Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Belum Merah Berarti Belum Sembuh, Brader...

26 November 2017   23:38 Diperbarui: 27 November 2017   00:05 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bahan presentasi Prof. Didik Tamtomo

Kalau belum merah, artinya belum sembuh, karena konon, 'angin'nya belum keluar. Itu pesan ibu saya yang saya ingat. Pesan itu diucapkan saat saya mengerik bagian punggungnya, kalau beliau sakit masuk angin. 

Kebiasaan kerokan atau kerikan, memang sudah menjadi kebiasaan keluarga kami. Ibu saya, hingga kini, masih menyimpan uang koin gulden Belanda - warisan jaman old lalu, jaman penjajahan Belanda, saat koin tersebut masih laku digunakan. Hingga kini, koin tersebut masih disimpannya di dompet kecil khusus yang baru dibuka saat ingin dikerik saja. Ibu saja menyebutnya dengan uang benggol. Walau sudah banyak alat kerokan saat ini. Ibu saya nggak mau menggunakannya, hanya uang benggol yang ia mau.

"nggak enak dan takut nggak sembuh." Begitu ucapnya kalau saya minta beliau menggunakan alat lain selain benggol kesayangannya itu.

gulden-bukalapak-5a1ae5db63b2485d6d49c172.jpg
gulden-bukalapak-5a1ae5db63b2485d6d49c172.jpg
Kalau saya lain lagi. Sayapun biasa dikerik mulai saya usia SD (sekolah dasar). Yang memperkenalkannya siapa lagi kalau bukan ibu saya (thanks so much ya Mom for introducing me to kerokan since my early age). Cuma saya agak beda. Saya nggak tahan pakai benggol milik ibu saya kalau dikerik. Pernah juga pakai sendok makan (seperti kebiasaan beliau juga kalau benggolnya sedang nyelip entah dimana, biasa ... lupa meletakkan - walau akhirnya ketemu lagi juga), saya nggak tahan juga. Cuma waktu itu ibu saya tidak kehilangan akal. Beliau menggunakan bawang merah. Cara menggunakan bawang merah ini adalah cukup sebuah bawang merah dikupas kemudian dipotong menjadi dua dan bagian yang dipotongnya itu - yang rata - yang digunakan untuk mengerik, bukan bagian runcingnya. Kata ibu saya terkait kenapa digunakan bawang merah sebagai alat pengeri,"Bawang merah juga bagus, panas yang ditimbulkan oleh bawang merah akan membantu mempercepat pengeluaran angin dari dalam tubuh si pasien (dalam hal ini saya) yang sedang menderita masuk angin. Sebaliknya, bawang merah akan menyerap angin yang dikeluarkan oleh tubuh. Begitu pengetahuan yang dikenalkan ibu saya. Tapi sekarang sih saya sudah bisa dikerik menggunakan koin. Biasanya dengan koin uang seribu rupiah saja, cukup itu.

Menurut ibu saya, yang 'ilmu' mengeriknya juga diajarkan oleh ibunya yang artinya adalah nenek saya, dalam mengerik, gunakan bahan yang tidak membuat sakit saat dikerik - yaitu bahan seperti minyak atau balsem dan saat dikerik, kulit harus berubah menjadi merah. Bahkan bila masuk anginnya parah, warna yang ditimbulkan bukan hanya merah cerah, melainkan dapat menimbulkan warna merah tua keungu-unguan. Kalau tidak merah, katanya, ada dua kemungkinan, memang tidak masuk angin, atau cara mengeriknya salah. Karena katanya bahwa kulit merah itu adalah karena proses angin yang keluar melalui pori-pori kulit - yang membuatnya menjadi memerah. Benar atau tidaknya, itulah yang diyakini oleh siapapun yang meyakini kerokan adalah cara awal untuk mengeluarkan penyakit dari dalam tubuh. Seperti, sekali lagi, pesan ibu saya, "kalau sakit dikerok dulu. Kalau masih belum sembuh juga, baru minum obat, baru ke dokter." Saya cukup memercayai nasihatnya ini. Karena terbukti oleh pengalaman-pengalaman yang saya alami. Walau tidak dipercaya oleh dunia kedokteran.

Dokter tidak percaya?

Begitulah yang saya ketahui yaitu bahwa dokter atau kalangan medis, tidak memercayai kerokan sebagai salah  satu metoda pengobatan tradisional Indonesia, karena katanya justru dapat merusak kulit. Saya pernah menanyakan hal itu secara langsung saat saya mengantar ibu saya ke dokter (saat itu setelah dikerok, ibu saya belum kunjung sembuh jua). Saat di ruang praktik dokter itu saya tanyakan tentang kerokan, bagaimana menurut dunia kedokteran. Dokter itu memberikan jawaban yang sangat tegas dan akademis, yaitu bahwa istilah kerokan tidak dikenal di dunia kedokteran dan bahkan dianjurkan untuk tidak melakukan kerokan karena dapat merusak kulit, karena pori-pori kulit menjadi terbuka dan kulit menjadi tipis karenanya - hal ini tidak baik bagi kesehatan tubuh.

Percaya nggak percaya apa yang disampaikan oleh dokter tersebut, nyatanya lebih banyak sembuhnya kok kalau dikerok dibandingkan tidaknya. Saat itu pula saya tidak mendebat dokter itu, karena pengalaman pribadi menunjukkan hal yang berbeda.

Saya sendiri merasa beruntung dulu sering dimintai tolong oleh ibu untuk mengerik kalau beliau sedang kurang enak badan plus sayapun dikerik bila mengalami hal yang sama, hingga, kerokan bisa menjadi semacam alternatif pengobatan pertama-lah. Sehingga tidak perlu sedikit-sedikit minum obat. Alhamdulillah, sudah dikerik, ditambah istirahat, sembuh deh.

Banyak dokter atau kalangan medis yang tidak percaya kerokan, tapi banyak juga yang percaya dan bahkan melakukan kerokan atau kerikan tersebut. Penjelasan yang lebih lengkap, termasuk tinjauan medisnya diberikan oleh Prof. Dr. Didik Gunawan Tamtomo, dr, PAK, MM, M.Kes. 

Menurut Prof. Tamtomo, kerikan atau kerokan merupakan suatu upaya pengobatan tradisional Jawa dengan cara menekan dan menggeserkan secara berulang-ulang benda tumpul pada kulit dengan pola tertentu, sehingga terjadi bilur-bilur berwarna mera. Biasa digunakan uang logam benggol. 

Penjelasan pak Prof itu paralel dengan apa yang dipraktikan oleh ibu saya, termasuk apa yang disebut oleh Prof. Tamtomo ini dengan 'pola tertentu'. Ibu saya mengatakan bahwa bila mengerik, maka gerakan harus dari dalam ke luar, berawal dari tulang belakang berakhir di ujung luar tulang rusuk untuk satu baris kerikan. 

Pola alur kerikan (sumber bahan presentasi Prof. Tamtomo)
Pola alur kerikan (sumber bahan presentasi Prof. Tamtomo)
Seperti telah saya singgung di atas, untuk mengurangi rasa perih yang ditimbulkan, digunakan minyak atau jenis balsem. Berdasarkan pengalaman, kami biasa menggunakan minyak Tawon yang dicampur dengan kayu putih. Pernah kehabisan minyak jenis itu, minyak gorengpun bisa pula digunakan sebagai alternatif. Tapi sekarang penganus kerokanisme ini tidak perlu bersusah payah mencampur minyak untuk kerikan. Telah tersedia balsem yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam proses kerokan, yaitu Balsem Lang. Kelebihan Balsem Lang ini adalah tidak lengket, bila digunakan akan terasa lebih hangat serta yang tidak kalah pentingnya yaitu aromanya yang lebih menyenangkan, kalau dihirup aromanya membuat rasa lebih nyaman baik yang dikerik maupun yang mengerik. 

Balsem Lang (sumber: https://www.instagram.com/sobat_hangat/)
Balsem Lang (sumber: https://www.instagram.com/sobat_hangat/)
Ibu saya saja, tadinya tidak mau meninggalkan kebiasaan menyampur minyak-minyak seperti tersebut di atas. Tetapi setelah saya kenalkan dengan Balsem Lang, sempat menolak awalnya, tetapi setelah langsung merasakan sendiri saat dikerik, beliau langsung suka. Apalagi ibu saya menambahkan kesannya setelah menggunakan Balsem Lang yaitu disamping lebih hangat, ternyata, rasa hangatnya itupun dapat bertahan lebih lama, sehingga beliau biasanya langsung tertidur pulas selepas dikerik. "Lebih enak, angetnya lebih lama." ujar beliau. 

Sehingga sekarang ini, Balsem Lang-pun masuk ke dalam dompet kecil itu bersamaan dengan uang benggol. 

Tapi tetap saja pesan 'keramat'nya tidak terlupa saat saya membelikan beliau Balsem Lang, yang merupakan produksi PT. Eagle Indo Pharma itu,"jangan lupa kalau mengerik, harus sampai merah ya, supaya, karena kalau nggak merah, belum sembuh itu." Demikian keyakinannya mengingatkan saya. 

Ah, jadi kangen jumpa ibu.

Semoga bermanfaat

@kangbugi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun