Mohon tunggu...
Budi Pasopati
Budi Pasopati Mohon Tunggu... -

berbagi ilmu dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemakzulan Gus Dur, Konstitusional ?

7 Juli 2013   15:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53 5745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini bermula dari pernyataan atau komentar beberapa kompasioner bahwa pemakzulan Presiden Abdurahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) konstitusional. Komentar ini dapat dibaca dari tulisan rekan kompasioner yang membandingkan jatuhnya Presiden Morsi di Mesir dengan jatuhnya Gus Dur pada tahun 2001. Saya tidak ingin masuk ke topik kudeta atas Presiden Morsi tersebut. Topik tulisan ini hanya pada lingkup “dilengserkannya” atau pemakzulan atas Gus Dur yang dianggap sudah konstitusional. Argumen yang dibangun cukup sederhana, Gus Dur diangkat oleh MPR maka sah saja jika MPR yang memberhentikannya. Dilanjutkan bahwa pemberhentian tersebut telah dianggap sah dan diterima oleh semua pihak hingga saat ini. Saya tidak menapik hal itu. Namun yang saya pertanyakan apakah peristiwa itu absah menurut politik, atau absah menurut konstitusi. Dua hal yang berbeda. Suatu peristiwa politik bisa absah secara politik tetapi belum tentu absah menurut konstitusi. Dengan menyatakan bahwa pemakzulan Gus Dur konstutisional, berati berangapan peristiwa itu absah menurut konstitusi. Jadi yang saya persoalkan adalah keabsahan: konstitusional atau inkonstitusional. Bukan hal yang lain. Pendapat saya, pemakzulan Gus Dur inkonstitusional.Argumennya sebagai berikut:

Tidak ada satu pasalpun dalam UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Sidang Istimewa MPR untuk memberhentikan Presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Beberapa orang, menggunakan rujukan Pasal 8 UUD 1945, untuk dijadikan dasar pemakzulan. Sedangkan norma dalam pasal ini, tidak memuat kewenangan Sidang Istimewa MPR dan maksud dari pemberhentian. Pasal 8 UUD 1945, pernah menjadikan landasan untuk menyatakan keabsahan mundurnya Presiden Suharto pada tahun 1998. Hampir semua ahli hukum, dintaranya Mahfud MD (saat itu Menhan), Akil Mochtar (saat itu anggota DPR), Harun Al Rasyid, dan Yusril Ihza Mahendra (saat itu Mentri Hukum dan Ham), menyatakan pemakzulan atas Gus Dur di luar hukum dan konstitusi. Karena konstitusi tidak mengaturnya. Atau istilah lain terjadi “krisis konstitusional”. Dengan demikian pemakzulan tersebut inkonstitusional, atau menurut Harun Al Rasyid, cacat hukum.

Pemakzulan atas Gus Dur lewat Sidang Istimewa MPR pun diakui oleh hampir semua pihak yang saat itu terlibat, di luar konstitusi. Termasuk oleh Amin Rais sebagai ketua MPR yang menyatakan tuntutan mundurnya Gus Dur dari tapuk Presiden, menghadapi tembok tebal konstitusi. Sidang Istimewa MPR adalah jalur cepat merespon tuntutan tersebut. Jadi jelas, alasan politik yang dikedepankan bukan konstitusi. Pun pendapat Jimly Asidiqie, yang menyatakan bahwa keputusan MPR tersebut terserah rakyat untuk mematuhinya atau tidak. Inipun menyangkut keabsahan politik, bukan keabsahan konstitusi.

Ketika terjadi krisis konstituisional saat itu, ada dua opsi yang ditawarkan: pertama, pelimpahan tugas konstitusional dan kedua, menggunakan Tap MPR Nomor III tahun 1978. Opsi pertama ditawarkan oleh Gus Dur melalui Tim Tujuh dari Pemerintah, kepada Megawati sebagaiWakil Presiden. Opsi ini juga atas saran Akbar Tanjung sebagai ketua DPR, sebagai solusi jalan tengah yang sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945. Dengan terlebih dahulu, Gus mengundurkan diri dan selanjutnya pelimpahan kewenangan diserahkan kepada Megawati. Kompromi ini ditolak oleh para politik yang ada di senayan saat itu. Meskipun, Gus Dur sudah bersedia mundur dan melimpahkannya kepada Megawati. Agar proses pergantian tersebut dibenarkan dan diabsahkan oleh konstitusi. Politisi senayan lebih memilih opsi menggunakan Tap MPR No III tahun 1978 sebagai dasar pemakzulan. Disinilah pelanggaran-pelanggaran norma hukum terjadi.

Pelanggaran pertama, pemakzulan dengan menggunakan pasal 7 Tap MPR No. III tahun 1978, bersifat ekstra konstitusi. Keputusan hukum yang ditempatkan di atas konstitusi. Padahal dalam tata urutan perundang, Tap MPR berada dibawah konstitusi (Tap MPRS XX/MPRS/1966). Praktek ini menunjukan MPR telah menabrak produk hukum yang telah dibuatnya sendiri.

Solusi saat itu sudah diberikan. Dengan merujuk pasal 37 UUD 1945, MPR terlebih dahulu melakukan amandemen pasal 8 UUD 1945 dengan memasukan pasal 7 Tap MPR III/1978. Sehingga pemakzulan memiliki kekuatan hukum secara konstitusional. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh MPR. Amandemen ketiga tentang pemakzulan baru dilaksanakan pada bulan November 2001. Setelah pemakzulan atas Gus Dur terjadi pada 23 Juli 2001. Amandemen UUD 1945 ketiga dengan menambahkan pasal 7A dan 7B, yang tidak lain dari norma yang terkandung dalam pasal 7 Tap MPR III/ 1978. Dengan kata lain, pemakzulan atas Gus Dur (Juli 2001), MPR tidak menggunakan konstitusi tetapi Tap MPR III/1978.

Pelanggaran kedua, penggunaan pasal 7 Tap MPR III/ 1978 bukan saja menyandang status ekstra konstitusi namun juga bertentangan dengan konstitusi. Apa yang disebut body of constitution, dengan adanya dua katagori kuasa dan relasi competence dari MPR, Presiden dan DPR. Menurut pasal 3, pasal 6 ayat 2 dan pasal 37 UUD 1945, MPR tidak mempunyai kompetensi menentukan jalannya pemerintahan. Karena relasi pemerintahan ada pada kuasalegislatif [pouvoir legislatif] yang dipegang oleh DPR dan Presiden secara seimbang. Berikut prinsip pemerintahan dalam konstitusi menganut sistem Presidensiil. Sedangkan pasal 7 MPR III/ 1978, menganut prinsip parlementer. Bilapun demikian sistem parlementer memberi kuasa kepada DPR bukan kepada MPR.

Hal yang patut dicermati, lahirnya Tap MPR III/ 1978, dibawah kekuasaan rezim Suharto. Produk hukum yang sengaja dibuat untuk melindungi kekuasaan (baca: Presiden) yang tidak bisa dijatuhkan menggunakan dasar konstitusi. Karena Presiden tidak bisa dijatuhkan melaluiTap MPR tetapi harus berlandaskan konstitusi. Tap MPR ini dibentuk oleh MPR dengan komposisi keanggotaan 1:2 dengan DPR. Penunjukan langsung utusan daerah dan golongan makin memperkuat posisi MPR dibanding DPR saat itu. Sehingga upaya pemakzulan atas diri Suharto sangat tidak mungkin dilaksanakan karena bukan saja tidak berdasarkan konstitusi tetapi komposisi MPR dan DPR makin mengunci posisi DPR sebagai pemegang kuasa atas nama perwakilan rakyat.

