"Ada hantu bergentayangan, hantu tersebut bernama komunisme". Begitu sekiranya kutipan dari Marx saat mengawali manifesto Komunis yang ia gagas.
Namun rupanya, hantu itu terwujud nyata, melalui Covid-19. Bagaimana hantu tersebut dapat membuat seluruh isi dunia terguncang dan memutuskan untuk mewujudkan desentralisasi peradaban, membuatnya menjadi jaringan-jaringan kelompok kecil swadaya atau setidaknya "dipaksa" untuk hidup berkelompok dalam keadaan kahar seperti sekarang.
Mungkin benar bahwa Covid 10 adalah "tentara utusan Tuhan"---mengutip kata-kata salah satu pemuka agama---untuk merubah wajah dunia, dan rupanya Tuhan mengkehendaki manusia untuk sadar bahwa dirinya terkoneksi satu sama lain dan mengharuskannya lebih sering hidup komunal atau berkelompok.
Begitu sekiranya gambaran besar dan ringkas yang menjadi pengantar yang cukup bercanda, untuk mengantar pembaca menganalisa lebih jauh mengenai topik yang menjadi kegelisahan mendalam dari masyarakat dunia, yaitu uang.
Rupanya, uang menjadi hal penting yang membuatnya menjadi poros dari pengaturan rumah tangga. Tak satupun keluarga atau rumah tangga yang hidup tidak dengan uang. Hal tersebut tentu tak dapat dielak, ketika kita sudah memberikan kesepakatan bahwa uang menjadi moda penukaran yang "populer" sekarang.
Mengapa saya katakan uang sebagai moda pertukaran yang "populer"? Karena, dengan digitalisasi yang begitu masif, uang rupanya dapat mendorong digitalisasi yang lebih kompleks, juga merubah bentuk uang itu sendiri menjadi digital. Dalam dunia digital yang begitu besar, uang termanifestasikan dalam bentuk bitcoin, ovo, gopay, atau bentuk lain yang paling tradisional dalam budaya digital yaitu akun bank.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan pengaturan rumah tangga sekarang adalah terjadinya disrupsi di era disrupsi---begitu kata Martin Suryajaya. Karena Covid 19, banyak sektor bisnis yang harus diuji dan tereliminasi dalam guncangan alam dan bukan pasar bebas.
Hal tersebut karena syarat utama terjadinya gerak dari ekonomi adalah pertemuan fisik. Bagaimana kita dapat membayangkan produksi beras yang tadi atau sekarang anda makan dapat sampai di meja makan tanpa ada pertemuan fisik? Maka, pembatasan sosial menjadi satu momok menakutkan dan harus dilakukan oleh seluruh orang untuk menghambat percepatan penyebaran virus.
Bisnis adalah "alat" bagi ekonomi---menurut pendapat penulis---untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Karena, bisnis dapat memastikan terjadinya distribusi aset/kekayaan. Dengan begitu, bila bisnis tidak berjalan, otomatis ekonomi pun akan berjalan tidak berjalan.
Namun, kita juga perlu menilik lebih jauh komponen utama dari sebuah bisnis atau setidaknya yang membentuk dan menjalankan bisnis: Manusia. Tanpa ada manusia---entah itu manajer, direktus, karyawan, hingga buruh pabrik sekalipun---suatu bisnis tidak akan menjadi sebuah bisnis.
Permasalahannya sekarang, kita perlu memikirkan ulang permasalahan etis yang terjadi sekarang di dalam bisnis, bahwa ketimbang pengusaha berunding dengan para pekerjanya, mereka lebih memilih untuk memberhentikan pekerjanya dan melupakan bahwa mereka juga manusia yang bekerja demi sesuap nasi. Alasanya klasik, bahwa bisnis sedang merugi dan perlu memotong biaya operasional. (toh apa yang jadi jaminan kalo bisnis sedang untung banyak, gaji pekerja bisa naik signifikan?).