Waktu masih SD, saya punya kenalan seorang preman pasar, namanya Bimo. Sehari-hari dia nongkrong di pasar Bendungan Hilir, deket rumah saya. Kalau mau merokok dia tinggal pergi ke warung. Tanpa perlu mengucap sepatah kata si penjual rokok sudah tergopoh-gopoh langsung memberikan sebungkus rokok padanya. Begitu juga kalau dia mau minum atau makan. Semuanya diberikan tanpa diminta. Dia memang sangat ditakuti di kawasan itu. Badannya tinggi besar, tegap, berkulit hitam dengan hiasan tato naga di sekujur tubuhnya.
Dia dulu satu sekolah sama kakak saya makanya ke saya dia selalu baik dan tidak pernah mengganggu. Saya kadang merasa beruntung dengan pertemanan ini tapi di sisi lain saya sebel juga kalau dia sedang memalak pedagang tua yang tidak berdaya. Karena kasihan sering saya diam-diam mengganti uang pedagang seharga benda yang disumbangkannya ke Bimo.
"Bud, temenin Abang ke toko kaset yang di pojok, yuk?" Suatu hari Bimo mengajak saya ke toko musik.
"Yuk, Bang!" sahut saya sambil bergumam dalam hati, 'Wah mau malak kaset dia sekarang'.
Bimo berjalan di depan sementara saya ngekor di belakangnya. Melihat sosok tubuhnya yang tegap berhiaskan bekas banyak luka, melihat sikapnya yang garang dan kehidupannya yang keras, saya menduga pastilah Bimo ini sukanya sama lagu-lagu heavy metal, rock, Iwan Fals atau dangdut.
Dengan langkah mantap dan memancarkan aura binatang buas dia sampai di depan toko kaset. saya masih mengintil di belakangnya.
"Ada kaset Bukit Berbunga 2 Koh? Albumnya Uci Bing Slamet yang baru," tanyanya pada engkoh pemilik toko.
Saya melongo tidak menyangka dia akan membeli kaset itu. Uci Bing Slamet adalah penyanyi dengan suara lirih mendesah-desah dengan irama melodramatis. Masa sih preman doyan lagu itu? Penasaran yang membukit membuat saya kontan bertanya;"Buat siapa Bang kasetnya?"
"Buat Abang.' jawabnya tanpa rasa bersalah.
"Buat Abang? Bukit berbunga? Abang suka lagu itu?" Saya tergagap dengan tololnya.
"Iya. Kenapa? Bukit berbunga 1 aja enak pasti yang kedua lebih enak," katanya lagi.