Mohon tunggu...
Budyo Leksono
Budyo Leksono Mohon Tunggu... Guru - Senang Berbagi

lebih suka apa adanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seni Bunuh Diri

14 Juni 2023   08:19 Diperbarui: 14 Juni 2023   08:24 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SENI BUNUH DIRI

oleh : Nur Julia Dinar Fransisca

Umur: 15 tahun

Pagi hari dalam sebuah rumah kecil dipinggir kota terasa begitu sunyi. Mars memulai harinya dengan bermain kuas. Berbagai cat warna-warni bertebaran, seolah mampu mewarnai hidup hampanya yang sudah seperti monokrom hitam putih. Matahari perlahan naik namun Mars tetap teguh, duduk tegap di kursinya. Menggores senyum seorang gadis cantik di kanvasnya.

"Ck" Mars berdecak sebab ia kehabisan cat putih yang menjadi dasar dari dunia lukisnya. Segera ia memakai jaketnya dan dengan begitu saja pergi meninggalkan rumahnya. Dalam perjalanan menuju halte bus perutnya keruncungan, pertanda bahwa dirinya butuh sumber energi. Dia berbelok dan memesan burger juga beberapa makanan ringan.

"Mengapa sangat lama? Aku bisa ketinggalan bus jika seperti ini" omel Mars dalam hati. "Pesanan atas nama Mars." Dengan buru-buru ia langsung berdiri dan berlari menghampiri Pelayan tersebut. "Ini uangnya, tidak perlu kembalian." Singkatnya dan segera menghilang dari hadapan si Pelayan.

"TUNGGUU!!" Teriak Mars sembari mengejar bus yang baru saja melintas di depannya. Dia terengah-engah. Frustasi dan menyumpali mulutnya dengan burger di tangannya. "Hmphh, mengapa aku sangat sial hari ini?" Ucapnya dengan mulut penuh makanan. Tiada pilihan lain ia pun menelusuri jalan sendirian, berharap mendapat tumpangan.

"PAK BERHENTI!!" Teriaknya pada truk yang telah jauh meninggalkannya. Dia merasa sangat lelah. Jatuhlah tubuhnya di atas rerumputan. Jalan terlihat begitu sepi, entah kemana perginya semua orang.

Senyum manis tiba-tiba terlintas di dalam pikiran Mars. Senyum gadis yang ia lukis. "Bagaimana rupa gadis tersebut bila ada di dunia nyata?" Dia harap akan secantik lukisannya. "Ah, apa yang baru saja kupikirkan?" gumamnya.

Sinar matahari menyoroti mata coklatnya yang pekat, ia bangun dan bertumpu pada lutut sembari mengangkat tangan untuk menutupi sinar matahari yang memaksa masuk lewat sela-sela jarinya. Berjalanlah kembali dia menuju toko peralatan lukis. Setelah mendapatkan barang yang ia inginkan dengan jerih payah, akhirnya dia pulang dengan beberapa tas belanjaan di tangannya.

Lagi dan lagi Mars mencoba menyelesaikan lukisannya yang tak kunjung selesai itu. "Sangat cantik" sanjungnya. Mentari ditelan senja, kini langit telah gelap sempurna. Mars membaringkan tubuhnya yang sudah lemas di atas kasur empuk miliknya. Hingga tengah malam tiba, dia terbangun. Matanya terbuka lebar melihat langit-langit kamarnya. Kini Mars terus memandangi lukisannya. Perasaan yang aneh, dia merasa jatuh hati pada karyanya. "Tidak, aku tidak mungkin menyukai wajah yang kuciptakan dengan tanganku sendiri." Membiarkan pikiran tersebut berlalu, Mars terus mencoba menyempurnakan lukisannya yang berteknik naturalisme itu.

