Mohon tunggu...
Budi Prasetyo
Budi Prasetyo Mohon Tunggu... -

budi prsetyo, lahir: yogyakarta 4 Desember 1956, bapak dua anak,sarjana muda,perupa/penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapitalisme Suber Malapetaka

12 Desember 2009   07:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapitalisme Sumber Malapetaka

Oleh Budi Prasetyo

Globalisasi nyaris membawa seluruh masyarakat dunia hidup dalam satu sistem ekonomi, yaitu kapitalisme. Masyarakat tidak punya pilihan lain, karena kekuasaan kapitalisme begitu kokoh dan kuat mencengkeram seluruh aspek kehidupan manusia. Globalisasi adalah kata lain dari imperalisme. Tepatnya neo-imperalisme! Penjajahan ekonomi oleh negara-negara Barat atas negara-negara miskin dan lemah ekonomi dan teknologiitu kini masih terus berlangsung.

Industrialisasi mulai dari makanan hingga teknologi canggih, dari software hingga hardware diselenggarakan dengan sistem kapitalisme,sistem yang mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia dengan memaksimalkan kapital, namun tanpa memperhatikan dampak dan risiko negatif.

Bidang industri mobil, misalnya, begitu dahsyat berkembang karena setiap orang teropsesi untuk memiliki mobil pribadi, maka fenomena itu menggoda dan mendorong setiap negara berlomba-lomba untuk menjadi produsen mobil, namun amat disayangkan para industrialis mobil tidak memperhatikan dampak negatif yang muncul. Mereka tidak peduli akibat negatifnya: meningkatnya eksploitasi energi minyak, polusi udara, kemacetan dan selanjutnya.

Kapitalisme adalah agama yang menganut kepercayaan: ‘Tidak ada Tuhan selain Uang’. Penganut kepercayaan ini meyakini bahwa uang adalah kekuatan dari segala kekuasaan, maka setiap penganut dan pengikut kapitalisme menghalalkan segala cara untuk meraih dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Segala sesuatu diperdagangkan, tidak saja harta-benda, bahkan harga diri dan tubuhnya pun jadi komoditi. Hedonisme adalah way of lifemereka. Dan maksiat adalah wajib bagi mereka. Konsumerisme adalah ‘ritual wajib’ yang harus dijalankan di mal-mal, tempat hiburan dan lain sebagainya.

Secara mikro dapat digambarkan bahwa meningkatnya perceraian: gugatan cerai istri terhadap suami; talak oleh suami terhadap istri, sebagian besar adalah alasan ekonomi.Fenomena ini bisa menjadi bukti bahwa lembaga perkawinan tidak lagi menjadi lembaga yang sakral dan dihormati, tapi sekadar menjadi legitimasi transaksi sex dan hubungan jual-beli belaka. Banyaknya pelacuran, baik yang dilakukan di jalanan maupun di hotel dan tempat hiburan, merupakan bukti lain bahwa mereka hanya mengutamakan ekonomi dan mengabaikan moraldan agama. Maraknya perdagangan manusia, jual beli bayi, atau penculikan bayi, yang semuanya bertujuan ekonomi, juga menjadi buki. Dan masih sederet bukti lain yang mengarah pada kemerosotan moral dan perilaku umat manusia. Tentu tidak hanya itu, kejahatan ‘kerah putih’ pun semakin sulit untuk diendus dan tentu sulit diberantas.Semua itu karena tekanan ekonomi. Padahal tekanan ekonomi terjadi akibat dari sistem ekonomi yang tidak berkeadilan dan tidak adanya pemerataan.

Soekarno, presiden RI pertama pernah mengatakan:

“O, memang zaman imperalisme modern mendatangkan ‘kesopanan’. Zaman imperialisme modern mendatangkan perikehidupan, damai, dan ketentraman. Zaman kapitalisme modern mendatangkan jalan-jalan yang menggampangkan perhubungan antara tempat-tempat di Indonesia, mendatangkan jalan-jalan kereta api, pelabuhan-pelabuhan, dan perkembangan-perkembangan kapal yang sempurna. Tetapi adakah itu semua hakikatnya; terpandang dari pengalaman hidup rasional, suatu kemajuan yang setimbang dengan bencana yang disebarkan oleh usaha-usaha partikelir itu? Ah, Tuan-tuan Hakim. Betapa banyak orang menjadi silau matanya oleh banyaknya model dan hasil-hasil kesopanan. Barat yang masuk di negeri kami dan lantas mengira bahwa imperalisme modern itu mendatangkan kerja belaka.”

Pernyataan Soekarno tersebut disampaikan ketika imperialisme-kapitalisme belum serupa dahsyatnya sebagaimana sekarang, namun kekhawatiran beliau memang terbukti, rakyat Indonesia kini hidup dalam tekanan ekonomi, bahkan dialami pula oleh rakyat di negara-negara Barat itu sendiri: Kemiskinan meningkat, kesenjangan ekonomi semakin meluas, kejahatan ekonomi semakin meresahkan, korupsi merajalela, dan seterusnya, dan sebagainya.

Kapitalisme adalah monster yang keji dan menakutkan. Ia hidup subur dalam suasana liberalisme. Dan liberalisme melahirkan individualisme. Dan individualisme menyuburkan penindasan dari orang atas orang, dari pemilik modal terhadap yang lemah dan miskin.

Liberalisme tidak lain adalah ibu kandung dari demokrasi liberal yang menciptakan kebebasan individual tanpa mengenal batas, ‘yang kuat adalah yang menang’. Kekuasaan bertumpu pada kekuatan ekonomi, bahkan menyingkirkan peran negara dalam kehidupan suatu bangsa. Negara hanya berperan sebagai pelayan dan tunduk kepada para kapitalis tulen. Melalui ASEAN, APEC, WTO, dan PBB para kapitalis tulen mendikte dan menentukan arah ekonomi regional dan global. Itulah wujud imperalis-gaya baru. Neo-imperialism yang lebih berbahaya dan menakutkan!

Liberalisme tidak saja merusak tatanan ekonomi dan politik belaka, tapi juga merusak tatanan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Kebebasan individu menyebabkan hubungan antar anggota keluarga: hubungan suami-istri, orangtua dan anak, menjadi tidak harmonis; hubungan antar anggota masyarakat pun semakin tidak guyub, bahkan kegiatan-kegiatan keagamaan pun diwarnai dan dipenuhi dengan aktifitas seremonial semata.

Reformasi sebagai gerakan politik telah membuka pintu lebih lebar lagi bagi globalisasi ke negeri tercinta ini adalah ‘mimpi buruk’ bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Bencana bagi rakyat dan bangsa yang hidup di bumi yang kaya raya akan sumber daya alam ini. Kekayaan alam kita begitu mudah dikeruk oleh mereka (para kapitalis tulen) hanya dengan goresan tanda tangan pejabat negara. Sementara, rakyat yang menjadi pemilik sah atas kekayaan itu, dipaksa puas, sekadar menjadi buruh yang miskin dan menderita. Sengsara di tengah melimpah-ruahnya kekayaan. Mati di lumbung padi! Gemah ripah loh jinawi tapi tak kuasa menikmati! Itulah nasib tragis rakyat dan bangsa negeri tercinta ini.

Keliahaian neo-imperalisme-kapitalisme membuat kita semua terlena dan tidak waspada akan apa yang sesungguhnya menjadi biang keladi malapetaka kehidupan: pemanasan global, kerusakan lingkungan, kemiskinan, peperangan, terorisme, maksiat, korupsi. Kenapa kita menjadi pembenar dan pembebek setia mereka. Kenapa segala hal yang ditawarkan atau diproduksi begitu saja kita terima? Tidak saja teknologi, tapi juga: budaya, gaya hidup, kepercayaan?

Ibarat tanaman kita dipupuk dan dirawat agar menjadi tanaman yang tumbuh subur, namun sekaligus kita harus dapat bermanfaat atau berbuah. Ibarat kuda kita diberi umpan dihadapan kita, sementara tanpa sadar kita dipicu dan dipacu untuk menarik pedati agar kita selalu mengejar umpan di depan kita. Kita mengejar sesuatu yang sesungguhnya tidak kita butuhkan, namun kita mati-matian meraihnya dengan segala cara, bahkan menghalalkan segala cara. Itulah kapitalisme!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun