Mohon tunggu...
Budi Prasetyo
Budi Prasetyo Mohon Tunggu... -

budi prsetyo, lahir: yogyakarta 4 Desember 1956, bapak dua anak,sarjana muda,perupa/penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dekadensi Moral

29 November 2009   01:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:09 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gaung reformasi tak lagi bergelora seperti ketika awal gerakannya, yangdidengungkan mengawali jatuhnya rezim Soeharto. Semangat reformasi untuk membangun masyarakat madani pupus, layu sebelum berkembang. Hingar-bingar menegakkan demokrasi sekadar basi-basi dan retorika politik belaka. Gegap-gempita pemberantasan KKN begitu menggebu,tapi semua itu agenda semu belaka. Agenda semu dari elite politik untuk memenuhi kepentingan dan tujuan sempit: memperoleh kekuasaan; memdapatjabatan; menumpuk kekayaan, dan mengeruk keuntungan pribadi, kroni, dan kelompokpolitik mereka.Semuanya mengatasnamakan kepentingan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, pilar-pilar demokrasi digerogoti sendiri oleh para anggotadewanhingga tumbang, ketika mereka tidak lagi peka terhadap aspirasi rakyat-bahkan malah terlibat korupsi.Para penegak hukum memperjual-belikan keadilan; para pejabat pemerintah memperkaya diri dengan cara menyalahgunakan jabatan, mengkomersialisasikan wewenang dan jabatan, dan korupsi.

Ketika roh reformasi gegap-gempita merasuki segenap stakeholder negeri pertiwi untuk bersatu-padu membasmi korupsi, lahirlah: ‘sang jabang bayi’. ‘Sang jabang bayi’ yang diharap-harap rakyat sebagai juru selamat, bernama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Sepak terjang KPK mengharu-biru bak makhluk suci; bak makhluksurga utusan Tuhan. “Ratu adil telah tiba!” seru sekalian masyarakat penuh harap. Mereka sangat berharap agar KPK menjadi pionir dan penegak hukum demi terselenggaranya clean government dan good governance.

Praktek-praktek korupsi semakin menggila di negeri ini. Malah lebih parah. Pada kenyataannya korupsi tidak saja dilakukan oleh orang per orang belaka, tapi dilakukan secara berkelompok dan sistemik (berjamaah), bahkan institusional.

Sebagaimana telah dibuktikan beberapa waktu terakhir ini, KPK telah banyak membongkar praktek-praktek bejat para tikus-tikus negeri ini, tidak saja mereka yang duduk di lembaga eksekutif, tapi juga terhadap mereka yang duduk di lembaga yudikatif-yang kita kenal sebagai mafia peradilan, dan yang sangat mengejutkan, tikus-tikus itu pun ternyata banyak bergentayangan di tubuh dewan. Sudah sekian orang aparat kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan dikirim ke bui; puluhan anggota dewan dipenjarakan. Tidak sedikit bupati/walikota yang terbukti korupsi dipenjarakan. Bahkan seorang besan orang nomer satu di negeri ini pun, tak luput dari jeratan KPK, dan telah dijebloskan ke bui. Kenyataan itu, mengundang decak kagum. Terbongkarnya kasus suap antara seorang pengusaha dengan oknum jaksa, kontan, membuat masyarakat mengacungkan dua jempol sekaligus, dan menaruh hormat kepada KPK.

Kita semua meyakini KPK tidak hanya bicara, tapi benar-benar dapat membuktikan: berani bertindak tegas dan tanpa pandang bulu. Itulah sederet prestasi KPK. Sungguh mencengangkan, dan sekaligus membuka harapan baru bagi kita semua.

Kiprah KPK tentu membuat gerah para koruptor negeri ini. Mengkerutkan nyali mereka. Membuat was-was. Mengusik kenyamanannya, dan sangat beralasan, kalau rasa dendam pun diam-diam tumbuh dan bersemayam di benak mereka, barangkali juga pada sanak saudara, handai-taulan, kroni, dan atau kelompok mereka. Bisa jadi lalu mereka berkonspirasi ingin membalas dendam dan berniat menghancurkan KPK?

Mati sebelum berkembang. Itulah ungkapan yang layak disandangkan pada tubuh KPK. Isu kriminalisasi KPK melalui keterkaitannya dengankasus Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, pun pula pada kasus Antasari Azhar. Bak bola salju, kasusnya pun membesar menjadi isu dan perhatian nasional. Mengusik rasa keadilan dan simpati masyarakat (people power). Rakyat curiga: Ada kekuatan yang hendak menghancurkan KPK? Namun pada puncaknya, kasus tersebut berbalik arah, bukan KPK yang runtuh, tapi justru membongkar satu per satu kebobrokan aparat penegak hukum.

Terkuaknya praktek mafia peradilan, ‘secara tidak sengaja’, melalui rekaman penyadapan oleh KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi, membelalakkan kita semua. Mafia peradilan bukan khayalan. Bukan sekadar isu belaka, memang ada di negeri ini. Selama ini kita hanya mengetahui secara samar. Tidak kasat mata. Tapi kini, lebih jelas dan nyata melihat siapa saja mereka yang selama ini terlibat dalam praktek mafia peradilan. Ternyata bukan saja aparat rendahan, tapi tak tanggung-tanggung, mereka adalah pejabat-pejabat tinggi. Kita bisa melihat secara telanjang bagaimana peran dan kiprah seorang pengusaha yang dengan seenak perutnya mengatur para petinggi negeri ini untuk memenuhi keinginannya. Lalu apa yang dapat diharapkan rakyat?

Kini tak terbantahkan lagi bahwa Korupsi memang tumbuh subur dan mengakar dan telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Ibaratkanker, telah memasuki stadium-IV. Sulit disembuhkan. Sel kanker telah tumbuh subur dan menyebar ke seluruh tubuh. Tinggal menunggu saat-saat ajal saja. Itulah kenyataan pahit di negeri ini. Sungguh mengenaskan!

Upaya pemberantasan dan pencegahan KKN sudah banyak dilakukan. Peluang dan celah KKN telah diminimalisir, namun hingga detik ini, tak tampak hasilnya. Praktek KKN masih ada dan bahkan tumbuh subur.

Pemberantasan korupsi tak cukup dengan mereformasi sistem dan penegakan hukum dan atau meningkatkan kesejahteraan aparatur negara belaka. Namun ada hal lain yang tidak kalah pentingnya, bahkan lebih penting. Yaitu persoalan mentalitas dan moralitas. Korupsi berkait sangat erat dengansikap moral. Sebaik apapun sistem hukum dan perundang-undangan, namun jika moralitas para penegak hukumnya bobrok, tidak akan ada artinya sama sekali. Maka tidak ada pilihan lain: reformasi moral perlu dilakukan.

Gaya hidup materialistis atau kehidupan hedonis adalah gaya hidup yang memicu perbuatan korupsi. Kehidupan materialistis akan mengakibatkan merosotnya kualitas moralitasyang dapat menjerumuskan diri ke lembah kehidupan serba rakus, tamak, dan loba. Mendangkalkan pemahaman spiritualitas dalam kehidupan. Menumpulkan rasa peduli dan tanggungjawab terhadap rasa keadilan dan kebenaran; melecehkan hokum, dan seterusnya.

Banyak manusia percaya adanya Tuhan dan mereka mengaku beragama, namun sangat sedikit di antara mereka yang taatdan patuhterhadap agama yang dianutnya. Mereka pun percaya akan kematian, tapi tidak semua di antara mereka yakin akan adanya pengadilan setelah kematian.

Marilah kita kembali kepada kebenaran Ilahi, kebenaran hakiki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun