"Mbambung", Dibuang Sayang
Kali ini saya ingin sedikit cerita dibalik dapur proses pemilihan judul "mbambung" yang saya timbang-timbang eman kalau dibuang begitu saja.
Bagi saya paling tidak hal ini memberi pelajaran bahwa sesuatu apa pun butuh proses, tantangan, was-was, kuatir tidak diterima tetapi ada keyakinan juga.
Awalnya ada keraguan. Saya mendengar dan mengenal kata "mbambung" masa sebelum kuliah ketika tinggal di daerah Probolinggo-Jawa Timur.
Sebelum diputuskan dijadikan judul, saya coba "cek ombak" kepada teman-teman kantor saat ini di Jakarta, apakah mengetahui arti "mbambung". Dari sekitar 5 orang yang saya tanya, semuanya menjawab tidak tau, tidak pernah mendengar.
Beberapa yang saya tanya tersebut ada yang berasal dari Jawa Tengah, tapi memang bukan dari Jawa Timur. Namun dalam pikiran saya terpikir kata "mbambung" ini cukup populer, sehingga saya "PD" akan memakai judul itu.
Ternyata saya terlalu "GR" dan survey membuktikan kata "mbambung" tidak dikenal. Menerima kenyataan ini, nyali saya ciut dan mengurungkan niat untuk memilih judul tersebut meskipun dalam hati masih membara ingin memakainya. Pupus sudah, kira-kira begitu.
Untungnya, saya teringat salah satu grub yang saya ikuti yaitu Forum Sharing Menulis (Forsham) yang diasuh oleh Pak Cah (Cahyadi Takariawan) dan diikuti sekitar 282 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia.
Saya share draf tulisan dengan judul "mbambung" dan memberanikan diri menanyakan di grub dengan pertimbangan karena ini adalah pengalaman pertama. Saya berencana mengirim tulisan ini ke blog terbuka Kompasiana yang belum pernah saya alami sebelumnya.
Â
Yang saya tanyakan di group WA, "apa boleh buat judul seperti itu ?"Â
Kedua, "Apakah kalau di Kompasiana harus menggunakan kata yang lebih formil ?"
Atas pertanyaan tersebut, berikut cuplikan jawaban dan dialognya. Â
Pak Cah:
1. "keren nih... sekali nulis langsung dapat 828 kata atau 4.890 karakter (no spaces). Ternyata menulis itu mudahkan, Pak @budisuyono231". (mata saya langsung berbinar-binar dan hatipun berbunga-bunga).
2. "Boleh membuat judul seperti itu. "Mbambung", ditulis dengan huruf miring (italic) atau dengan tanda kutip. Karena bukan kata baku".
3. Tulisan bergaya "suka-suka saya" ini bagus. Seperti yang dilakukan Pak @Setiyono "John" Miharjo. Jadi, lebih kuat faktor pribadi si penulis. Ini lebih orisinil.
4. Kompasiana itu bebas banget. Mau formal boleh, mau bahasa gaul boleh, bahasa daerah boleh, bahasa asing boleh. Tergantung rubriknya.
Pak Surveyor :
      "Kalau di dunia kita, dunia kepenulisan, hal kecil 'mbambung' ini yang sering terjadi adalah mengabaikan swasunting alias self-editing. Biasanya karena terlalu bersemangat, apalagi mendekati DL, swasunting ini diabaikan. Tulisan langsung di posting. Padahal masih typo bertebaran, kalimat tidak efektif dan lain-lain".
Pak Cah: "yess..namanya kejar tayang..."Mbambung" dalam dunia tulis menulis".
Teh Yani Suryani: "Mbambung" itu bahasa Jawa ? Kok baru dengar saya".
Setiyono "John" Miharjo:
        "Betul betul betul. Dan, orang Surabaya yang sering pakai, Bu. Boleh dikata Solo-Jogja tidak pernah menggunakannya".
Teh Yani Suryani:
     "Nah makanya. Saya asing dengan kata itu. Baling-Baling Mbambung. "Kalau itu sering dengar sejak kecil" (dari sini kekacauan dimulai).
Setiyono "John" Miharjo:
       "Arti kata mbambung dalam Kamus Bahasa Jawa adalah tidak menggunakan pikiran; kurang waras".
Teh Yani Suryani:
     "Rada rada gila ?....Pantesan yang mbambung jabatan kayak orang gila. Malah plus culas pula".
Setiyono "John" Miharjo:
     "Acapkali "hanya" sebagai sebutan. Tidak gila benar secara kesehatan. Tetapi, orang yang perangainya dianggap neleneh sehingga dikatakan "mbambung".
Pak Cah: "Yang paling terkenal Mbambung Lautan Api".
Setiyono "John" Miharjo :
     "Dulu, di Jogja yang terkenal Cerita Mbambung dari SH. Mintardja, Api di Bukit Menoreh".
Pak Cah: Â "Cerbung = cerita mbambung".
(keseruan terus berlanjut disambung juga oleh Pak Henry Dunant, Ratna Kushardjanti panjang lebar bernostalgia, baik tentang sang penulisnya yang luar biasa sekaligus isi cerbungnya yang fenomenal)
Demikian penggalan cuplikan WA perihal lahirnya "mbambung".
Kata "mbambung" memang tidak populer. Tetapi setidaknya sedikit menambah  wacana.
Bagi saya "mbambung" ini menghibur apalagi menemani saya untuk berani pertama kali menuliskannya di Kompasiana.
Dunia memang naik turun. Awalnya "mbambung" membuat percaya diri, terus menciut dan Alhamdulillah..percaya diri lagi.
Ternyata pengalaman "mbambung" juga menyenangkan. Mungkin senangnya setara seperti cinta pertama... maaf ga "mbambung" (nyambung) ya...hehehe.
Oleh karena itu, marilah kita "mbambung" mem "mbambung" menjadi satu, agar "mbambung" lebih populer dan memberi manfaat. Itulah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H