Sepanjang Ramadhan, jalanan kota Bandung diramaikan dengan semangat musim. Keluarga berkumpul untuk berbuka puasa, makan malam untuk berbuka puasa, berbagi tawa dan cerita sambil menikmati hidangan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi.Â
Tetangga saling bertukar bingkisan dan salam, memupuk rasa persatuan dan kekeluargaan yang melampaui batas ras, agama, dan latar belakang.
Namun di tengah kegembiraan dan perayaan, Aulia tetap menyadari esensi sejati Ramadhan -- waktu refleksi diri dan pengabdian kepada Tuhan.Â
Setiap malam, saat dia berdoa bersama komunitasnya, dia merasakan hubungan yang mendalam dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya, perasaan akan tujuan yang memenuhi hatinya dengan harapan dan rasa syukur.
Mendekati hari-hari terakhir Ramadhan, Aulia merasakan kerinduan yang pahit-manis menyelimuti hatinya. Meskipun dia akan merindukan rasa kebersamaan dan pengabdian yang memenuhi udara selama bulan suci ini, dia tahu bahwa pelajaran dan keberkahan Ramadhan akan terus membimbingnya jauh setelah gema terakhir adzan memudar di malam hari.
Dan saat ia berdiri di bawah langit malam, menyaksikan bulan sabit menghilang dari pandangan, Aulia membisikkan doa syukur dalam hati, mengetahui bahwa janji Ramadhan -- pembaharuan, pengampunan, harapan -- akan selamanya terpatri di hatinya.
Catatan: "Cerpen ini hanyalah sebuah karangan yang dibuat untuk menghibur dan menjadi pembelajaran apa yang bisa di ambil dari kisahnya. Jadi, Jika terdapat kesamaan nama, tempat dan kejadian, itu hanyalah sebuah ketidak sengajaan. Terima Kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H