Di kota Bandung yang ramai, di tengah perbukitan hijau Jawa Barat, penantian datangnya Ramadhan menggantung di udara bagai kabut lembut. Di tengah jalanan yang berkelok-kelok dan pasar yang ramai, hiduplah seorang gadis muda bernama Aulia, yang hatinya dipenuhi harapan dan kegembiraan saat bulan suci semakin dekat.
Aulia selalu menghargai Ramadhan sebagai waktu pembaruan dan pertumbuhan spiritual. Itu adalah bulan introspeksi, pengampunan, dan berkah yang tak terbatas.Â
Ketika hari-hari berlalu dan matahari semakin terbenam di cakrawala, dia mendapati dirinya dengan penuh semangat mempersiapkan kedatangan bulan yang penuh berkah, hatinya berdebar-debar karena antisipasi.
Hari demi hari berlalu, Aulia membenamkan dirinya dalam tindakan kebaikan dan amal, bersemangat untuk membersihkan jiwanya dan mempersiapkan diri untuk perjalanan suci ke depan.Â
Dia menghabiskan sore harinya menjadi sukarelawan di masjid setempat, menyajikan makanan kepada mereka yang kurang mampu dan mendengarkan mereka yang membutuhkan.Â
Di saat-saat tenang di malam hari, dia akan duduk merenung, memohon pengampunan atas pelanggaran masa lalu dan berdoa memohon bimbingan di hari-hari mendatang.
Namun di tengah kesibukan aktivitas dan persiapan, hati Aulia menyimpan harapan yang lebih dalam -- harapan akan persatuan dan keharmonisan antar masyarakatnya.Â
Beliau rindu Ramadhan menjadi saat rekonsiliasi dan saling pengertian, saat dimana perbedaan dikesampingkan dan ikatan persaudaraan diperkuat.
Saat bulan sabit pertama Ramadhan muncul di langit, menandakan dimulainya bulan suci, Aulia merasakan kedamaian menyelimuti dirinya.Â
Dengan hati yang penuh rasa syukur dan penantian, ia dan keluarganya berkumpul untuk salat Tarawih pertama di bulan itu, suara mereka serempak memuji dan memohon.
Sepanjang Ramadhan, jalanan kota Bandung diramaikan dengan semangat musim. Keluarga berkumpul untuk berbuka puasa, makan malam untuk berbuka puasa, berbagi tawa dan cerita sambil menikmati hidangan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi.Â
Tetangga saling bertukar bingkisan dan salam, memupuk rasa persatuan dan kekeluargaan yang melampaui batas ras, agama, dan latar belakang.
Namun di tengah kegembiraan dan perayaan, Aulia tetap menyadari esensi sejati Ramadhan -- waktu refleksi diri dan pengabdian kepada Tuhan.Â
Setiap malam, saat dia berdoa bersama komunitasnya, dia merasakan hubungan yang mendalam dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya, perasaan akan tujuan yang memenuhi hatinya dengan harapan dan rasa syukur.
Mendekati hari-hari terakhir Ramadhan, Aulia merasakan kerinduan yang pahit-manis menyelimuti hatinya. Meskipun dia akan merindukan rasa kebersamaan dan pengabdian yang memenuhi udara selama bulan suci ini, dia tahu bahwa pelajaran dan keberkahan Ramadhan akan terus membimbingnya jauh setelah gema terakhir adzan memudar di malam hari.
Dan saat ia berdiri di bawah langit malam, menyaksikan bulan sabit menghilang dari pandangan, Aulia membisikkan doa syukur dalam hati, mengetahui bahwa janji Ramadhan -- pembaharuan, pengampunan, harapan -- akan selamanya terpatri di hatinya.
Catatan: "Cerpen ini hanyalah sebuah karangan yang dibuat untuk menghibur dan menjadi pembelajaran apa yang bisa di ambil dari kisahnya. Jadi, Jika terdapat kesamaan nama, tempat dan kejadian, itu hanyalah sebuah ketidak sengajaan. Terima Kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI