"Mahkamah Konstitusi Dibuat Agar Orang Tak Terlalu Banyak Berdoa." Rocky Gerung ILC (2/7/2019)
Pada jaman dahulu kala, tepatnya pada tahun 1776 Sebelum Masehi ada sebuah sistem hukum ditulis oleh raja berdasarkan ilham yang datang dari dewa-dewa. Karena datangnya dari Dewa, maka hukum itu memiliki prinsip yang sakral yang harus dipatuhi oleh suluruh masyarakat. Siapa yang berani membantah hukum itu, maka akan berhadapan dengan Dewa yang diwakilkan oleh raja. Untuk mempertahankan titahnya, ia menuliskan sederet kode-kode hukum dalam piagam (tulisan di batu) untuk mengajari generasi masa depan mengenai apa itu keadilan dan bagaimana raja bertindak adil.
Siapakah ia? Adalah Raja Hammurabi dari Babilonia yang menguasai Mesopotamia (Suriah dan Iran). Dewa-dewa yang dimaksud adalah berasal dari kepercayaan Meopotamia Kuno, yakni: Anu, Enlil dan Marduk.
Sejak saat itu generasi-generasi masa depan membaca dan mendengarkan seruan hukum itu dengan taklid yang buta. Inilah yang membawa mereka dalam zaman kegelapan yang mengerikan. Para birokrat menjalankan hukum itu dengan kebenaran yang ditutupi dan bertameng dibalik kabut hitam takhayul tentang para dewa.
Apa yang berlaku pada tradisi Hukum Hamurabi juga berlaku pada hukum ilahiah seperti Kristen dan Islam. "Raja Hammurabi menganggap dirinya sebagai wakil Dewa untuk menulis undang-undang, para agama samawi juga begitu bahwa kitab suci diturunkan dari Tuhan melalui mereka, para nabi. Dalam piagam Hammurabi menyatakan bahwa hanya hukum Hammurabilah yang mampu menjaga keadilan di atas tanah ini, dan melenyapkan orang fasik dan jahat,- dan kitab suci dari agama-agama samawi juga seperti itu, menganggap kitab suci mereka menjadi solusi semua diatas dunia.
Selama berabad-abad, manusia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa sumber otoritas tertinggi bukanlah yang berasal dari teks-teks kuno, melainkan diri manusialah yang menjadi otoritas makna tertinggi.Â
Landasan filosofipun berubah saat itu yang menekankan aspek bahwa manusia sakral, secara otomatis mereduksi otoritas makna yang berasal dari kitab suci. Psikologi juga ikut ambil bagian, siapa yang tidak kenal dengan Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung -- sebagian orang menuduhnya sebagai pseudo science (sains palsu), karena teorinya tidak dapat dinilai secara matematis dan penuh dengan intrepertasi.
Terlepas dari kontroversinya, ternyata psikologi menyumbang ilmu pengetahuan yang cukup signifikan dalam kehidupan modern. Dalam meja persidangan misalnya, para Hakim modern saat itu, ketika memutuskan suatu perkara terhadap seorang terdakwa, maka yang dilakukan nya tidak lagi mencari keputusan dari kitab suci, namun lebih mengedepankan sisi humanisnya, dengan mendengarkan suara-suara kelam para terdakwa (sekalipun penjahat itu telah membunuh dengan kejam) -- hakim selalu memberikan kesempatan mereka untuk bicara dari hati nuraninya, motif dibalik terdakwa melakukan tindakan kriminal. Tidak jarang hakim memutuskan untuk mengirimkan para penjahat ke rumah sakit jiwa, ketimbang penjara atau hukuman mati.
Namun ternyata manusia itu brengsek sekali, memang. Mereka penuh dengan manipulasi dan tipu muslihat. Seperti dalam film Primal Fear 1996, seorang pengacara Martin Vail (Richard Gere) membela mati-matian Aaron Stampler (Edward Norton) dituduh membunuh uskup Chicago dengan sangat keji. Martin Vail berusaha meyakinkan juri bahwa terdakwa, Aaron, tidak bersalah karena ia menderita penyakit kelainan jiwa. Namun ending dalam cerita itu sungguh mengejutkan, Aaron berhasil memanfaatkan Martin dan menekan Hakim dengan tipu-tipu berlagak seperti orang kambuhan.
Kondisi paling mutakhir, setidaknya setelah manusia memasuki abad millenium ke-3, mereka tersadar bahwa betapa terbatasnya kemampuan manusia mengungkapkan kebenaran. Contohnya ketika manusia menjadi saksi suatu tindak kriminal, ia tetap saja memiliki kendala mengenai akurasi kapan ia menyaksikan peristiwa kejahatan. Belum lagi akurasi manusia juga bisa menurun ketika saksi mata mengalami stress sepanjang peristiwa ketika melibatkan kematian penyebab trauma. Informasi itu bisa menyesatkan.
Untuk itu Hakim jaman now tidak lagi percaya dengan atraksi manusia yang hadir dalam memberikan kesaksian di meja persidangan. Seperangkat alat elektronik ternyata lebih memiliki muruah (kehormatan) dibandingkan apa yang diucapkan oleh manusia. Ketika sebuah tindakan kejahatan terjadi dan terekam dalam CCTV, mau tidak mau seorang saksi harus merivisi ingatannya berdasarkan kronologis apa yang ada di CCTV - bukan sebaliknya.
Sejak 2008 Indonesia telah menerapkan Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU-ITE) dan disana Hakim melakukan justifikasi hukum berdasarkan data - bukan lagi berdasarkan pengakuan para korban. Contohnya, seseorang korban melaporkan terdakwa, karena korban merasa adanya kerugian materi hasil dari transaksi jual beli online. Validitas informasi kerugian bukan dari korban, melainkan apakah ada data pemindahan dana (transaksi) dari rekening satu ke lainnya. Jika tidak ada data tersebut, maka laporan korban akan menjadi omong kosong.
Menuruh Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, teknologi baru abad ke 21 bisa membalikan revolusi humanis, melucuti otoritas manusia, dan memberikan kekuasaan pada data, atau semacam algoritma non-manusia. Ponsel pintar anda memberitahu anda sedang berada dimana lengkap dengan waktu per-milisecond. Ketika anda mencoba mengelabui para hakim, alibi untuk menghidari suatu tindak kriminal, namun ketika otoritas hakim membongkar data keberandaan anda melalui ponsel anda, maka yang harus mengalah untuk direvisi adalah ucapan anda, bukan datanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H