Kemudahan akses internet dan seringnya peserta didik (baca: remaja) menggunakan gawai dalam aktivitas keseharian mereka, platform sastra digital harus mulai digiatkan mulai sekarang. Mendekatkan peserta didik kepada sastra akan lebih mudah jika sastra menjadi bagian dan gaya hidup mereka.Â
Sayangnya, platform bacaan digital yang tersedia belum mampu membawa pesan sastra kepada mereka. Membumikan sastra pada remaja milenial tentunya dengan mengemas sastra ke dalam bentuk baru yang dapat mengena jiwa mereka.
Peran Guru dalam Membumikan Sastra pada Remaja
Selain pengemasan bahan bacaan sastra yang menarik dan bergaya milenial, pembelajaran sastra di sekolah merupakan unsur yang dominan dalam membumikan sastra pada remaja.Â
Dalam hal ini, lagi-lagi guru (baca: guru Bahasa Indonesia) punya peran yang strategis. Namun, di masa pendemi covid saat ini mampukah pembelajaran sastra di sekolah menjadi sarana untuk membumikan sastra pada peserta didiknya? Semua itu bergantung pada bagaimana guru mengelola pembelajarannya sehingga pembelajaran sastra menjadi bermakna tidak sekadar menyelesaikan tuntutan kurikulum belaka.
 Pembelajaran sastra bukanlah pembelajaran pengetahuan sastra atau tentang sastra tetapi pembelajaran kompetensi literasi bersastra. Untuk itu, peserta didik membutuhkan modal dasar yaitu kemampuan membaca. Penyediaan bahan baca yang menarik dan pembiasaan peserta didik membaca buku akan mendorong peserta didik senang membaca dan mencintai buku.Â
Setelah mau membaca, peserta didik diajak untuk memahami apa yang dibacanya (karya sastra), menghayati makna karya sastra dengan berperilaku sebagaimana mestinya, berusaha untuk mengkritisi katya sastra yang dibaca, memaknai karya sastra yang dibaca, memberikan penilaian terhadap karyan sastra, mampu mengambil manfaat dari sastra, dan menghargai karya sastra tersebut. Dengan demikian, pembelajaran sastra menjadi bermakna karena mampu memberi dampak atau pengaruh bagi peserta didik.
Guru dapat memanfaatkan internet yang menyediakan beraneka ragam bahan digital. Keanekaragaman bahan ajar di internet tersebut merupakan multimodal dalam membantu guru memelajarkan sastra pada peserta didiknya.Â
Pemanfaatan multimodal ini perlu disikapi dengan cara selektif dan kritis agar multimodal tadi tidak menjadi bumerang bagi guru. Pandai-pandailah menyeleksi bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik peserta didik, perhatikan faktor usia, tingkat keterbacaan, faktor sosial, ekonomi, sosial, dan budaya.Â
Selain selektif, guru juga harus mampu mengkritisi apakah bahan ajar tersebut benar, tidak bertentangan dengan norma hukum, sosial, moral, atau agama. Apakah digunakan idiom tabu kedaerahan atau tidak?Â
Ridwan (2016) menyatakan yang dimaksud dengan idiom adalah bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa/daerah, suku, kelompok, dan lain-lain, sedangkan tabu adalah sesuatu yang terlarang atau dianggap suci, tidak boleh diraba dan sebagai (pantangan atau larangan). Idiom tabu adalah suatu bahasa atau dialek yang khas dimiliki oleh suatu daerah dan dianggap suci/baik serta tidak boleh dipermainkan. Â Akibat sesaat yang ditimbulkan oleh penyebutan idiom-idiom tabu kedaerahan adalah rasa risih, jijik, atau kesan tidak sopan.