Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sokola Kaki Langit, Mengembangkan Empati Kaum Muda Makassar

4 April 2017   13:48 Diperbarui: 4 April 2017   22:30 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendiri Sokola Kaki Langit: A. M. Kumalasari Juanda / dokumentasi pribadi

Sokola Kaki Langit (SKL), bagi yang belum mengenal akan keberadaan SKL ini,  merupakan sarana pendidikan non-formal bagi anak-anak di daerah terpencil/pelosok di beberapa lokasi binaan SKL di Sulawesi Selatan yang bertujuan untuk membantu anak-anak tersebut mendapatkan pengajaran yang lebih baik.

SKL didirikan oleh Andi Mey Kumalasari Juanda, seorang wanita muda kelahiran Soppeng. Memiliki nama yang mirip-mirip dengan Sokola Rimba-nya Butet Manurung, memang diakui oleh Andi, yang adalah alumni UNM ini, Sokola Rimba telah menjadi salah satu inspirasinya mendirikan SKL. Namun SKL tidak meniru mentah-mentah Sokola Rimba yang sudah cukup terkenal itu.  SKL memiliki ciri khasnya tersendiri.

SKL, yang didirikan pada tahun 2014 ditanggal 28 Desember ini telah memiliki sekitar 270 relawan pengajar dengan cakupan 3 (tiga) desa binaan,  yaitu Dusun Umpungeng - Kab.  Soppeng serta Dusun Panggalungan & Dusun Maroanging,  keduanya berada di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Diantara target SKL ini adalah berdirinya 1 (satu) rumah baca di setiap desa binaan SKL.

Salah satu kegiatan indoor Sekolah Kaki Langit di lokasi desa binaan / dokumentasi pribadi
Salah satu kegiatan indoor Sekolah Kaki Langit di lokasi desa binaan / dokumentasi pribadi
Kegiatan-kegiatan khas SKL terbagi kedalam 3 (tiga)  bagian,  yaitu:

1. Rumah baca - minimal satu disetiap lokasi desa binaan,

2. Proyek berbagi, dalam kegiatan ini,  SKL menjadi wadah mereka yang ingin menyalurkan sumbangannya seperti dalam bentuk: buku (layak baca) ,  pakaian (layak pakai) dan uang,

3. Ikhlas Pemuda, merupakan perluasan dari materi yang biasanya dilakukan di dalam kelas,  kegiatan ini dilakukan di luar kelas/jam sekolah.  Merupakan pengembangan minat & bakat pemuda-pemuda di sekitar desa binaan, biasanya berupa olah-raga, menyanyi, puisi, drama hingga crafting/prakarya - yang biasanya memanfaatkan barang-barang bekas/tidak terpakai.

Pendiri Sokola Kaki Langit: A. M. Kumalasari Juanda / dokumentasi pribadi
Pendiri Sokola Kaki Langit: A. M. Kumalasari Juanda / dokumentasi pribadi
Berdasarkan pengalaman para relawan SKL,  seperti dituturkan secara luas oleh salah seorang relawannya,  yaitu Achmad Teguh Saputro - yang biasa disapa dengan Teguh,  menjadi relawan SKL lebih banyak sukanya dibandingkan dukanya.

"saya sangat menikmatinya,  pak,  sangat berkesan. " begitu ujar Teguh menjawab pertanyaan saya tentang kesan-kesannya sebagai relawan SKL.

Teguh, yang sehari-harinya adalah mahasiswa semester VI jurusan Informatika di STMIK Dipanegara ini, menceritakan pengalaman-pengalaman dan kesan-kesannya menjadi relawan SKL.

Kegembiraan anak-anak dengan kedatangan tim Sokola Kaki Langit / dokumentasi pribadi
Kegembiraan anak-anak dengan kedatangan tim Sokola Kaki Langit / dokumentasi pribadi
Ia, walaupun sudah mendengar tentang SKL semenjak tahun 2014, tapi baru tergerak melibatkan diri menjadi relawan SKL di tahun 2016 lalu. Yang menimbulkan ketertarikannya itu adalah pertanyaan-pertanyaannya sendiri terhadap kegiatan SKL yaitu: Mengapa SKL harus dilaksanakan di pelosok-pelosok, padahal, di kota besarpun banyak membutuhkan pendidikan non formal semacam itu?

Ternyata, setelah 'menceburkan' diri langsung menjadi relawan, ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebuti. 

Menurut Teguh, setelah beberapa kali menjadi relawan di SKL, ia memahami, arti dari Sokola Kaki Langit. Kaki Langit, menurutnya berarti pelosok yang dari sana masih jelas terlihat jernih dan cerahnya langit di alam raya itu. Kemudian, iapun mencoba membandingkan antara kondisi belajar-mengajar di kota dan di pelosok itu.

Teguh saat menceritakan pengalamannya menjadi relawan Sokola Kaki Langit / dokumentasi pribadi
Teguh saat menceritakan pengalamannya menjadi relawan Sokola Kaki Langit / dokumentasi pribadi
Teguh, yang anak kedua dari empat bersaudara itu, memperhatikan bahwa bila di kota, guru-guru dan sekolah-sekolah tersedia atau memadai. Maka bila mereka tidak mau bersekolah, bukan karena tidak tersedia guru/sekolahnya, tetapi karena anak-anak yang tidak mau memanfaatkannya. Sementara di pelosok, berdasarkan pengalamannya, banyak sekali yang ingin bersekolah, tetapi akses terhadap guru dan sekolah (termasuk ketersediaannya) yang terbatas. Sebagai contoh, ia melihat kadang ada guru yang harus bergantian mengajar di sekolah yang berbeda, karena kekurangan guru, di satu sekolahpun guru mengajar di kelas yang berlainan secara bergantian.

Mengikuti SKL membuat Teguh dan relawan-relawan lain berkembang rasa empatinya, rasa empati terhadap situasi dan kondisi belajar-mengajar di daerah pelosok. Mengikuti kegiatan ini membuat rasa syukur mereka meningkat.

“Alhamdulillah, kondisi saya lebih baik dari mereka, dengan menjadi relawan SKL merupakan wujud rasa syukur saya juga.” Demikian Teguh menambahkan kesannya selaku relawan SKL. 

Pelaksanaan SKL setiap evennya adalah selama 3 (tiga) hari – setiap relawan harus tinggal selama tiga hari di lokasi SKL diadakan dengan membawa peralatan serta kebutuhan pribadinya masing-masing. Di sana, biasanya, mereka menginap di rumah kepala desa ataupun di rumah penduduk. Sedangkan persiapan menuju keberangkatan ke lokasi tujuan, SKL menerapkan sistem bahwa semua (calon) relawan harus mengikuti masa persiapan yang diadakan 4 (empat) kali berturut-turut setiap minggunya sebelum hari H keberangkatan. 

Empat kali pertemuan ini harus diikuti sepenuhnya, bila tidak maka diberlakukan sistem gugur. Alasannya adalah bahwa pertemuan yang empat kali itu merupakan masa pembekalan agar selama berada di sana, para relawan siap baik dengan situasi kondisi di lokasi SKL maupun siap saat memberikan materi (mengajar) kepada para siswa di sana.

“Saya betah di sana (lokasi/desa binaan), ikut menjadi relawan SKL. Disamping karena bertemu dengan anak-anak yang lucu dan lugu, juga bersentuhan dengan alam sekitar yang masih asri serta masyarakatnya yang terasa sangat bersahabat dan erat kekeluargaannya.” Demikian tambah Teguh.

Teguh barangkali mewakili perasaan dan kesan yang ditimbulkan di hati para relawan lainnya selepas mengikuti menjadi relawan Sokola Kaki Langit. Bahkan kemudian tumbuh keinginan untuk lagi, lagi dan lagi menjadi relawan SKL, sebagai sarana mereka untuk berbagi, berbagi dan berbagi.

Di era modern dengan krisis empati ini, keberadaan Sokola Kaki Langit menjadi sangat bermakna. Bagaimana dengan anak muda Makassar lainnya, berminat mengembangkan empatinya? Sokola Kaki Langit dapat menjadi alternatif untuk itu.

(Info lebih lanjut tentang Sokola Kaki Langit dapat menghubungi twitter: @Skakilangit)

Semoga bermanfaat.   

@kangbugi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun