Mohon tunggu...
Ibnu Budiman
Ibnu Budiman Mohon Tunggu... -

Researcher | Writer\r\n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The Raid : 'Kesuksesan' Film ‘Indonesia’ (?)

9 Oktober 2012   06:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:03 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

The Raid, beberapa waktu yang lalu bioskop seluruh tanah air dipenuhi huru hara massa yang menyerbu film ini. Film lanjutan dari film ‘Merantau’ ini kembali ‘sukses’, bahkan melebih film pertamanya. Film yang bergenre laga ini telah mendulang beragam penghargaan bergengsi di kancah perfilman Internasional. Dalam "The Cadillac People's Choice Award" untuk kategori Midnight Madness dalam ajang Toronto Internasional Film Festival 2011 (TIIF) yang ke-36. Kemudian di Festival Film Sundance 2012 film ini menjadi salah satu dari sebelas film seluruh dunia yang terpilih sebagai kategori "Spotlight" karya yang paling disukai panitia Sundance. Hal ini dinilai oleh banyak kalangan di tanah air sebagai ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia’.

Usai menonton film ini, jika kita mencoba menelaah sedikit lebih berbeda dan berani maka akan muncul beberapa pertanyaan. Apakah benar ini dikatakan sebagai sebuah kesuksesan film Indonesia?. Jika ia, maka kesuksesan seperti apakah yang dimaksud?. Lalu apakah benar ini adalah sebuah film ‘Indonesia’?.

The Raid, Film hasil besutan sutradara asing Gareth Huw Evans ini memang telah meraih berbagai penghargaan internasional. Kata kuncinya disini adalah ‘penghargaan internasional’. Sebuah penghargaan yang tentu penilaiannya telah melewati beberapa tahapan yang cukup ‘ketat’. Yang menjadi perhatian disini adalah para juri yang mengawal tahapan tersebut dan indikator penilaian yang digunakan.

Kiblat industri perfilman di dunia tidak bisa dielakkan bahwa dunia barat adalah empunya karena faktor sejarah. Juri yang terlibat dalam penghargaan-penghargaan internasional seperti di atas, sebagian besar bahkan mungkin semuanya adalah yang berasal dari negeri empunya tersebut. Sekalipun ada beberapa yang mungkin berasal dari Asia, tapi tetap saja penilaian kembali bergantung kepada indikator penilaian yang telah ‘dipaksa’ untuk disepakati. Indikator penilaian kualitas suatu film disini ya kembali berkiblat pada hal-hal yang sudah dianggap baik menurut dunia barat.

Singkat kata, jika suatu film berhasil meraih penghargaan internasional berarti film tersebut telah berhasil memenuhi indikator penilaian kualitas film yang ‘baik’ sesuai standar para ‘juri’-nya. Hal inilah yang telah diraih oleh film The Raid.

Film The Raid telah berhasil memenuhi semua indikator ‘baik’ menurut dunia internasional (baca : barat). Dimulai dari ide cerita, film ini pertama jelas dibesut oleh sutradara asing Gareth Huw Evans yang memaksa mempelajari Indonesia secara prematur dalam penggarapan filmnya. Ide dan alur cerita film ini pasti kita rasa sangat akrab dengan banyak film asing, sebut saja salah satunya film prancis ‘Banliue 13’. Setting, pengambilan gambar, adegan, trik, dan banyak hal lainnya sangat sukses menjiplak predikat ‘baik’ menurutdunia internasional (barat).

Selanjutnya, penggarapan skoring musik film The Raid ini dirilis di wilayah Amerika Utara, Amerika Latin dan Spanyol. Hal ini melibatkan musisi papan atas Mike Shinoda, salah satu personil Linkin Park dan Joseph Trapanese seorang komposer berbakat yang menggarap film Walt Disney Tron:Legacy (2010). Ya, film ini sangat ‘barat’.

Sebagian besar orang Indonesia yang telah menonton film ini biasa berkata “filmnya keren banget”. Label film ‘keren’ itu memang telah terpatri dalam mindset sebagian besar orang Indonesia bahwa adalah film yang mirip film ‘barat’. Karena memang selama ini industri film kita telah ikut terjajah juga bersamaan dengan serbuan ‘ulah barat’ lainnya.

Pembelaanya, apakah memang sama sekali tidak ada ciri Indonesia di film ini?. Ya masih ada, sedikit diselipkan melalui beberapa adegan kebodohan. Beberapa humor disisipkan di film ini ditengah aksi-aksi laga yang berlangsung. Humor tersebut berangkat dari perilaku-perilaku bodoh beberapa pemeran dalam film ini. Seperti respon spontan yang konyol, kalimat dialog yang lugu, dan pemilihan sikap untuk lebih menyukai bertarung dengan tangan kosong dibanding senjata serta mengabaikan efisiensi tempo konflik dalam cerita tersebut. Itulah wajah Indonesia yang ditampilkan dalam film ini.

Belum ada nilai-nilai ke-Indonesiaan yang membanggakan yang ditampilkan dalam film tersebut. Kesuksesan film ini adalah karena sukses menjiplak ‘gaya barat’. Maka dari itu film ini belum bisa dinyatakan sebagai sebuah ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia. Karena seharusnya disini ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia’ adalah ketika film tersebut telah berhasil membawa ‘wajah Indonesia’ yang sesungguhnya menjadi diakui oleh dunia.

Film The Raid bukan berarti gagal. Film Indonesia masih terus belajar mencari gaya dan identitasnya sendiri. The raid adalah salah satu langkah dan proses menuju hal tersebut. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari film ini, terutama bagi kru-kru filmnya yang banyak bekerja sama dengan asing dan tentu juga bagi seluruh insan kreatif perfilman Indonesia.

Semoga film ini menjadi tonggak belajar untuk terus berkarya menciptakan film-film yang utuh ‘Indonesia’ dan sanggup mendefinisikan arti dari ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia’.

Tulisan ini bukan tulisan konservatif yang takut akan dunia barat. Kita harus akui bahwa memang kita bisa belajar banyak hal dari mereka. Tapi bukan berarti semua dijiplak demi meraih prestasi yang sesungguhnya besar kemungkinan hal ini adalah konspirasi penjajahan era baru. Ketika satu film Indonesia sukses meraih penghargaan internasional, maka film-film lain pun akan berpatokan kepada film ini. Secara latah, film-film lain mengikuti jejak film ini. Alhasil semua film semakin akan mengikuti standar ‘barat’. Maka punahlah nilai-nilai ke-Indonesiaan.

Jangan sampai hal tersebut terjadi. Indonesia masih memiliki identitas dan standar ‘baik’ sendiri. Film ‘Indonesia’ harus mampu membuktikan hal ini.

Akuilah dengan yang putih bersih, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka memenuhi kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat--Tan Malaka, Aksi Massa 1926.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun