Mohon tunggu...
Budi Pasopati
Budi Pasopati Mohon Tunggu... -

berbagi ilmu dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemakzulan Gus Dur, Konstitusional ?

7 Juli 2013   15:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53 5745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelanggaran keempat, Keluarnya memorandum II mengabaikan pasal 7 ayat 3 Tap MPR III/ 1978. Kutipannya: “Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum tersebut padaayat 2 pasal ini, maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua”. Memorandum pertama dikeluarkan pada tanggal 1 Februari 2001. Setelah itu, Presiden Gus Dur memberi jawaban atas memorandum I tersebut, satu bulan setelahnya. Namun, jawaban Presiden ini ditolak oleh mayoritas anggota DPR dengan kata “tidak memuaskan” dan mendorong dikeluarkannya Memorandum II. Padahal pasal 7 ayat 2, tidak mensyaratkan apapun dari frasa “memperhatikan”, apakah memuaskan atau tidak. Jawaban Presiden Gus Dur atas memorandum I, sudah menunjukan bahwa “Presiden memperhatikan” memorandum I yang dilayangkan oleh DPR sebelumya.

Pelanggaran kelima, Sidang Istimewa MPR sebagaimana Tap MPR III/ 1978 untuk meminta pertanggungjawaban Presiden, tidak sah. Syarat yang harus terpenuhi dalam Sidang Istimewa tersebut, harus dihadiri oleh seluruh Fraksi. Faktanya SI MPR pada tanggal 23 Juli 2001, tidak dihadiri oleh Fraksi PDKS dan Fraksi PKB.

Sesungguhnya, pemakzulan atas Gus Dur pada Juli 2001 dianggap inkonstitusional cukup menggunakan alasan pelanggaran pertama di atas. Karena Sidang Istimewa MPR menggunakan Tap MPR III/ 1978, bukan menggunakan UUD 1945. Argumen saya di bentuk pelanggaran lainnya (dua hingga lima), untuk memperkuat bahwa MPR bukan saja melakukan pelanggaran konstitusi tetapi juga melakukan pelanggaran atas Tap MPR III/1978 sebagai dasar hukumnya.

Dengan demikian, fakta ini menegaskan atas preposisi yang saya ajukan sebelumnya:Suatu peristiwa politik bisa absah secara politik tetapi belum tentu absah menurut konstitusi. Pemberhentian Gus Dur itu murni merupakan akibat pertarungan politik. Bahwa Gus Dur kalah dalam pertarungan itu tentu harus diterima sebagai fakta politik yang tak terelakkan. Sebab, produk pertarungan politik itu adalah menang, kalah, atau kompromi; beda dengan hukum yang mendasarkan pada benar dan salah. Artinya, peristiwa ini absah secara politik, karena bisa diterima oleh semua pihak. Maka suatu yang lumrah, ketika memorandum I dan II dianggap inkonstitusional, Gus Dur membalasnya dengan mengeluarkan dekrit Presiden yang inkonstitusional juga. Tindakan inkonstitusional dibalas dengan tindakan serupa. Inilah pertarungan politik. Siapa yang kuat dan mendapat dukungan penuh atau mampu mempertahankannya, dialah yang akan menang. Jadi bukan soal konstitusional atau inkonstitusional.

Bila kita telusuri, banyak sekali peristiwa politik di negri ini yang memiliki keabsahan politik tetapi inkonstitusional. Diantaranya: (1) peralihan dari Presiden Suharto ke BJ Habibie. Tidak melalui mekanisme pemilihan di MPR, sebagaimana pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Inipun inkonstitusional; (2) BJ Habibie diturunkan lewat Sidang Istimewa MPR sebelum habis masa waktunya (pasal 8), juga inkonstitusional; (3) penunjukan Hatta lewat PPKI sebagai wakil Presiden dan Sukarno- Hatta yang mengatasnamakan bangsa Indonesia saat proklamasi, ini juga inkonstitusional; (4) pengangkatan Suharto sebagai Presiden dengan selembar Super Semar, juga inkonstitusional. Meskipun secara de facto sah, namun tidak de jure dalam pengertian konstitusional; (5) Demikian pula pemberhentian Sukarno lewat Sidang Istimewa MPRS yang menolak laporan “Nawaksara”, tanpa melalui tahap-tahap peringatan seperti memorandum terlebih dahulu. Dan (6) baik Dekrit Presiden Sukarno, dan Dekrit Presiden Gus Dur, juga inkonstitusional.

Dalam peristiwa politik kenegaraan, ketika terjadi krisis konstitusional, maka keabsahan politik yang menjadi pegangan utama. Bisa kita bandingkan: Dekrit Presiden adalah tindak inkonstitusional. Tetapi mengapa Dekrit Presiden Sukarno 1959 lebih diterima sebagai satu keabsahan sedangkan Dekrit Presiden Gus Dur 2001 ditolak. Lagi-lagi keabsahan politik yang menjadi penentunya. Sukarno berani mengeluarkan Dekrit setelah melakukan kalkulasi politik sebelumnya. Dimana TNI (dalam hal ini AH Nasution) mendukungnya, setelah ada pengumuman negara dalam status SOB. Kendali negara dalam keadaan darurat dipegang oleh TNI saat itu. Ditambah dukungan dari DPR dan badan Konstituante yang menyetujui (52% anggota parlemen) atas rencana Dekrit Presiden tersebut.

Dengan mengunakan dalil hukum negara dalam keadaan darurat (staatsnoodrechts), Presiden bisa mengeluarkan dekrit di luar konstitusi. Oleh Yusril Ihza Mahendra disebut “revolusi hukum”, saat konstitusi tidak dapat menjangkaunya. Presiden memegang kendali kekuasaan dan bisa berbuat apa saja. Hak darurat negara merupakan hak penguasa untuk menyimpang dari aturan hukum, jika negara dan rakyat dalam keadaan darurat. Dengan syarat, prakondisi kekuatan politik lain ikut mendukungnya. Jika tidak, maka nasibnya seperti Dekrit yang dikeluarkan oleh Gus Dur.

Terakhir, pendapat saya di atas hanya ingin menegaskan bahwa peristiwa politik kenegaraan tidak serta merta bisa dianggap konstitusional, karena latah. Beberapa fakta yang saya tunjukan di atas beserta argumen hukumnya, menyatakan bahwa pemakzulan atas Presiden Abdurachman Wahid adalah tindakan inkonstitusional. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun