapan komentator radio itu, keseruan komentar Aki Moespun sangat seru, terutama apabila beliau mendengar posisi pemain yang tidak tepat, lemparan bola yang kurang terarah dan terutama apabila ada pemain yang berbuat kesalahan, pasti komentar-komentar beliau menyaingi komentar dari si komentator di radio itu. 

Di dalam rumah suasana menjadi riuh rendah suara bersahut-sahutan antara suara komentator pertandingan di radio, suara Aki Moes dan suara-suara lain dari seisi rumah.

Melihat nama Aki Moestaram disebut-sebut di dalam buku itu, kami semua anak-cucu keturunannya tentu sangat bangga. Apalagi melihat Ninin Ade kemudian berbicara tentang Aki Moes dengan luapan mata yang berbinar-binar. Bangga pula karena kakek kami merupakan seorang pejuang di bidang olah raga yang sempat tercatat dalam sejarah. Seorang pejuang bersama-sama rekan-rekan timnya membela nama bangsa dan negara di kancah persepak-bolaan hingga ke tingkat internasional.

Diluar sepak bola, ternyata Aki Moestaram ini memiliki prestasi pula. Masih menurut Nin Ade, Aki Moestaram merupakan atlit Lompat Jauh. Prestasi beliau pada cabang olah raga atletik Lompat Jauh adalah Aki Moes merupakan juara nasional di bidang atletik Lompat Jauh. Hanya sayang, informasi ini tidak dilengkapi dengan data pendukung karena tidak ada. Kisah ini disampaikan terbatas diantara keluarga saja.

Soeratin Cup itu sendiri, awalnya merupakan sebuah turnamen kompetisi sepak bola di Indonesia. Turnamen ini diperuntukkan bagi pemain sepak bola dengan usia 18 tahun ke bawah. Namun dengan bergulirnya waktu, terjadi perubahan peraturan. Tahun 2012, PSSI merubah sistem kompetisi Piala Soeratin menjadi diperuntukkan bagi usia pemain 17 tahun kebawah.   

Nama Soeratin diambil dari nama depan mantan ketua umum PSSI yang pertama yang merupakan pula salah seorang perintis dan pembangun dunia persepakbolaan Indonesia yaitu Soeratin Sosrosoegondo yang lahir di Yogyakarta 17 Desember 1898. Beliau menjadi Ketua Umum PSSI untuk periode 1930 - 1940.

Hal lain yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa ternyata memang sangat penting dan bermanfaat untuk mendokumentasikan even-even penting dalam dokumentasi tertulis (kalau zaman sekarang perlu pula didukung dengan dokumentasi berbentuk audio visual). Buku karya Eddie ini salah satu buktinya. Dengan apa yang ditulisnya itu, kita semua mengetahui perjuangan anak bangsa di bidang persepak bolaan pada masa penjajahan Belanda dulu itu. Persis seperti yang disampaikan bung Pramoedya...."bagian dari keabadian"....

Kini, setiap ada perbincangan tentang Soeratin Cup, kami langsung teringat perjuangan Soeratin dan timnya, dimana kakek kami, Aki Moes termasuk di dalamnya. Soeratin Cup dilaksanakan setiap tahun, hanya saja, untuk saat sekarang dimana masa pandemi Covid-19 ini sangat membahayakan, kemungkinan ajang tersebut tidak dapat dilaksanakan. Namun semangat sportifitas dan fairness perjuangan di bidang olah raga harus tetap dan masih terus perlu digelorakan di segala bidang. 

Perjuangan di masa kini termasuk berjuang sekeras mungkin melawan virus Corona yang mematikan ini, agar semuanya dapat kembali normal - walau dalam suasana baru yang disebut new normal. Diharapkan pula agar even-even olah raga termasuk Soeratin Cup ini dapat kembali digelar secara normal di masa depan.

Semoga kisah Aki Raden Moestaram ini dapat menjadi contoh dan penyemangat bagi keturunan-keturunannya maupun bagi masyarakat luas. 

Aki Moes, we are very proud of you, and you are our hero. we love you so much   

Alfatihah untuk beliau ... aamiin

Catatan: foto lambang Soeratin: koleksi PSSI.org dan foto Aki Moes dan Nin Ai: koleksi keluarga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun