Mohon tunggu...
Budi Prasetyo
Budi Prasetyo Mohon Tunggu... Administrasi - Anti-Corruption Specialist, Master of Public Administration

Pembaca isu sosial, kebijakan, pembangunan, korupsi

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ramadan, Atun, dan Insentif Ekonomi

24 Maret 2024   09:15 Diperbarui: 24 Maret 2024   10:02 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bpi.kemendesa.go.id

B: "Lagi opo, Mba? Tumben isih yahmene wes masak-masak."

A: "Iyo ki Om, lagi nggoreng Bakwan".

B: "Walah akeh temen le nggoreng, meh ono tamu po?"

A: "Ora Om, meh nggo dodolan mengko sore."

B: "Wah Alhamdulillah ya Mba, berkahing Wulan Poso."

A: "Iyo Om, Alhamdulillah, lumayan keno nggo tuku klambi bodho bocah-bocah."

Percakapan singkat, Bambang (B) dan Atun (A), dalam Bahasa Jawa itu bercerita tentang Atun yang sedang menyiapkan dangangannya untuk dijual saat sore, waktu menjelang berbuka puasa.

Berkah Ramadan. Betapa bulan puasa ini tak hanya memberikan insentif religi (bagi umat Muslim), tapi juga insentif secara ekonomi.

Dalam Islam, Bulan Ramadan menjadi waktu spesial untuk menjalankan berbagai syariat yang dianjurkan, karena Allah SWT akan melipatkgandakan pahalanya. Maka secara iman-pun logika, sebagai hamba tentunya kita akan berlomba-lomba dalam kebaikan, demi meraih insentif yang kita imani, kita yakini.

Belakangan, Ramadan tak hanya menyoal aktivitas regili, namun juga berkembang pada ranah budaya dan tradisi. Kita menemukan ragam aktivitas sosial tertentu yang hanya terjadi di waktu Ramadan. Salah satunya Ngabuburit.

Dalam Kamus Bahasa Sunda terbitan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), Ngabuburit berasal dari kalimat ngalantung ngadagoan burit. "Burit" berarti sore atau petang. Sehingga Ngabuburit-sebagai kata kerja, punya makna melakukan kegiatan untuk mengisi waktu seraya menyongsong tibanya sore hari, atau pada bulan Ramadan menunggu waktu berbuka puasa.

Dalam perkembangannya penggunaan istilah Ngabuburit tak hanya lazim dijumpai di wilayah Pasundan atau Jawa Barat saja, namun juga menyebar ke berbagai daerah lain di Indonesia. Tentunya dengan beragam aktivitas Ngabuburit sesuai kearifan lokal masing-masing daerah.

Di Lamongan - Jawa Timur misalnya, masyarakat mengenal tradisi Kumbohan, yakni aktivitas berburu ikan di Sungai Bengawan Solo. Air sungai yang biasanya surut pada sore hari memudahkan mereka untuk menangkap ikan. Setelah itu, ikan hasil tangkapan dimasak dan disajikan sebagai menu buka puasa.

Ada pula Festival Meriam Karbit di tepian Sungai Kapuas Pontianak -- Kalimantan Barat. Permainan rakyat ini, dalam sejarahnya, pertama kali diperkenalkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai seorang pendiri sekaligus sultan pertama Kerajaan Pontianak. Konon meriam karbit dibunyikan untuk mengusir perompak kala itu. Selain itu, bunyi meriam juga disebut untuk mengusir hantu.

Sedangkan di Majalengka, masyarakat di sana biasanya mengisi waktu ngabuburit dengan bermain layang-layang. Mereka menerbangkan layang-layang yang unik dalam berbagai bentuk dan ukurannya. Tradisi yang sudah turun-menurun ini pun masih bertahan hingga kini.

Di banyak tempat, saat sore tiba, juga sering kita jumpai pasar kaget atau Pasar Ramadan. Pasar Kaget merujuk pada kemunculan atau keberadaan pasar pada waktu tertentu saja. Pasar menyajikan banyak ragam dagangan, salah satunya berbagai jenis jajanan atau takjil-sebutan lazim makan untuk buka puasa. Tiap daerah tentunya juga punya keunikannya masing-masing.

Seperti masyarakat Aceh yang suka berburu takjil kue Bhoi, Timpan, ataupun Mi Caluk dengan cita rasa pedasnya. Di Jakarta ada es campur, aneka macam gorengan, juga Soto Betawi. Lain lagi di Yogyakarta ada Tiwul-makanan khas Gunung Kidul, Gatot, hingga Kolak. Sedangkan di Banjarmasin ada Bingka Kentang, Amparan Tatak Pisang, Papari, juga Ipau.

Insentif Ekonomi

Sebagai bangsa Indonesia, kita patut bersyukur, dengan anugerah Tuhan akan kekayaan budaya, tradisi, hingga ragam kuliner. Dimana pada momen Ramadan seperti ini, keragaman yang berpadu dengan puncak kebutuhan (demand) masyarakat bisa menjadi kekuatan stimulus yang mumpuni bagi gerak riil roda ekonomi masyarakat.

Menjadi simboisis ekonomi mutualisme ketika keberadaan individu yang saling membutuhkan, saling menyuplai, dibarengi dengan kemampuan daya beli sekaligus daya suplai bertemu pada satu titik temu. Titik temu, baik tempat maupun waktu: Pasar Ramadan.

Maka momentum positif seperti ini menjadi penting untuk bisa diduplikasi-modifikasi, sehingga frekuensi titik temu itu menjadi semakin tinggi. Alhasil, roda ekonomi riil akan bergerak stabil-tidak tersendat.

Pemberdayaan masyarakat dibarengi stimulus kebijakan pemerintah dan fiskal patut dicoba. Intervensi pada daerah-daerah yang menjadi pilot project, lalu merembet dan menjangkau daerah-daerah lain yang lebih luas.

Dengan begitu, kita akan menciptakan "Atun-Atun" yang lebih banyak lagi di masyarakat.

Atun yang akan terus tumbuh sebagai bagian dari lingkungan sosial dan peradaban yang saling mensejahterakan individunya. 

wallahu a'lam bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun