Mohon tunggu...
Budyo Leksono
Budyo Leksono Mohon Tunggu... Guru - Senang Berbagi

lebih suka apa adanya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Gagal-1

15 Juni 2023   12:21 Diperbarui: 15 Juni 2023   12:25 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BELAJAR GAGAL- 1

Ketika penulis masih sekolah dulu, peristiwa menerima rapor pada semester genap, tepatnya saat kenaikan kelas, selalu dewarnai dengan suasana yang tegang, cemas, kawatir dan kegelisahan yang lain akan nasib, apakah naik kelas atau tinggal kelas. Dan setelah menerima rapor, tidak langsung dibuka, tetapi didekap erat. Saling tatap dengan teman yang lain, dilanjutkan dengan permintaan untuk membuka buku rapornya terlebih dahulu sementara milik sendiri enggan untuk dibuka lebih dahulu.

Dan tawa lepas penuh kegirangan pun terlontar setelah tangan yang bergetar membuka buku rapor dan membaca tulisan tebal berwarna biru yang berbunyi NAIK KE KELAS. Tidak jarang kegembiraan ini disertai dengan saling rangkul untuk melampiaskan kegembiraan antar teman yang sama-sama bergembira karena naik kelas.

Di sudut yang lain ada yang tertunduk lesu bahkan ada yang menangis, karena tulisan yang tertera di buku rapornya berwarna merah dan berbunyi TIDAK NAIK.

Bagi yang bernasib baik berhasil naik kelas, merasakan kebahagiaan seakan jerih lelah yang dilakukan selama dua semester, pagi harus bergegas berangkat sekolah agar tidak terlambat dan mendapat hukuman atau bergegas karena bertugas piket kebersihan kelas atau tugas kewajiban yang lain, merasa lega atas jerih lelah mengerjakan tugas yang banyak dan bertubi dari semua guru mata pelajaran.

Sebuah kepuasan dan kebahagiaan yang sulit tergambarkan, sehingga banyak orang tua yang secara khusus merayakan kenaikan kelas anaknya dengan pesta, makan bersama, nonton, rekreasi atau bentuk yang lain.

Tidak jarang juga anak-anak  yang tidak berani pulang karena di rapornya bertuliskan warna merah TIDAK NAIK. Bagi mereka yang mengalami kegagalan ini, merupakan kepedihan yang teramat dalam. Rasa malu dengan teman-teman sekelasnya, rasa malu dengan teman-teman baru yang berasal dari adik kelasnya nanti, takut dikatakan anak bodoh karena tidak naik kelas, takut dimarahi orang tua, semua perasaan dan pikiran buruk itu bercampur aduk, menjadikan mereka bak anak hilang yang tidak tahu apa  yang harus dilakukan.

Fenomena seperti itu sudah tidak terjadi lagi pada anak-anak sekolah saat ini, setidaknya di daerah saya berada saat ini. Jika dahulu saat guru membagikan kertas hasil ulangan dinantikan dengan penuh kekawatiran, dan menjadi sangat sedih ketika dilihat hasil ulangannya buruk. Sebaliknya akan tersenyum lebar saat angka yang tertulis di lembar jawaban ulangan tercantum angka di atas angka 70.

Saat ini tidak lagi saya temukan anak  yang menangis sedih saat hasil ulangannya jelek. Jangankan menangis, sikap pedulipun tidak tampak. mereka maju ke depan untuk mengambil hasil ulanganpun karena dipanggil guru. Seandainya tumpukan hasil ulangan itu diletakkan di meja guru, kemudian anak-anak disuruh mengambil sendiripun mungkin tidak akan diambil. Ya mereka seolah tidak membutuhkan itu.

Saat ini kita akan kesulitan menemukan anak yang menangis sedih karena hasil ulangannya jelek. Sebaliknya pemandangan  yang menggelikan justru yang kita dapatkan. Dengan nilai jelek bahkan nilai mati di bawah 50 pun mereka sambut dengan tawa tanpa rasa sesal.

Kegiatan ujian, mulai dari tengah semester sampai akhir tahun pendidikan dilalui dengan biasa-biasa saja, tidak perlu persiapan khusus agar hasil akhir yang didapatkan baik. Tenpa persiapan pun, kegiatan ujian mereka lakukan tetap dengan senyum santai.

Alokasi waktu yang ditetapkan berdasarkan kemampuan rata-rata muridpun dilibas bak makanan ringan yang nikmat. Guru merancang soal ujian dengan mempertimbangkan kemampuan muridnya, diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu 90 sampai 120 menit, murid-murid masa kini, belum juga satu jam sudah pada ribut akan mengumpulkan lembar jawaban. Seolah soal ujian yang mereka hadapi begitu mudah dapat mereka selesaikan hanya separo, bahkan kurang dari perkiraan waktu yang dialokasikan guru.

Alih-alih hasilnya baik. Mengerjakan soal ujian dengan waktu yang sangat singkat, tetapi hasilnya jauh dari cukup. Jika guru menentukan target keberhasilan minimal 70, mereka hanya berhasil mendapatkan kurang dari 50.

Bapak ibu guru yang sudah membuat persiapan, menyiapkan materi, menyiapkan metode dan teknik dibuat tak berdaya ketika di hadapan mereka disajikan tuntutan bahwa murid-muridnya harus berhasil. Terlebih bagi sekolah yang menggunakan kurmer, kurikulum merdeka. Mereka dituntut harus menyelesaikan seluruh modul di apllikasi PMM milik kemendikbudristek.

Agar nilai kinerjanya sebagai guru mendapat penilaian baik, maka merekapun melakukan kesepakatan untuk mengakali agar nilai anak muridnya menjadi baik. Dibuatlah formula-formula agar nilai anak-anak muridnya setidaknya sama dengan standar minimal yang dipersyaratkan, agar terhindar dari predikat guru gagal.

Sepertinya keadaan seperti ini sudah berlangsung lama. Terbukti pada sikap anak-anak yang sudah begitu santai menghadapi kegagalan dalam belajar. Tanpa beban, tanpa penyesalan.

Pengakuan menyedihkan dari seorang murid sebuah sekolah menengah ketika ditanya sikapnya dengan hasil ulangan yang hanya mendapatkan angka 30. “hallah.., biar saja pak. Toh nanti di rapor juga mendapat 80”.

Perlakuan seperti ini akan sangat menyenangkan bagi anak, juga orang tua yang menyekolahkan anaknya. Bahkan tidak terlalu salah jika dikatakan ini adalah bentuk memanjakan anak. Dan ini-lah yang menjadi sebab mengapa cara mereka menghadapi hasil ulangan yang gagal begitu ringan dan santai. Tidak ada dampak apapun ketika mereka tidak melakukan persiapan, mengikuti proses belajar dengan ala kadarnya, menjawab soal ujian dengan asal saja. Toh hasil akhirnya harus baik.

Dapat kita bayangkan jika anak kita bertumbuh dalam kondisi termanjakan seperti itu. Mereka tidak pernah mendapatkan tantangan, mereka tidak pernah diajarkan untuk mendapatkan sesuatu dari sebuah proses usaha, mereka tidak pernah mengalami kesulitan dalam mendapatkan sesuatu. Tanpa harus belajar ilmu psikologipun kita tahu kondisi ini akan berakibat buruk pada anak.

Banyak  orang tua yang merasakan, kini anak-anak mereka mudah marah jika keinginannya tidak dipenuhi, bahkan berani melawan orang tua saat dinasihati.

Banyak orang tua yang merasakan, bahwa anak-anak mereka tidak lagi memiliki motivasi untuk berkembang dan belajar agar menjadi lebih baik.

Banyak orang tua yang menyaksikan bahwa anak-anak mereka bertumbuh menjadi anak-anak yang malas, tidak peduli dengan sesuatu yang seharusnya diperhatikan.

Ini adalah kondisi nyata bahwa mereka berada dalam pertumbihan emosi yang tidak normal. Dan jika keadaan ini terus berlangsung sampai mereka dewasa, bisa kita bayangkan bagaimana kualitas hidupnya, dan tentunya akan berpengaruh pada kualitas SDM bangsa Indonesia.

Seharusnya ini menjadi pemikiran bersama, bagaimana mematangkan pertumbuhan emosi anak-anak, agar mereka dapat bertumbuh normal.

Melecut mereka dengan memberikan pengalaman gagal, adalah salah satu cara mendidik mereka agar secara bertahap mereka memiliki motivasi untuk belajar. Dengan menghadapkan anak-anak pada kegagalan, secara bertahap akan memicu anak untuk berusaha agar tidak mudah menyerah untuk berusaha mendapat seperti yang dia inginkan. Sudah tentu semua bentuk kegagalan yang dihadapkan pada mereka, desertai dengan pendampingan dan bimbingan guru dan orang tua.

Semoga ini dapat menjadi pemikiran bersama agar kualitas SDM kita benar-benar dapat dibanggakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun