[caption caption="Spanduk ceker setan Makassar"][/caption]
Jarang saya menemukan kaki ayam (ceker) masuk kedalam sajian kuliner di Makassar. Bahkan di sajian sehari-hari orang Bugis/Makassar, jarang saya menemukan ceker disajikan di meja makan. Bahkan ketika saya masak ceker presto goreng misalnya, kemudian saya tawarkan kepada rekan-rekan sekantor, jarang mereka mau mencicipinya. Tidak lazim begitu katanya. Yah … paling-paling hanya rekan-rekan yang biasanya berasal dari Pulau Jawa yang suka masakan ceker yang saya bawa itu.
Makanya saya agak heran begitu sahabat saya, Gerry Rachman, yang juga adalah seorang pecinta 'hunting' kuliner menginformasikan tentang kuliner ceker di Makassar. Namanya pun serem, menggunakan kata-kata setan, tepatnya ceker setan. Tapi kata setan di situ rupanya sebagai tanda bahwa ceker itu rasanya memang pedessss bener, terutama bagi saya yang kurang menyukai rasa pedas dalam masakan. Ditawarkan dengan 2 (dua) macam menu. Ceker dan (tahu) isi setan. Di tahunya, karena ada 'setannya', tahu inipun pedas rasanya - ada 'ranjau' potongan cabe rawit di dalam isi tahunya. So, untuk anda yang tidak suka pedas, berhati-hatilah, tapi untuk anda yg suka pedas, nggak masalah lah yauw.
[caption caption="Booth ceker setan"]
Lokasinya di pusat kota Makassar - lebih dekat ke pelabuhan Soekarno-Hatta maupun Benteng Rotterdam, tepatnya di depan Tugu Mandiri (yang berada di dekat kantor RRI). Jam buka hari Senin sampai Sabtu malam, sekitar pukul 19.00 dan biasanya sebelum pukul 21.00 wita, sudah habis. Banyak calon penikmat kuliner ini yang akhirnya gigit jari, karena nggak kebagian.
Pemiliknya mas Hendrik dan mas Andika, melayani langsung pembeli. Ternyata mereka ini adalah wirausaha-wirausahawan muda. Dari sedikit bincang-bincang dengan mereka, nampaknya mereka termasuk jenis manusia yang ulet, tidak bisa diam, pintar membaca peluang dan kreatif.
Mereka sibuk bekerja di perusahaan swasta dari pagi hingga sore hari, sementara malamnya mereka sibuk berjualan tahu dan ceker setan.
Omzetnya, menurut mereka cukup lumayan dan menjanjikan. Usaha yang baru dijalani selama kurang lebih lima bulan ini telah mengalami peningkatan yang signifikan. Awalnya, mereka hanya menyediakan sekitar 30 buah tahu isi dan 2 (dua) kilogram ceker, sekarang mereka harus menyediakan sekitar 150-200 buah tahu isi dan minimal 15 kilogram ceker ayam.
Menurut penuturan Hendrik ketika ditanyakan mengapa memilih ceker yang kurang populer di Makassar, iapun menuturkan, "Disitulah tantangannya dalam berusaha, kami suka mencoba hal baru dan mengusahakan hal yang tidak populer menjadi sesuatu yang nantinya disukai dan populer, rasanya bagaimana gitu."
[caption caption="Ini dia si ceker setan"]
Sementara Andika mengatakan,"kualitas rasa harus dipertahankan karena disitulah pelanggan akan bertambah."
Usaha ini, menurut mereka, telah membuat mereka menjadi manusia super sibuk, tetapi dalam kesuper-sibukannya itu, mereka jadi lebih dapat menghargai dan memanfaatkan waktu. "Nggak ada lagi waktu untuk nongkrong-nongkrong, keluyuran nggak karuan, apalagi melamun." Apalagi, Hendrik menambahkan,"kami termasuk orang yang tidak bisa diam, inginnya berusaha dan berkegiatan yang dapat memberikan nilai ekonomi." Sebuah contoh yang positif.
Walau saya tidak terlalu suka pedas, tapi 'taste' yang mereka tawarkan cukup mengena di lidah saya. Rasanya pàs dengan bumbunya yang khas tanpa diimbuhi dengan terasi itu. Harganyapun lumayan murah, cukuplah untuk kantong kita-kita ini.
Yang penasaran, langsung ke TKP saja ya ;)
Moga manfaat ;)
@kangbugi
Catatan:
Foto-foto koleksi Gerry Rachman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H