Mohon tunggu...
Budi Budiman
Budi Budiman Mohon Tunggu... Insinyur - Forest Officer

Abdi Negara Kementerian LHK

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Membersamai Kelompok Tani: Kenapa Mesti SL?

24 Januari 2022   08:24 Diperbarui: 24 Januari 2022   09:38 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi: Sekolah Lapangan Pengendalian Karhutla Jambi

Saya sudah pernah menulis panjang lebar tentang Sekolah Lapangan (SL).  Nanti deh lain kesempatan saya unggah disini tulisannya. Waktu itu harapannya ingin memperjelas kalau Sekolah Lapangan itu tidak hanya pelatihan sehari terus dilabeli SL. Juga mempertegas jika SL adalah metode penyuluhan yang berlangsung dalam periode tertentu yang lebih mengutamakan partisipasi aktif peserta dalam perencanaan dan pelaksanaanya.

Sampai saat ini saya berkeyakinan bahwa Sekolah Lapangan merupakan metode penyuluhan yang sangat efektif dibandingkan dengan metode penyuluhan lainnya. Kenapa saya berani menyimpulkan begitu? Metode SL ini pernah diimplementasikan tahun 2017 silam dengan didanai oleh pemerintah Erling Haaland. Topiknya saat itu adalah Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di 3 provinsi yang rawan kebakaran. Yakni Provinsi Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Hasil SL di 3 lokasi tersebut sangat menggembirakan. Terdapat peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap para anggota KTH peserta SL. Yang tadinya mereka tidak tahu bagaimana pencegahan Karhutla, sekarang merekalah yang menjadi ujung tombak dalam menyadartahukan masyarakat tentang bahaya Karhutla.

Setelah mengikuti SL, anggota KTH jadi memiliki rasa percaya diri yang tinggi sehingga berani mengemukakan pendapat di muka publik. Yang tadinya pemalu, menjadi pemberani. Yang tadinya gak ngerti menjadi paham. Yang tadinya tidak bisa mendeteksi dini kebakaran menjadi terampil menerka tanda-tanda Karhutla.

Baiklah, beberapa bagian dari tulisan di tautan tersebut akan saya tampilkan disini. Sejarah sekolah lapangan sendiri bermula dengan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SL PHT) yakni era program nasional PHT dan FAO IPM programme in Indonesia. Kurun waktu tahun 1989-2002.

Dirasa berhasil, sekolah lapang kemudian dikembangkan pada berbagai konteks program. Seperti pengelolaan lahan, HIV/AIDS, pemberdayaan masyarakat miskin, sekolah berbasis ekologi, pendidikan non formal, penelitian sosial dan sains, kesehatan masyarakat, peternakan, pemuliaan tanaman secara partisipatif dan bahkan untuk pengembangan gender.

Menilik pengertiannya, sekolah lapangan merupakan salah satu metode penyuluhan yang menekankan proses pembelajaran secara partisipatif. Karena partisipatif, maka SL harus melibatkan peserta secara aktif. Peserta SL mencari dan menemukan fakta sendiri tentang masalah atau topik yang dihadapi untuk kemudian dianalisis didiskusikan sesama peserta untuk mengambil keputusan bersama.

Sekolah lapangan bisa disebut sekolah tanpa dinding, karena bisa dilakukan dimana saja. Di alam terbuka juga OK, di rumah masyarakat juga bisa. Bahkan langsung di titik lokasi masyarakat memiliki masalahpun nggak jadi soal. Yang jelas tidak kaku, jauh berbeda pendidikan formal di dalam kelas.

Materi-materi yang disampaikanpun merupakan hasil identifikasi kebutuhan kelompok. Untuk menggalinya biasanya menggunakan metode ballot box. Peserta SL disuguhi beberapa pertanyaan terkait topik. Jawaban pertanyaan yang paling banyak salahnya, itulah yang materi yang akan diberikan pada kelompok.

Jika pada sekolah formal guru menjadi tokoh sentral dan mendominasi, tidak demikian dengan sekolah lapangan. Peserta SL lah yang jadi pemeran utamanya. Adapun fasilitator dan kader SL hanya menjadi pemandu agar SL berjalan sesuai koridor. Memastikan kumpul-kumpul menjadi bermanfaat. Karena tau sendiri kebiasaan orang Indonesia jika sudah ngumpul. Kalau nggak ghibah, ya debat kusir. Ngobrol ngalor ngidul minim faedah.

Siapa yang jadi fasilitator dan kader SL? Fasilitator SL adalah orang yang punya pengetahuan untuk memandu jalannya SL. Biasanya sih disesuaikan dengan topik. Jika topiknya terkait kehutanan yang paling pas ya Penyuluh Kehutanan.

Berbeda sedikit dengan fasilitator SL, kader SL berasal dari anggota masyarakat itu sendiri namun memiliki keunggulan dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Guna kader SL ini adalah untuk memandu ketika kelompok kecil melakukan praktek pendalaman materi secara mandiri (PMM).

SL dilakukan beberapa kali pertemun besar yang disertai dengan beberapa pendalaman materi mandiri. Pada pertemuan besar, seluruh peserta SL hadir untuk mendengarkan materi disertai praktek.

Selanjutnya peserta tersebut dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Pada kelompok kecil inilah dilakukan praktek mandiri. Mempraktekan apa yang diperoleh di pertemuan besar. Hasil praktek kemudian dipresentasikan pada pertemuan selanjutnya, dan dibandingkan dengan hasil praktek kelompok kecil lainnya. Begitu seterusnya sampai beberapa pertemuan yang direncanakan.

Dokumentasi pribadi: Praktek pembuatan cuka kayu (wood vinegar)
Dokumentasi pribadi: Praktek pembuatan cuka kayu (wood vinegar)
Praktek biasanya dilakukan dalam suatu tempat yang biasa disebut plot demonstrasi (Demplot). Disitulah peserta SL mencari dan menemukan fakta serta menganalisisnya secara mandiri. Kesimpulan dari analisis itu yang dibawa dalam diskusi pada pertemuan besar.

Karena peserta SL mayoritas berusia dewasa maka pendekatannya pun berbeda. Yang dipakai adalah ilmu pendidikan orang dewasa (POD) yang lebih menekankan andragogi bukan pedagogi. Lebih fokus belajar dari si pembelajar bukan fokus pada kegiatan mengajar dari guru. Tak heran jika John Holt pernah berujar "The biggest enemy to learning is the talking teacher". Bahwa musuh terbesar dalam proses belajar adalah guru/fasilitator yang banyak omong.

Dokumentasi pribadi: Dinamika kelompok dalam Sekolah Lapangan
Dokumentasi pribadi: Dinamika kelompok dalam Sekolah Lapangan
Oleh karenanya pembukaan kegiatan SL dilakukan dengan membangun dinamika kelompok dengan permainan, pantun, jokes (candaan), nyanyian penyemangat, yel-yel, dan lain-lain. Peserta SL pun diberi kesempatan untuk melaksanakan kunjungan lapangan (field trip) untuk studi banding atau magang terkait topik SL. Pada tahap akhir SL pun bisa dilakukan temu lapangan (field day) untuk memamerkan hasil sekolah lapangan kepada khalayak. Jadi jelas ya kenapa saya kukuh pendirian bahwa Sekolah Lapangan adalah metode penyuluhan yang sangat cocok diterapkan. 

Seperti apakah penerapan metode Sekolah Lapangan pada pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam di KTH Sukamekar? saya akan sambung di tulisan berikutnya ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun