Tidak seperti pejabat fungsional lain, Penyuluh Kehutanan menerima insentif tambahan lain untuk mendukung tugasnya. Jika pejabat fungsional lain hanya mendapat gaji dan tunjangan, Penyuluh Kehutanan menerima BOP.
Biaya Operasional Penyuluh yang biasanya disingkat menjadi BOP sejatinya adalah biaya perjalanan tetap dan perlengkapan penunjang yang disediakan kepada penyuluh kehutanan untuk melaksanakan kegiatan kunjungan, pendampingan, dan bimbingan kepada pelaku utama dan pelaku usaha.
Tujuan pemberian BOP sangat mulia yakni mengoptimalkan pelaksanaan penyuluhan kehutanan, serta meningkatkan kinerja penyuluh kehutanan dalam mendukung pembangunan kehutanan.
Sejak tahun 2013, besarnya BOP per bulan yang diberikan kepada Penyuluh Kehutanan bervariasi dibedakan sesuai pembagian wilayah. Wilayah Barat (Sumatera, Jawa) ditetapkan sebesar Rp. 320.000/bulan, Wilayah Tengah (Provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara) sebesar Rp. 400.000/bulan.
Dan untuk Wilayah Timur (Provinsi: Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Papua) sebesar Rp. 480.000/bulan.
Apakah besaran BOP tersebut masih sepadan dengan keadaan sekarang?, Apakah perlu kenaikan atau cukup seperti sekarang?, atau bahkan dihilangkan saja karena sudah tercukupi dengan tunjangan-tunjangan lain yang diterima oleh Penyuluh kehutanan. Sangat menarik untuk disimak.
Pergeseran Paradigma
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Penyuluh kehutanan mempunyai peran strategis dalam pemberdayaan masyarakat.
Seorang Penyuluh Kehutanan tidak hanya berperan dalam memprakondisikan masyarakat agar tahu, mau dan mampu berperan-serta dalam pembangunan kehutanan, namun Penyuluh Kehutanan juga mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat yang berbasis pembangunan kehutanan dan kegiatannya telah memberikan dampak positif baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial.
Jika kita ringkas peran Penyuluh Kehutanan dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan kehutanan di wilayah kerjanya sebagai berikut:
- Membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi petani dalam mengelola usaha;
- Memfasilitasi proses pembelajaran petani/Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam menerapkan tata kelola usaha yang baik dan berkelanjutan;
- Membantu petani/Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam menumbuh-kembangkan kelembagaannya agar dapat berdaya saing dan produktif;
- Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial dan kewirausahaan petani/Kelompok Tani Hutan (KTH);
- Mengupayakan akses petani ke sumber informasi, teknologi dan sumber daya lainnya dalam pengembangan usaha, dan pendampingan serta pengawalan petani dalam meningkatkan produksi dan produktivitas;
- Penyuluh Kehutanan sebagai pengaman aset negara berupa hutan yaitu mengajak masyarakat agar tahu, mau dan mampu ikut memelihara, mempertahankan serta melindungi sumber daya hutan dari berbagai gangguan keamanan hutan (kebakaran, penebangan liar dan perambahan hutan).
Yakni pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat, agar masyarakat dapat berperan aktif dalam pengelolaan hutan.Â
Hingga harapan akhirnya, bila masyarakat sudah memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan, serta masyarakat sudah mandiri secara ekonomi. Maka dengan sendirinya masyarakat akan ikut serta dalam mendukung pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan.
Mensukseskan Program PrioritasÂ
Selain tugas yang melekat pada kegiatan sehari-hari, Penyuluh Kehutanan juga dibebani kewajiban untuk mensukseskan program prioritas nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Setidaknya ada empat Peraturan Menteri LHK yang secara gamblang menjelaskan tugas Penyuluh Kehutanan dalam pendampingan kegiatan.
Yang pertama adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.13/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Pendampingan Kegiatan Pembangunan di Bidang Kehutanan.Â
Bahwa Penyuluh kehutanan ditugaskan dalam pendampingan kegiaan bidang kehutanan. Bidang yang harus didampingi tersebut meliputi meliputi konservasi sumber daya alam hayati, perlindungan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, perhutanan sosial dan kegiatan pembangunan kehutanan lainnya.
Yang kedua dan ketiga, merupakan dua Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang terkait dengan program perhutanan sosial, yakni peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.83/Menlhk/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.39/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/06/2017 Tentang Perhutanan Sosial dalam Wilayah Kerja Perum Perhutani.
Dalam dua peraturan tersebut menyebutkan bahwa Penyuluh Kehutanan wajib mendampingi kelompok tani dalam Permohonan Ijin Perhutanan Sosial dan Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). Dengan adanya peraturan tersebut, tugas yang diemban oleh Penyuluh Kehutanan adalah membantu pemerintah dalam memfasilitasi pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Pemangku Adat.Â
Fasilitasi yang dimaksud meliputi fasilitasi pada tahap usulan permohonan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha, pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan hutan desa, rencana kerja usaha dan rencana kerja tahunan, bentuk-bentuk kegiatan kemitraan kehutanan, pembiayaan, pasca panen, pengembangan usaha dan akses pasar.
