Kalau belum merah, artinya belum sembuh, karena konon, 'angin'nya belum keluar. Itu pesan ibu saya yang saya ingat. Pesan itu diucapkan saat saya mengerik bagian punggungnya, kalau beliau sakit masuk angin.
Kebiasaan kerokan atau kerikan, memang sudah menjadi kebiasaan keluarga kami. Ibu saya, hingga kini, masih menyimpan uang koin gulden Belanda - warisan jaman old lalu, jaman penjajahan Belanda, saat koin tersebut masih laku digunakan. Hingga kini, koin tersebut masih disimpannya di dompet kecil khusus yang baru dibuka saat ingin dikerik saja. Ibu saja menyebutnya dengan uang benggol. Walau sudah banyak alat kerokan saat ini. Ibu saya nggak mau menggunakannya, hanya uang benggol yang ia mau.
"nggak enak dan takut nggak sembuh." Begitu ucapnya kalau saya minta beliau menggunakan alat lain selain benggol kesayangannya itu.
Menurut ibu saya, yang 'ilmu' mengeriknya juga diajarkan oleh ibunya yang artinya adalah nenek saya, dalam mengerik, gunakan bahan yang tidak membuat sakit saat dikerik - yaitu bahan seperti minyak atau balsem dan saat dikerik, kulit harus berubah menjadi merah. Bahkan bila masuk anginnya parah, warna yang ditimbulkan bukan hanya merah cerah, melainkan dapat menimbulkan warna merah tua keungu-unguan. Kalau tidak merah, katanya, ada dua kemungkinan, memang tidak masuk angin, atau cara mengeriknya salah. Karena katanya bahwa kulit merah itu adalah karena proses angin yang keluar melalui pori-pori kulit - yang membuatnya menjadi memerah. Benar atau tidaknya, itulah yang diyakini oleh siapapun yang meyakini kerokan adalah cara awal untuk mengeluarkan penyakit dari dalam tubuh. Seperti, sekali lagi, pesan ibu saya, "kalau sakit dikerok dulu. Kalau masih belum sembuh juga, baru minum obat, baru ke dokter." Saya cukup memercayai nasihatnya ini. Karena terbukti oleh pengalaman-pengalaman yang saya alami. Walau tidak dipercaya oleh dunia kedokteran.
Dokter tidak percaya?
Begitulah yang saya ketahui yaitu bahwa dokter atau kalangan medis, tidak memercayai kerokan sebagai salah satu metoda pengobatan tradisional Indonesia, karena katanya justru dapat merusak kulit. Saya pernah menanyakan hal itu secara langsung saat saya mengantar ibu saya ke dokter (saat itu setelah dikerok, ibu saya belum kunjung sembuh jua). Saat di ruang praktik dokter itu saya tanyakan tentang kerokan, bagaimana menurut dunia kedokteran. Dokter itu memberikan jawaban yang sangat tegas dan akademis, yaitu bahwa istilah kerokan tidak dikenal di dunia kedokteran dan bahkan dianjurkan untuk tidak melakukan kerokan karena dapat merusak kulit, karena pori-pori kulit menjadi terbuka dan kulit menjadi tipis karenanya - hal ini tidak baik bagi kesehatan tubuh.
Percaya nggak percaya apa yang disampaikan oleh dokter tersebut, nyatanya lebih banyak sembuhnya kok kalau dikerok dibandingkan tidaknya. Saat itu pula saya tidak mendebat dokter itu, karena pengalaman pribadi menunjukkan hal yang berbeda.
Saya sendiri merasa beruntung dulu sering dimintai tolong oleh ibu untuk mengerik kalau beliau sedang kurang enak badan plus sayapun dikerik bila mengalami hal yang sama, hingga, kerokan bisa menjadi semacam alternatif pengobatan pertama-lah. Sehingga tidak perlu sedikit-sedikit minum obat. Alhamdulillah, sudah dikerik, ditambah istirahat, sembuh deh.
Banyak dokter atau kalangan medis yang tidak percaya kerokan, tapi banyak juga yang percaya dan bahkan melakukan kerokan atau kerikan tersebut. Penjelasan yang lebih lengkap, termasuk tinjauan medisnya diberikan oleh Prof. Dr. Didik Gunawan Tamtomo, dr, PAK, MM, M.Kes.
Menurut Prof. Tamtomo, kerikan atau kerokan merupakan suatu upaya pengobatan tradisional Jawa dengan cara menekan dan menggeserkan secara berulang-ulang benda tumpul pada kulit dengan pola tertentu, sehingga terjadi bilur-bilur berwarna mera. Biasa digunakan uang logam benggol.