Mohon tunggu...
Budi Yanto
Budi Yanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

.... jernih, lebih jernih dan tetap jernih..... semoga.....

Selanjutnya

Tutup

Money

PP Nomor 109 tahun 2012, Cara Pemerintah Membunuh Rakyat

11 Mei 2013   23:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:43 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy


Mencermati pasal demi pasal Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan,  yang terbayang oleh saya adalah, sebuah pisau  pancung  yang  tajam dan mengerikan. Sebuah ruang penjara yang rapat sempit tanpa celah sama sekali. Kandungan logika bahasa hukum yang termaktub dalam pasal – pasalnya benar-benar menyiratkan modus operandi pembunuhan terencana, terhadap segala motif perekonomian rakyat dari hulu hingga hilir khususnya yang beraroma tembakau.

Pemerintah, dalam hal ini Meteri Kesehatan boleh menyatakan zat aditif dalam produk tembakau sangat berbahaya bagi kesehatan. Secara keseluruhan segala implikasi tembakau kretek dipenjarakan dalam pasal-pasal yang sangat rumit. Tetapi, para petani tembakau, dan buruh linting rokok boleh juga mengatakan PP no 109tahun  2012 ini, bagaikan pisau Guillotine bagi perekonomian rakyat secara nyata. Bagaimana tidak? Rumitnya dan rapatnya konstruksi Peraturan Pemerintah ini tidak menyiratkan keberpihakan pemerintah terhadap perekonomian riil.   (Maaf saya hanya mencermati kebijaksanaan yang terkandung dalam PP No 109 tahun 2012 ini dari kacamata politik ekonomi strategisnya saja. Saya tidak mau memperdebatkan logika bahasa dalam pasal-demi pasalnya)

Meteri kesehatan tidak membayangkan bahwa akibat kebijaksaan tersebut akan membunuh tradisi pertanian tembakau yang sudah mendarah daging, turun – temurun di beberapa sentra penghasil tembakau. Menghapus monumen budaya bangsa Indonesia, yakni, Rokok Kretek. Meski budaya Rokok Kretek yang asli Indonesia ini sementara waktu ini, dinilai sebagai budaya yang terbelakang dan ‘primitif’. Tetapi, ini adalah budaya asli Indonesia kita, ke timuran (yang selalu dinilai terbelakang), bukan budaya barat (rokok putih berfilter, budaya barat).

Sekali lagi, menteri kesehatan tidak membayangkan bagaimana sulitnya membangun budaya pertanian. Coba lihat, segala upaya pemerintah (baca meteri pertanian) yang gagal total dalam menciptakan budaya pertanian modern. Misal konsep pembangunan pertanian Agropolitan, ambil contoh upaya pemerintah Kabupaten Pacitan yang hendak menjadikan daerah Kecamatan Nawangan dan  Kecamatan Bandar sebagai basis pertanian sayur yang maju dan modern. Apa yang terjadi? Hanya satu yang berhasil, yaitu  menyulap halaman pasar Desa Njeruk, Kecamatan Bandar sebagai terminal atau pasar hasil pertanian sayur untuk dua kecamatan tersebut. Itu saja, sementara budaya pertanian yang modern tidak pernah tercipta. Apakah  Meteri Kesehatan sanggup?

Artinya, Meteri Kesehatan secara tidak sadar, telah membunuh kekuatan strategis pertanian bangsa Indonesia.  Komoditi pertanian yang memiliki kekuatan strategis di Indonesia tidaklah banyak. Coba saja di kaji lebih dalam. Pertanian Bawang merah – bawang putih, sudah sekarat dibanjiri bawang impor. Pertanian kedelai? Atau Pertanian Padi? Maaf, sepertinya hanya produk tembakau ini yang memiliki keunggulan komparatif di bandingkan negara lain.

Saya mengakui, memang saya di besarkan dilingkungan petani tembakau di daerah Klaten. Tembakau ditanam 1 tahun sekali, dan hasilnya memang lebih menguntungkan dibandingakan dengan komuditas pertanian lainnya, baik itu padi, jagung dan serta kedelai. Saya masih ingat betul ketika kakek saya mendatangkan dua tenaga ahli dari Belanda, Salah satunya adalah Pak Yunus. Ada beberapa perbaikan tatalaksana budidaya tembakau yang dibawa oleh dua orang belanda tersebut. Dari sistem pengawinan/ pemurnian veritas tembakau, perbaikan pembibitan, pengolahan tanah dan tatacara penanaman tembakau. Hingga tatacara penanganan pasa panen.

Bahkan salah satu saudara kakek saya ini, hingga akhir hayatnya mengentaskan perekonomian keluarganya dari pertanian tembakau. Intinya, maaf, tidak ada kisah sukses petani di daerah kami selain kisah sukses petani tembakau.

Intinya PP Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan,  sepertinya sebuah produk pesanan. Artinya, latah tunduk pada peradaban perdaganan global semata. Saya membaca ada kekuatan pengolahan isu secara global, dan celakanya pemerintah secara membabi buta seperti membuang ‘anak haram’, saat mengebiri perekonomian kerakyatan khususnya pertanian tembakau. Pertanian tembakau dan sektor ikutanya, seolah ‘anak haram’ yang layak dibunuh, dan atau dibuang.

 Alangkah, baiknya jika Meteri Kesehatan bersama Meteri Dalam Negeri, mengatur dan mengawasi pelaksanaan jaminanan kesehatan masyarakat, secara sungguh-sungguh. Atau  Meteri Kesehatan bekerja sama bersama Meteri Pendidikan bekerjasama, bagaimana menyelenggarakan pendidikan tenaga kesehatan (dokter/perawat dll) dengan biaya murah. Atau juga Meteri Kesehatan bersama Meteri Perdagangan mengawasi perdagangan obat (yang maaf, sudah bukan rahasia lagi, jika perdagangan obat lebih banyak merugikan pemerintah dan rakyat).

Meteri Kesehatan juga lebih baik mengawasi, bagaimana kontrasepsi yang ada stempelnya gratis, diperdagangkan. Atau, meteri kesehatan membuat semacam komisi yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan, mulai prakter dokter, RS (negeri dan swasta), bailai pengobatan (negeri dan swasta), rumah bersalin (negeri dan swasta) dan lain-lain.  PR Menteri Kesehatan masih banyak! Banyak yang harus dilakukan tanpa harus membunuh kekuatan ekonomi strategis bangsa kita.

Jika seorang menteri Kesehatan pernah membuat analisa semacam ini “Menurutnya negara justru dirugikan dari peredaran dan penggunaan rokok dalam aspek penerimaan negara. Tembakau di Indonesia pada tahun 2012 menyebabkan pengeluaran sebesar Rp 231,27 Triliun. Sementara pendapatan negara dari dari cukai tembakau hanya Rp 55 Triliun. Pengeluaran tersebut antara lain pembelian rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan yang mencapai Rp 2,11 triliun, dan kehilangan produktifitas karena kematian prematur dan morbiditas dan disibilitas sebesar Rp 91,16 triliun.” Coba buat juga analisa semacam itu untuk kerugian rakyat dan negara akibat, semrawutnya perdagangan obat, penyelengaraan pelayanan kesehatan dan mahalnya pendidikan tenaga kesehatan. (Saya dan banyak warga bangsa ini yang siap membantu untuk mengawasi mendatadan semacamnya, demi penyelenggaraan pelayanan keseehatan yang memadai untuk rakyat)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun