Di jantung kota yang ramai, di mana ritme kehidupan berdetak kencang, ada saatnya setiap tahun ketika alam memutuskan untuk mengadakan simfoninya sendiri.Â
Saat itu adalah musim banjir, dimana hujan monsun mewarnai lanskap dengan nuansa ketidakpastian dan kekacauan. Di kota ini, di mana setiap sudutnya menceritakan sebuah kisah, kisah musim banjir sangat ditakuti sekaligus dipuja.
Di antara segudang karakter yang menghuni lanskap perkotaan ini, ada seorang gadis muda bernama Maya. Maya tinggal bersama keluarganya di sebuah apartemen sederhana yang menghadap ke sungai. Sungai yang biasanya tenang, akan meluap saat musim hujan, berubah menjadi kekuatan alam yang dahsyat.
Saat tetesan hujan pertama turun dari langit, menandakan dimulainya musim hujan, keluarga Maya berkumpul di sekitar radio, mendengarkan ramalan cuaca dengan cermat. Setiap kali hujan lebat diramalkan, Maya bisa merasakan kegelisahan yang membuncah di dadanya.
Suatu malam yang menentukan, saat hujan turun tanpa henti di luar, Maya terbaring terjaga di tempat tidurnya, mendengarkan suara rintik-rintik di jendela.Â
Suara itu sepertinya menggemakan kekacauan dalam pikirannya sendiri. Dia memikirkan sungai, yang meluap setiap menitnya, semakin mendekati rumah mereka.
Di tengah kekhawatirannya, Maya mendapati dirinya memikirkan tetangganya. Mereka bukan hanya bertetangga; mereka adalah keluarga.Â
Bersama-sama, mereka telah melewati banyak badai, baik secara literal maupun metaforis. Maya tahu bahwa mereka akan saling mendukung, apa pun yang terjadi.
Saat malam semakin larut, hujan semakin deras, dan tak lama kemudian jalanan terendam air. Keluarga Maya dan tetangganya bekerja tanpa kenal lelah, menumpuk karung pasir dan memperkuat penghalang dalam upaya mereka untuk mencegah banjir.
Namun meski mereka sudah berusaha keras, air terus naik, merambat semakin dekat ke rumah mereka. Di bawah cahaya fajar yang remang-remang, Maya memandangi sungai yang meluap, merasakan rasa ketidakberdayaan menyapu dirinya.