Pelanggaran ketiga, isi dari memorandum I dan II sudah melampaui batas kewenangan DPR sebagaimana tertera dalam pasal 7 ayat 2 Tap MPR III/1978. Kutipan ayat 2 sebagai berikut: “Apabila DPR menganggap Presiden sungguh-sunggung melanggar Haluan Negara, maka DPRmenyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden”. Sedangkan materi memorandum I dan II, berbunyi: “patut diduga bahwa presiden Abdurahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog”. Bentuk pelanggarannya:

·Kata “patut diduga” bersifat sementara, sedangkan Tap MPR mensyaratkan adanya “sunguh-sunguh”, yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud MD dan Akil Mochtar, bahwa Gus Dur tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum atas kasus dana Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan Brunai. Alasan ini berdasarkan pemeriksaan Jaksa Agung secara projustisia yang mengumumkan secara resmi Presiden bersih dari soal hukum dalam kasus tersebut. Pada kaitan ini DPR sudah melampaui kewenangan dengan menjadi Yudikatif.

·Pelanggaran oleh Presiden sebagaimana Tap MPR di atas, adalah pelanggaran atas “haluan negara”, yang bersifat manajerial pemerintahan selama masa jabatan yang diemban. Sedangkan isi memorandum berupa pelanggaran tindak pidana. Jikapun demikian, tindak pidana yang disangkakan dengan frasa “patut diduga”, harus berlandaskan pada keputusan pengadilan.

·Hal ini dikaitkan dengan dictum dari memorandum bahwa Presiden sudah melanggar TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sedangkan pelanggaran yang dimaksud tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan Presiden bersalah.

Pelanggaran keempat, Keluarnya memorandum II mengabaikan pasal 7 ayat 3 Tap MPR III/ 1978. Kutipannya: “Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum tersebut padaayat 2 pasal ini, maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua”. Memorandum pertama dikeluarkan pada tanggal 1 Februari 2001. Setelah itu, Presiden Gus Dur memberi jawaban atas memorandum I tersebut, satu bulan setelahnya. Namun, jawaban Presiden ini ditolak oleh mayoritas anggota DPR dengan kata “tidak memuaskan” dan mendorong dikeluarkannya Memorandum II. Padahal pasal 7 ayat 2, tidak mensyaratkan apapun dari frasa “memperhatikan”, apakah memuaskan atau tidak. Jawaban Presiden Gus Dur atas memorandum I, sudah menunjukan bahwa “Presiden memperhatikan” memorandum I yang dilayangkan oleh DPR sebelumya.

Pelanggaran kelima, Sidang Istimewa MPR sebagaimana Tap MPR III/ 1978 untuk meminta pertanggungjawaban Presiden, tidak sah. Syarat yang harus terpenuhi dalam Sidang Istimewa tersebut, harus dihadiri oleh seluruh Fraksi. Faktanya SI MPR pada tanggal 23 Juli 2001, tidak dihadiri oleh Fraksi PDKS dan Fraksi PKB.

Sesungguhnya, pemakzulan atas Gus Dur pada Juli 2001 dianggap inkonstitusional cukup menggunakan alasan pelanggaran pertama di atas. Karena Sidang Istimewa MPR menggunakan Tap MPR III/ 1978, bukan menggunakan UUD 1945. Argumen saya di bentuk pelanggaran lainnya (dua hingga lima), untuk memperkuat bahwa MPR bukan saja melakukan pelanggaran konstitusi tetapi juga melakukan pelanggaran atas Tap MPR III/1978 sebagai dasar hukumnya.

Dengan demikian, fakta ini menegaskan atas preposisi yang saya ajukan sebelumnya:Suatu peristiwa politik bisa absah secara politik tetapi belum tentu absah menurut konstitusi. Pemberhentian Gus Dur itu murni merupakan akibat pertarungan politik. Bahwa Gus Dur kalah dalam pertarungan itu tentu harus diterima sebagai fakta politik yang tak terelakkan. Sebab, produk pertarungan politik itu adalah menang, kalah, atau kompromi; beda dengan hukum yang mendasarkan pada benar dan salah. Artinya, peristiwa ini absah secara politik, karena bisa diterima oleh semua pihak. Maka suatu yang lumrah, ketika memorandum I dan II dianggap inkonstitusional, Gus Dur membalasnya dengan mengeluarkan dekrit Presiden yang inkonstitusional juga. Tindakan inkonstitusional dibalas dengan tindakan serupa. Inilah pertarungan politik. Siapa yang kuat dan mendapat dukungan penuh atau mampu mempertahankannya, dialah yang akan menang. Jadi bukan soal konstitusional atau inkonstitusional.

Bila kita telusuri, banyak sekali peristiwa politik di negri ini yang memiliki keabsahan politik tetapi inkonstitusional. Diantaranya: (1) peralihan dari Presiden Suharto ke BJ Habibie. Tidak melalui mekanisme pemilihan di MPR, sebagaimana pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Inipun inkonstitusional; (2) BJ Habibie diturunkan lewat Sidang Istimewa MPR sebelum habis masa waktunya (pasal 8), juga inkonstitusional; (3) penunjukan Hatta lewat PPKI sebagai wakil Presiden dan Sukarno- Hatta yang mengatasnamakan bangsa Indonesia saat proklamasi, ini juga inkonstitusional; (4) pengangkatan Suharto sebagai Presiden dengan selembar Super Semar, juga inkonstitusional. Meskipun secara de facto sah, namun tidak de jure dalam pengertian konstitusional; (5) Demikian pula pemberhentian Sukarno lewat Sidang Istimewa MPRS yang menolak laporan “Nawaksara”, tanpa melalui tahap-tahap peringatan seperti memorandum terlebih dahulu. Dan (6) baik Dekrit Presiden Sukarno, dan Dekrit Presiden Gus Dur, juga inkonstitusional.

Dalam peristiwa politik kenegaraan, ketika terjadi krisis konstitusional, maka keabsahan politik yang menjadi pegangan utama. Bisa kita bandingkan: Dekrit Presiden adalah tindak inkonstitusional. Tetapi mengapa Dekrit Presiden Sukarno 1959 lebih diterima sebagai satu keabsahan sedangkan Dekrit Presiden Gus Dur 2001 ditolak. Lagi-lagi keabsahan politik yang menjadi penentunya. Sukarno berani mengeluarkan Dekrit setelah melakukan kalkulasi politik sebelumnya. Dimana TNI (dalam hal ini AH Nasution) mendukungnya, setelah ada pengumuman negara dalam status SOB. Kendali negara dalam keadaan darurat dipegang oleh TNI saat itu. Ditambah dukungan dari DPR dan badan Konstituante yang menyetujui (52% anggota parlemen) atas rencana Dekrit Presiden tersebut.

Dengan mengunakan dalil hukum negara dalam keadaan darurat (staatsnoodrechts), Presiden bisa mengeluarkan dekrit di luar konstitusi. Oleh Yusril Ihza Mahendra disebut “revolusi hukum”, saat konstitusi tidak dapat menjangkaunya. Presiden memegang kendali kekuasaan dan bisa berbuat apa saja. Hak darurat negara merupakan hak penguasa untuk menyimpang dari aturan hukum, jika negara dan rakyat dalam keadaan darurat. Dengan syarat, prakondisi kekuatan politik lain ikut mendukungnya. Jika tidak, maka nasibnya seperti Dekrit yang dikeluarkan oleh Gus Dur.

Terakhir, pendapat saya di atas hanya ingin menegaskan bahwa peristiwa politik kenegaraan tidak serta merta bisa dianggap konstitusional, karena latah. Beberapa fakta yang saya tunjukan di atas beserta argumen hukumnya, menyatakan bahwa pemakzulan atas Presiden Abdurachman Wahid adalah tindakan inkonstitusional. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun