Soft power, sebuah konsep yang dicetuskan oleh Joseph Nye, kini menjadi semakin penting dalam bidang diplomasi politik, membentuk hubungan internasional melalui daya tarik dan persuasi, bukan paksaan.Â
Berbeda dengan hard power, yang mengandalkan kekuatan militer dan ekonomi, soft power memanfaatkan aset budaya, ideologi, dan institusi untuk mempengaruhi perilaku dan preferensi aktor lain di panggung global.Â
Artikel ini menggali efektivitas soft power dalam diplomasi politik dengan mengkaji kasus-kasus yang berhasil dan tantangan yang dihadapi.
Salah satu kisah sukses diplomasi soft power yang menonjol adalah pengaruh budaya yang dimiliki Amerika Serikat melalui industri hiburan, budaya populer, dan lembaga pendidikannya.Â
Film Hollywood, acara televisi Amerika, dan musik telah memikat penonton di seluruh dunia, mempromosikan nilai-nilai, gaya hidup, dan cita-cita Amerika.Â
Demikian pula, universitas terkenal seperti Harvard dan MIT menarik mahasiswa dan cendekiawan internasional, sehingga mendorong pertukaran dan kolaborasi lintas budaya.Â
Melalui diplomasi budaya, Amerika Serikat mampu menunjukkan pengaruhnya, membangun niat baik, dan memperkuat hubungan diplomatik dengan negara lain.
Contoh keberhasilan diplomasi soft power lainnya adalah Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok (BRI), sebuah proyek pembangunan infrastruktur global yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan kerja sama ekonomi.Â
Dengan berinvestasi pada proyek infrastruktur di Asia, Afrika, dan Eropa, Tiongkok berupaya untuk meningkatkan pengaruh geopolitiknya dan membina hubungan yang lebih erat dengan negara-negara peserta.Â
Melalui insentif ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan pertukaran budaya, Tiongkok mempromosikan visinya tentang "komunitas masa depan bersama," sehingga meningkatkan kekuatan lunaknya dan memperluas jejak diplomatiknya.