Jakarta, 17 Maret 2024
Pasang-surut pemberantasan korupsi di Indonesia masih terus berlanjut. Itu setidaknya jika tak mau disebut terseok-seok. Lalu, seberapa besar dukungan publik terhadap pemberantasan korupsi saat ini? Bagaimana dampak terburuk jika sudah tak ada lagi dukungan masyarakat? Masihkah asa itu ada?
Tak ada habisnya. Fenomena korupsi masih terus terjadi dengan berbagai modus operandi. Mulai dari praktik lancung pengelolaan anggaran di tingkat desa (Dana Desa), dana BOS sekolah, hingga praktik sogok-menyogok untuk menduduki jabatan. Ya, bisa jadi nilai korupsinya kecil, namun duplikasinya masif di banyak tempat. Hingga mega-korupsi dengan angka yang fantastis, modus yang rumit, merambah sektor-sektor strategis, dan melewati batas-batas teritori yuridis negara. Sebut saja kasus korupsi pada perizinan tambang Sumber Daya Alam (SDA), pengurusan perkara di peradilan, hingga pengadaan infrastruktur dan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Repetisi kejahatan korupsi dengan frekuensi yang cukup tinggi telah menguras energi, dan bisa jadi sekaligus antusiasme publik. Korupsi sebagai extra ordinary seolah mengalami reposisi menjadi kejahatan biasa. Biasa terjadi, dan sebaliknya, mendapat respon yang biasa pula dari masyarakat. Sudah jengah. Salah satu puncak terburuk labelisasi terhadap kejahatan ini adalah ketika korupsi justru dianggap sebagai “Oli Pembangunan”. Diksi yang banyak ditentang, namun tak sedikit pula yang memberi pemakluman.
Nasib pemberantasan korupsi, sayangnya, makin diperpuruk dengan hiruk-pikuk kontroversi yang terjadi di lembaga pemberantasan korupsi itu sendiri. Terakhir, terkuaknya pungli di Rutan Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun, secara taktis KPK kemudian “men-talak” para pelaku pungli dengan hukuman etik, disiplin pegawai, hingga proses hukum tindak pidananya, publik yang punya ekspektasi tinggi terhadap integritas KPK, kadung tercederai oleh persitiwa itu.
Pekerjaan rumah lembaga anti-rasuah untuk meraih kembali simpati dan citra positif publik menjadi kian sulit.
Menilik catatan lembaga survei tahun lalu, publik juga memberikan penilaiannya pada KPK dengan skor minor. Menukil dari berbagai sumber, Lembaga Survei Indikator Politik pada Juli 2023 mengeluarkan hasil surveinya dengan menempatkan KPK pada urutan ke-5 diantara lembaga negara lainnya yang disurvei, dengan urutan: TNI, Presiden, Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK dengan skor 75,5%. Kemudian Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Agustus 2023 juga merilis hasil pengukurannya dengan menempatkan KPK pada urutan ke-7 dengan skor 61%. Posisi KPK secara berurutan di bawah: TNI, Presiden, Kejaksaan Agung, Pengadilan, MPR, dan Polri.
Dari situasi ini, maka beberapa rentang waktu ke depan akan menjadi pertaruhan krusial eksistensi pemberantasan korupsi di Indonesia. Publik mesti menjaga asa dan dukungan penuh terhadap jalan terjal ini, jika masih sepakat bahwa pemberantasan korupsi adalah agenda prioritas kita. Tentu dengan prasyarat, adanya akselerasi kinerja pemberantasan korupsi yang didukung penuh komitmen top management negeri ini.
Sehingga outcome dari pemberantasan korupsi itu nyata-nyata bisa rakyat rasakan manfaatnya.
Menutup uneg-uneg ini, sebuah harapan, kita pastinya tidak ingin mengucap sayonara pemberantasan korupsi. Bukan karena korupsi itu sudah tiada, tapi karena sirnanya dukungan publik dan komitmen politik bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H