Matahari terbangun, mungkin karena kebisingan yang dibuat Mars. "HABIS LAGI?? aku hampir miskin membeli cat putih setiap hari!" teriaknya yang tak tahu ditujukan untuk siapa. Dengan wajah cemberut dia menggerutu sembari meringkas peralatan lukisnya. "Aku pergi" pamit Mars kepada rumahnya. Dengan cepat dia pergi menggunakan baju yang berlumuran cat, seolah menunjukkan kepada dunia bahwa kehidupannya tak semembosankan yang semesta lihat.

"Ini bang" ucap seorang penjaga toko dibarengi dengan memberikan sebotol cat. "Yoi, thanks" balas Mars, singkat. Segeralah dia menata peralatannya di taman yang tak jauh dari toko tersebut. Tiba-tiba beberapa kuas kecilnya terjatuh. Seorang gadis yang terlihat modis tak sengaja menyenggolnya. "Eh- maaf kak, saya tidak sengaja" ucap gadis berambut hitam panjang yang sudah memungut kuas-kuas Mars yang jatuh berserakan di atas panasnya lantai taman. Gadis tersebut segera menatanya ke tempat semula dan melemparkan senyum kepada Mars. Sontak matanya terbelalak. Menyadari bahwa gadis tersebut sangat mirip dengan apa yang ia lukis.

Tak berpikir panjang sesegera mungkin ia meraih kanvasnya dan dibawanya berlari mengejar gadis cantik tersebut, seolah ingin menggapai dunianya. Sementara gadis tersebut dengan cepat menghilang bagai ditelan keramaian. "HEI! BERHENTI DULU, NONA!!!" teriak Mars dengan semangat. Senyumnya kini terukir kembali. Setelah memaksa diri bertahun-tahun untuk memasang senyum palsu yang ditunjukkan pada semesta, kali ini dia merasa benar-benar hidup. Mars tak akan putus asa dan tetap berusaha mencari gadis berparas cantik itu.

Di tengah ramainya jalan, matanya tertuju pada seorang gadis dengan kaki jenjang yang memakai gaun berwarna putih salju. Jantungnya berdetak tak karuan, dia gemetar. sementara gadis itu menyebrang dengan tenang. Namun, Mars terlalu ceroboh bahkan tak memperhatikan lampu merah telah berganti menjadi hijau, dia tetap berlari dengan sekuat tenaga. Kendaraan-kendaraan mulai berlalu lalang kembali mengikuti sibuknya kota. Sedang tak disangka dari arah samping, sebuah mobil van hitam dengan kecepatan di atas rata-rata melintas.

Suara teriakan memekik telinga kala tubuh seorang pria yang tak lain adalah Mars terlindas mobil. Sebuah kecelakaan dengan korban satu nyawa telah terjadi. Kejadian tragis tersebutpun disaksikan oleh gadis yang telah dikejar Mars. Dengan cepat si gadis segera ikut berkerumun bersama orang sekitar. Namun, betapa kagetnya ia saat tak sengaja melihat lukisan yang digenggam erat oleh Mars. 

Kini darah yang bercucuran berhasil menyempurnakan lukisan yang tak akan pernah selesai itu. Dan entah mengapa si gadis merasa sangat kehilangan Mars. Hatinya begitu sakit menyaksikan tragedi tersebut, yang bisa dilakukannya hanyalah menangis dan memeluk tubuh Mars. "Lukisan ini untukmu, dan jika boleh bisakah aku tau namamu, nona?" Kalimat terakhir yang diucapkan Mars dengan susah payah.

Semenjak kejadian itu gadis tersebut merasa kehilangan separuh kehidupannya. Gaun putih bernoda darah miliknya disimpan dalam dinginnya lemari kamar. Gadis itu memeluk lukisan bergambar wajahnya untuk mendapat ketenangan dan kehangatan.

Matanya tertuju pada kanvas belakang lukisan tersebut, beberapa kalimat terukir.

"Bahkan jika sukma telah terpisah dari raga,

maka izinkanlah aku membawa namamu terbang jauh menembus bumantara

kan kuteriakan pada cakrawala

dan menggema disana" 

Tak terasa air matanya jatuh, "maaf" lirihnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun