- kami tidak lebih buruk dari para pejabat (yang dianggap bertanggung jawab dalam proses penutupan Dolly ini) yang melakukan korupsi.
- orang bilang anak-anak dirugikan karena tinggal di kawasan Dolly, terutama moralnya. anak saya tidak ada pengaruhnya karena buktinya mereka tetap bersekolah, hingga sarjana, dari penghasilan ini.
- dan seterusnya, dan seterusnya.
Pelaku langsung merasakan penyesalannya, tetapi pelaku tidak langsung tidak.
Mungkin memang benar, fenomena di atas menggambarkan di semua lini, kita mengalami degradasi moral yang sangat luar biasa. Sudah susah membedakan mana halal mana haram. Yang penting, aku tetap hidup dan aku harus hidup. Salah siapa? mungkin salah kita semua.
Mungkin nama lokalisasi cukup berkontribusi pula terhadap kondisi ini. Namanya cantik, Dolly. Mungkin terbayang, inilah surga dunia sebenarnya. Surga yang didambakan.
Apa jadinya jika nama lokalisasi tersebut bukan nama yang cantik-cantik. Misalnya: Kampung Neraka, Wisma Syeitan, Pusat Pelesiran Iblis. Kemudian para pengunjungnya diberi semacam brosur jika berkunjung ke situ, persis seperti pengumuman bahaya merokok yang tertempel dalam kemasan-kemasan rokok (walau juga tidak berpengaruh sama sekali ?). Dalam brosur dapat saja tertera tulisan misalnya: silahkan datang untuk berbuat dosa di sini, resiko ditanggung sendiri; Yuk nikmati PSK disini, kita nanti ketemu di Neraka; dlsb.
Sepertinya terlalu satir, dan bukan juga mencoba bersifat munafik,tapi buat saya yang menggelikan adalah upaya penentangan terhadap ajakan/program yang akan membawa mereka ke arah yang positif, ke arah yang lebih baik. Ini terkait logika berpikir. Hampir selaras dengan postingan saya beberapa waktu lalu di sini, yang membahas tentang logika berpikir terbalik yang rupanya sudah tidak dianggap terbalik lagi.
Mungkin karena namanya yang cantik, Dolly, coba kalau saja namanya bukan Dolly, tapi seperti yang saya contohkan di atas itu. Entahlah.
Makassar, 29 Juni 2014
@kangbugi