Artikel KH. Said Aqiel Siradj yang baru dimuat di harian Kompas edisi Jumat, 7 Mei 2010, dengan judul Kesalehan vs Kemungkaran, membuat saya berpikir dalam, mengenai apa yang sering berkecamuk dalam permenungan sendiri itu. Terutama kalimat yang menyatakan:
Sabda Nabi Muhammad, "Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya."
Aqiel menambahkan: "Makna kemampuan dalam hadits ini, bukan seperti yang dibayangkan kebanyakan orang, yaitu kemampuan fisik untuk memukul atau membunuh, tetapi kemampuan syar'iyah. Yang berhak melakukan, orang yang punya kemampuan syar'iyah. Yaitu, pengingkaran terhadap mereka tak akan menimbulkan kemungkaran lain. Orang yang melihat pelaku kemungkaran hendaknya lapor ke polisi, atau para ulama, atau dai, untuk selanjutnya diserahkan kepada yang memiliki wewenang. Dengan penyelidikan saksama akan dapat diatasi dengan cara yuridis."
Ini pendapat yang mencerahkan. Jika hadits Nabi SAW di atas tersebut diterjemahkan secara terjun bebas, maka setiap orang menjadi ‘sah-sah' saja berbuat untuk atas nama mencegah kemungkaran.
Ketika membaca artikel itu, pikiran segera melayang ke salah satu ormas yang konon katanya mempunyai visi untuk menegakkan Islam, tetapi dalam kenyataannya, tidak lebih dari organisasi yang perilakunya tidak jauh dari premanisme. Perilaku preman yang terbungkus jubah Islam. Senangnya melakukan penggerebekan, hal-hal yang provokatif, agitatif, dengan haqul yaqin, tetapi dengan berlabel Islam.
Sayang, nilai-nilai universalisme Islam, cinta kasih Islam, kesantunan Islam, ternodai oleh ormas ini.
Aqiel, dalam artikel ini, juga setidaknya mendukung mengenai pengertian tanggung jawab - yang bisa digambarkan sebagai bola - yang saya yakini selama ini. Seperti misalnya:
Kalau ingin menyumbang pengemis jalanan, kita kadang masih berpikir, bagaimana nanti uang yang kita berikan, apakah digunakan untuk hal-hal yang baik? Digunakan untuk memperkaya diri sendiri (seperti cerita suatu desa yang penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai pengemis di kota besar, desa tersebut menunjukkan kemakmuran yang signifikan dibanding desa-desa tetangganya), atau apakah mereka memang benar fakir miskin?
Untuk kasus di atas, menurut saya, cara berpikirnya adalah, sewaktu kita melihat ada pengemis dan hati kita menyuarakan untuk memberikan santunan/sumbangan, segeralah berikan, dengan ikhlas, insya Allah perbuatan itu akan mendapatkan reward dari Allah SWT.
Bagaimana dengan pengemis itu? Kita sudah memberikan ‘bola' berupa sumbangan itu. Biarkan bola itu, tanggung jawab itu, menjadi urusan pengemis itu dengan Allah SWT. Kalau memang dia adalah seorang pengemis tulen dan memang memerlukan bantuan, tentu itu akan ‘link' dengan apa yang kita lakukan, dan akan memberikan manfaat buat yang memberi dan yang menerima. Tetapi, jika ternyata pengemis itu melakukan kebohongan, dengan berpura-pura menjadi pengemis - karena pengemis adalah, ternyata, profesinya, biarkan kelak Allah SWT yang akan memberikan ganjaranNya.
Dengan cara berpikir seperti itu, kita akan menjadi lebih mudah berpikir, dan pikiran kita tidak dibebani oleh pikiran yang tidak perlu.