Tidak terasa tahun depan (2024) rakyat Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Umum kembali, hiruk pikuk pesta demokrasi akan terdengar lagi, spanduk-spanduk, selebaran-selebaran, umbul-umbul dan media-media promosi partai dan calon legislatif akan menghiasi hampir diseluruh tempat di Indonesia dari kota sampai ke desa-desa. Â Kita akan mendengar kembali istilah atau sebutan "serangan fajar, politik Uang, Black Campaigne, Swing Voter, Golongan Putih" dan sebutan-sebutan lain yang selalu muncul pada saat penyelenggaraan pemilu.
Pada tulisan ini, kita hanya akan membahas istilah atau sebutan Golongan Putih yang sudah muncul sejak pemilu pertama tahun 1955.Kita akan bahas mulai dari apakah itu golongan putih, apa penyebab timbulnya golongan putih, apakah golongan putih melanggar hukum di Indonesia dan berapa banyak golongan putih pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Apa itu Golput ? dan Apakah Golput Melanggar Hukum ?
Golongan putih atau golput merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang yang masuk dalam kategori pemilih dalam pemilu memutuskan untuk tidak menggunakan haknya untuk memilih salah satu calon dalam pemilu.
Lalu apakah golput merupakan perbuatan melanggar hukum ?. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Mahfud MD, beliau mengatakan bahwa tidak menggunakan hak pilih atau golput merupakan hak warga negara di Pemilu maupun Pilpres. Lebih lanjut menurut beliau, "Golput itu hak, memilih itu hak, golput secara hukum pada dasarnya tidak apa-apa. Namun menurut beliau, golput dikatakan melanggar hukum jika seseorang menghalang-halangi atau mengintimidasi orang lain agar tidak menggunakan hak pilihnya. Hal yang sama juga disampaikan oleh ICJR (Institute  For Criminal Justice Reform) bahwa golput adalah hak politik bukan tindak pidana, bahkan mereka membahas hal ini dengan memgaitkannya ke Pasal  28 UUD 1945, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) khususnya Pasal 198 ayat(1), serta Pasal 515 UU Pemilu.
Â
Golput dari pemilu sebelumnya
Berikut ini kita lihat data-data golput dari pemilu-pemilu sebelumnya, mulai tahun 2004 yang merupakan pemilu pertama yang melakukan pemilihan presiden secara langsung.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2004, tingkat golput 15.91%, tahun 2009, 29.01%, tahun 2014, 24.89% dan tahun 2019, meningkat menjadi 29.68% dari total jumlah pemilih yang terdaftar
Sementara untuk pemilu presiden, tahun 2004, tingkat golput 31.49%, tahun 2009, 28.09%, tahun 2014,30.42% dan tahun 2019, turun  menjadi 19.24% dari total jumlah pemilih yang terdaftar.
Apabila kita perhatikan data diatas, jumlah golput pemilu legislatif dan pemilu presiden masih sangat besar, walapun di tahun 2019 pada pemiliu presiden, menujukan penurunan yang cukup besar. Seperti kita ketahui bersama, KPU bersama perangkat-perangkat pemerintah yang lainnya selalu mengkampanyekan untuk menggunakan hak pilih atau menghimbau kepada seluruh warga negara yang telah mempunyai hak pilih untuk tidak menjadi golput / tidak menggunakan hal pilihnya.
Sesuai dengan judul tulisan ini kita akan membahas lebih dalam lagi mengenai golput dari kalangan mahasiswa. Akan tetapi kita bisa secara tepat menghitung berapa persen jumlah golput yang merupakan mahasiswa dari total data golput yang disebutkan diatas. Untuk itu saya akan menggunakan data hasil survey yang dilakukan oleh Tim dari program studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya  dan dari pernyataan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi  (LMND). Walaupun ada juga deklarasi-deklarasi dari para mahasiswa yang menyatakan golput, yang bisa kita dapatkan beritanya dengan mencari di goggle menggunakan kata kunci Mahasiswa Golput. Hal ini tentunya sedikit banyak mengindikasikan bahwa jumlah mahasiswa yang memilih golput masih cukup besar.
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi  (LMND)  pada tanggal 27 Maret 2019, mereka menyatakan sikap untuk tidak menyalurkan hak suaranya (Golput). Hal ini disepakati oleh seluruh cabang LMND yang berada di 11 provinsi, 23 kota se-Indonesia.
Selanjutnya kita ambil referensi dari hasil survey Tim dari Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya yang dilakukukan secara daring pada periode Agustus -- Oktober 2020 terhadap mahasiswa aktif minimal semester 3 yang tersebar di 26 perguruan tinggi di Indonesia baik swasta, negeri, umum ataupun keagamaan.
Untuk hasil survey secara lengkap dapat dilihat di https://theconversation.com/aktivisme-mahasiswa-10-tahun-terakhir-banyak-golput-menjaga-jarak-dari-politik-praktis-tapi-peka-isu-demokrasi-dan-ham-174409.
Dari hasil survey tersebut, yang berhubungan dengan jumlah golput, adalah jumlah mahasiswa yang mencoblos hanya 27% sementara 73% lainnya golput. Selain mendapatkan jumlah golput, hasil survey tersebut menemukan tiga pola penting bagi mereka yang terlibat secara langsung.
Pertama, para mahasiswa tersebut menyatakan pentingnya keterlibatan dalam politik elektoral dengan cara mencoblos saat pemilu atau pilkada (total 97% setuju).
Banyak dari mereka menganggap ajang tersebut sebagai satu-satunya mekanisme yang sah dalam perebutan kekuasaan (total 83% setuju).
Kedua, meski demikian, para mahasiswa memiliki tingkat persetujuan yang sangat rendah terkait keterlibatan dalam mobilisasi atau kampanye politik (total 55% tidak setuju), menjadi buzzer atau konsultan politik (total 67% tidak setuju), serta relawan bagi partai dan kandidat (total 51% tidak setuju).
Mereka bahkan cenderung tidak ingin terlibat dalam gugatan sengketa pemilu (total 64% tidak setuju).
Ketiga, mahasiswa cenderung lebih menyetujui keterlibatan dalam bentuk aktivitas pengawasan pemilu, serta pemberian edukasi dan literasi politik terhadap masyarakat (total 88% setuju).
Dari paparan diatas, tentunya masih ada harapan agar mahasiswa atau pemilih pemula dapat lebih banyak lagi yang menggunakan hak pilihnya, Untuk mencapai hal tesebut, tentunya ada hal yang harus dilakukan oleh pemerintah agar gejolak demonstrasi mahasiswa, gerakan buruh dan kelompok masyarakat lainnya bisa diminimalkan sehingga menimbulkan kenyamanan hidup untuk seluruh rakyat. Kami tentunya berharap seluruh element masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih dapat menggunakan hak pilihnya, walaupun kita semua tahu, seluruh pilihan yang ada tidak bisa memuaskan semuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H