Data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian LHK menunjukkan, sampai dengan 31 Desember 2019 capaian distribusi akses hutan sosial sudah mencapai 4,048 juta ha; terdiri kurang lebih 6.411 kelompok tani dengan kurang lebih 818.457 KK Â yang diperkirakan 3,2-4 juta orang terlibat dalam perhutanan sosial.Â
Selain itu telah terbentuk 5.873 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Jika dirinci bidang usaha KUPS tersebut terdiri dari Agroforestry 28,8%, Buah-buahan 12,9%, Wisata Alam 10,5%, Kayu-kayuan 9,3%, Kopi 7,3%, Tanaman Pangan 6,8%, Madu 3,5%, Aren 3%, kayu putih 0,6% dan jumlah HHBK lainnya 17,3%. Data-data tersebut seolah melambai-lambai menanti Penyuluh Kehutanan untuk turun tangan mendampingi kelompok tersebut.
Yang keempat adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.105/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/ 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan kegiatan pendukung pemberian Insentif serta Pembinaan dan pengendalian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Peraturan tersebut memberikan tugas tambahan kepada Penyuluh Kehutanan yang telah direkrut oleh Balai PDASHL untuk melakukan pendampingan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Ketersediaan Sumberdaya
Besarnya tantangan pendampingan yang harus dilakukan Penyuluh Kehutanan mengharuskan adanya dukungan oleh sumberdaya yang memadai, baik jumlah personel, kompetensi dan peralatan pendukung lainnya. Namun kenyataan berkata lain.
Data BP2SDM Kementerian LHK menunjukkan, sampai dengan 31 Desember 2019 jumlah Penyuluh Kehutanan 2.712 orang dengan rincian 13 orang Penyuluh Kehutanan berada di Pusat Penyuluhan, 333 orang Penyuluh Kehutanan di UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan 2.366 orang di daerah (Dinas Kehutanan/Lingkungan Hidup dan Kehutanan).Â
Jumlah tersebut semakin lama semakin menyusut karena jumlah yang purna tugas tidak sebanding dengan jumlah pengangkatan baru. Kondisi tersebut cakupan wilayah kerja Penyuluh Kehutanan (WKPK) semakin luas dan tugas-tugas pendampingan semakin bertambah.
Kondisi tersebut diperparah dengan ketidakseimbangan kompetensi Penyuluh Kehutanan yang masih belum seragam. Sedangkan tuntutan peran dan beban tugas yang terus meningkat menuntut Penyuluh Kehutanan untuk memiliki kompetensi manajerial, teknis dan sosio kultural yang memadai.
Kondisi wilayah kerja yang beragam kadang-kadang menuntut Penyuluh Kehutanan harus menggunakan dua jenis transportasi baik darat maupun air. Memang beberapa Penyuluh Kehutanan sudah dibekali dengan motor dinas untuk mendukung operasional, namun kadang-kadang untuk mencapai wilayah kerja harus menyambung perjalanan dengan perahu atau speed boat.
Rata-rata biaya yang dikeluarkan sekali perjalanan Rp. 100.000. Frekuensi kunjungan ke KTH 16 kali dalam sebulan. Secara total Wakhyono harus mengeluarkan Rp. 1.600.000/bulan untuk biaya kunjungan ke lokasi binaan. Jauh lebih besar dibandingkan BOP yang dia terima yang hanya Rp. 320.000/bulan. Itu baru contoh untuk wilayah barat Indonesia.
Biaya tersebut akan lebih tinggi lagi jika kita mengambil contoh di wilayah timur Indonesia. Yacobus Tnesi, SP, Penyuluh Kehutanan Muda di UPT KPH Wilayah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Cakupan wilayah kerja meliputi 3 Kecamatan (19 Desa) dengan 12 KTH binaan. Jarak dari rumah ke KTH binaan terdekat 80 km, dan terjauh 190 km.Â
Biaya yang harus dikeluarkan dalam satu kali perjalanan mencapai Rp. 200.000 -- Rp. 300.000. Dengan frekuensi kunjungan 12 kali ke KTH binaan terdekat dan 4 kali ke KTH terjauh maka dalam sebulan maka Yacobus setidaknya harus merogoh kocek sebesar Rp. 3.600.000 dalam sebulan. Â Tentu tidak sepadan dengan BOP wilayah timur yang dia terima yang hanya sebesar Rp. 480.000 per bulan.
Dengan melihat kondisi kekinian, tantangan yang dihadapi dan sumberdaya yang dimiliki, khalayak luas bisa menilai urgensi kenaikan BOP. Terlepas dari BOP naik atau tidak. Hutan tetap harus dilestarikan. Masyarakat sekitar hutan sudah menanti untuk disejahterakan. Tugas mulia pemberdayaan masyarakat harus tetap ditunaikan. Karena kita Penyuluh Kehutanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H