Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Composting toilet, cara (maaf) buang hajat yang ramah lingkungan

29 Juli 2010   07:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:31 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_207149" align="alignright" width="300" caption="Composting toilet (dok. pribadi)"][/caption] Di lingkungan tempat saya belajar, yaitu di Charles Sturt University, khusunya di kampus Thurgoona, New South Wales, Australia, sangat digembor-gemborkan upaya untuk membuat seluruh sivitas akademik lebih cinta akan lingkungannya, atau lebih dikenal dengan sebutan ‘environmental friendly'.   Banyak program yang dilakukannya antara lain adalah membuat gedung yang ramah lingkungan, artinya konstruksinya dibuat sedemikian rupa agar tidak perlu menggunakan heater (alat pemanas ruangan) pada musim dingin maupun air conditioning (AC-pendingin ruangan) pada musim panas; membuat fasilitas lampu jalan dan pemanas air yang bertenaga mata hari; pemisahan sampah antara yang bisa didaur ulang dan yang tidak; menampung air hujan untuk digunakan kembali dan lain lain termasuk Composting toilet (kira-kira terjemahannya adalah toilet yang berfungsi pula sebagai pembuatan kompos), yang akan saya informasikan dibawah ini. Composting toilet adalah toilet yang digunakan untuk membuang hajat (baik kecil maupun besar) yang menggunakan pendekatan daur ulang. Apa yang dimaksud dengan daur ulang disini? [caption id="attachment_207151" align="alignright" width="300" caption="Pemakaian tissue juga perlu dihemat (dok. pribadi)"][/caption] Seperti diketahui bahwa orang-orang dari dunia barat, termasuk Australia, terbiasa menggunakan tissue selepas membuang hajatnya, bukan menggunakan air, seperti biasa dilakukan di Indonesia. Composting toilet tidak mentolerir penggunaan air sama sekali. Sehingga bentuk tempat buang hajatnya di desain sedemikian rupa sehingga tidak menggunakan air sama sekali, melainkan serbuk gergaji, serta tissue disampingnya (lihat foto). Kalau hanya untuk membuang yang kecil, hanya tissue yang digunakan, tetapi kalau yang besar yang dibuang, maka, setelah selesai menggunakan tissue, diminta untuk memasukkan paling sedikit 2 (dua) gelas serbuk gergaji. Kotoran yang kita buang tersebut akan masuk kedalam penampungan khusus di bawahnya (yang dapat di akses dari luar gedung/toilet), bercampur dengan serbuk gergaji yang disertakan. Dalam waktu-waktu tertentu dalam setahun, akan ada petugas khusus yang mengambil campuran tersebut dan campuran tersebut akan digunakan sebagai pupuk tanaman. [caption id="attachment_207156" align="alignright" width="300" caption="Masukkan serbuk gergaji setelah BAB (dok. pribadi)"][/caption] Memang model toilet seperti ini sangat terasa tidak biasa, sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh pihak universitas, yaitu sebagai berikut: Composting toilets. Unusual for a substantial public-use building, all toilets are ‘Clivus Multrum' dry composting toilets at both ground floor and at first floor levels (with a long drop pipe) with semi-basement composting chambers generally located on the warm north side of the buildings (to nurture the composting process) and accessed from outside for raking and removal of waste which is used for fertiliser.Untuk inovasinya itu, Charles Sturt University kampus Thurgoona telah memperoleh dua penghargaan di tingkat nasional untuk kategori desain gedung yang environmentally friendly dan kategori efisiensi energi (beritanya dapat dilihat disini). Walaupun mungkin terasa janggal dan tidak biasa dengan model composting toilet seperti itu, tetapi upaya (baca: inovasi) untuk selalu mengarahkan perilaku-perilaku kepada perilaku yang environmental friendly, memang perlu terus diupayakan dan dihargai. Salam hangat Kompasiana. Bugi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun