Saya pernah memposting foto yang bertuliskan kalimat di atas. Di bawahnya tertulis nama orang yang membuat kutipan tersebut; "Gloria Steinem, Penulis Feminist". Teks aslinya berbunyi "A woman needs a man like a fish needs a bicycle". (Buat yang enggak tau penulis ini, silakan googling saja, ya). Postingan tersebut mendapat 616 likes, 312 komen dan lebih dari 1600 shares. Linknya bisa dilihat di sini.
Yang bikin saya merasa aneh, ternyata banyak sekali orang yang enggak ngerti kalimat tersebut. Di ruang komen mereka bertanya, "Apa sih maksudnya kalimat ini? Ikan dan sepeda, kan enggak ada hubungannya?" Tentu saja ada juga yang ngerti tapi yang mempertanyakan kalimat itu jauh lebih banyak. Kira-kira kenapa, ya?
Saya yakin orang-orang yang enggak ngerti itu bukannya bodoh. Tapi mereka tidak terlatih untuk menggunakan otaknya. Kalo mereka mau menganalisis kalimat tersebut kata per kata lalu membaca nama penulis tersebut, mudah sekali mencari maknanya.
Tanpa bermaksud menjelekkan pihak tertentu, saya merasa memang ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Metode pengajarannya kurang memancing murid untuk berpikir. Akibatnya mereka tidak terbiasa untuk menganalisis sesuatu.Â
Di sekolah, kita cenderung disuruh menghapal pelajaran dan menelannya mentah-mentah. Kemudian pas ujian kita diberikan pertanyaan dengan jawaban yang kita hapalkan dari buku.
Untungnya, ada cukup banyak teman-teman saya yang kritis. Mereka sangat pintar dan suka menganalisis dan mencoba mendebat guru yang sedang mengajar. Misalnya pelajaran sejarah, di sekolah menengah. Ada sebagian teman saya yang mempertanyakan sesuatu yang menurut mereka tidak logis. Berikut saya tuliskan beberapa pertanyaan mereka.
"Pak, saya kok belum menemukan alasan kenapa Ibu Kartini bisa menjadi pahlawan. Yang dilakukannya buat saya cuma curhat dengan berkirim surat pada temannya di Belanda. Apakah ada lagi perbuatannya yang lain sehingga dia pantas menyandang gelar pahlawan?" tanya anak itu polos.
"Bu, kalo Pangeran Diponegoro berperang karena tanah miliknya mau diambil oleh Belanda berarti dia cuma membela hak kepemilikannya, dong? Dia berperang bukan untuk negeri ini. Kok bisa jadi pahlawan, sih?" tanya yang lain lagi.
"Pak, Jenderal Soedirman kepahlawanannya di mana, ya? Kalo saya baca bukunya, keliatannya dia cuma seorang pemimpin yang sakit TBC, ditandu ke mana-mana oleh anak buahnya karena dikejar-kejar tentara Belanda. Enggak ada satu pun tertulis dia pernah menembak tentara Belanda sampai mati," tanya yang lain lagi
Ada lagi yang bertanya, "Bu, saya rasa Indonesia dijajah Belanda bukan 350 tahun. Hitungannya dimulai dari Cornelis de Houtman saat mendarat di Pelabuhan Banten, tahun 1596. Waktu itu dia kan baru mendarat, masak udah dihitung kita dijajah sih? Lagi pula Cornelis De Houtman itu kan datangnya tidak mewakili pemerintahan resmi Negara Belanda."
Dan tau enggak apa yang terjadi? Semua guru tanpa terkecuali marah besar mendengar pertanyaan itu. Bahkan yang menanyakan soal Jenderal Soedirman, pipinya digampar lalu kena skors seminggu enggak boleh masuk sekolah. Meraka dianggap kurang ajar karena mempertanyakan kepahlawanan seseorang yang sudah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah sebagai pahlawan nasional.
Melihat sikap guru-guru seperti itu, akhirnya murid-murid menyerah. Mereka kembali sibuk menghapal dan menelan mentah-mentah buku wajib yang diberikan pihak sekolah. Sayang banget, ya? Padahal sikap kritis itu kan bagus. Seharusnya guru-guru tersebut bersyukur mempunyai murid yang analitik.Â
Untuk mengantisipasi sikap kritis tersebut, seharusnya para guru bisa bikin diskusi lalu mencari literatur yang lebih lengkap untuk memuaskan rasa ingin tau para murid. Sayangnya hal itu tidak terjadi.
Saya pribadi pernah mendapat perlakuan sama. Ada seorang guru yang selalu mendiktekan materi pelajaran dan kami harus mencatatnya kata perkata. Karena mulai terganggu, minggu ketiga saya coba kasih usul, "Ibu, gimana kalo buku ibu saya fotokopi aja. Setelah itu, saya bagikan ke semua mahasiswa. Kita bacanya di rumah, jadi setiap mata pelajaran Ibu, kita tinggal diskusi."
Di luar dugaan, Sang Ibu mengambil penghapus dan melemparkannya ke arah saya. Untung enggak kena! Dengan suara sangat murka dia menjerit, "Keluar kamu!! Enggak usah ajari cara saya mengajar. Keluar! KELUAR!!!"
Dan saya pun keluar dari kelas dengan penuh kebingungan, "Kok dia marah, sih? Apa yang salah dengan usul saya?", tapi begitulah nasib generasi kami. Mahasiswa enggak punya bargaining power. Enggak ada pilihan lain, saya pun menerima keadaan. Mencatat semua pelajaran dan menelannya mentah-mentah.Â
Sikap kritis dan analitik, saat itu adalah barang mewah. Semoga generasi berikutnya sudah membaik. Insya Allah.
Kembali pada judul di atas. Mungkin itu sebabnya, kalimat itu tidak dimengerti banyak orang. Mereka tidak terbiasa menggunakan otaknya. Mereka cenderung membaca dan menelan mentah-mentah apa yang tertulis tanpa berusaha mencari makna yang tersembunyi di balik setiap kata.
Jadi apa artinya "Perempuan Tanpa laki-laki Ibarat Ikan Tanpa Sepeda". Ada yang tak tahu? Hehehehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H