"Sekarang kopi lebih mirip komoditas gaya hidup ketimbang pengalaman rasa,"
Bandung dulu adalah kota yang menawarkan mimpi manis bagi siapa pun yang ingin merasakan atmosfer santai, kreatif, dan indie. Kota ini punya warisan panjang dalam dunia seni, musik, dan gaya hidup yang seakan lebih slow dibanding Jakarta yang brutal. Tapi Bandung sekarang? Kalau lo masih berpikir kota ini adalah tempat untuk 'ngadem' dari hiruk-pikuk ibu kota, siap-siap kecewa. Karena di balik latar belakang senja dan lirik-lirik Fiersa Besari, Bandung juga jadi saksi bagaimana romantisme ala indie dihancurkan oleh kapitalisme lokal.
Dari Kopi Cangkir ke Cup Plastik dengan Logo Lucu
Dulu, ngopi di Bandung punya karakter yang lebih organik. Warung kopi berjejer di gang-gang kecil dengan cita rasa yang kuat dan harga yang ramah di kantong mahasiswa. Lo duduk di bangku kayu reyot, ngebahas teori konspirasi sambil mendengarkan playlist Radiohead atau Sigur Rs dari speaker yang udah hampir jebol. Ada sensasi magis di situ.
Sekarang? Kopi di Bandung bukan sekadar minuman, tapi produk industri. Dari Dago sampai Buah Batu, setiap sudut kota dipenuhi coffee shop yang menawarkan vibes lebih dari rasa. Tempat yang dulunya kecil dan akrab sekarang berubah jadi franchise dengan logo menggemaskan, interior estetik, dan harga yang bikin dompet mahasiswa nangis.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana teori Kapitalisme dan Komodifikasi Budaya dari Karl Marx dan Jean Baudrillard menggambarkan transisi ini. Marx misalnya, ia berpendapat bahwa kapitalisme mengubah segala sesuatu menjadi komoditas, termasuk kopi dan gaya hidup indie di Bandung. Baudrillard menambahkan bahwa dalam masyarakat konsumer modern, simbol lebih penting daripada fungsi. Dengan kata lain, kopi sekarang lebih tentang citra yang bisa dipamerkan di Instagram ketimbang kenikmatan rasa itu sendiri.
Harga yang Naik, Esensi yang Turun
Siapa yang masih ingat dengan kopi tubruk 5 ribuan yang bisa bikin lo melek semalaman? Sekarang, harga kopi di Bandung bisa bersaing dengan harga kopi di Jakarta. Latte dengan oat milk? 35 ribu. Kopi susu gula aren? 25 ribu. Ironisnya, kopi dari warung tradisional yang dulu dianggap remeh malah lebih otentik dan murah.
Masalahnya bukan cuma soal harga. Rasa kopi yang dulunya penuh karakter sekarang lebih didikte pasar. Semua coffee shop menawarkan kopi susu gula aren, seakan nggak ada inovasi lain. Branding lebih diutamakan dibanding kualitas. Banyak tempat lebih mementingkan dekorasi dan sudut foto dibanding keunikan rasa kopinya sendiri.
"Sekarang kopi lebih mirip komoditas gaya hidup ketimbang pengalaman rasa," kata Bayu, mantan barista yang kini banting setir jadi ilustrator freelance. "Dulu kita punya banyak coffee shop independen yang bener-bener peduli sama biji kopi dan cara seduhnya. Sekarang, banyak yang cuma fokus ke packaging dan strategi media sosial."