Sehabis wisuda, saya berkumpul dengan teman-teman seangkatan di kantin kampus. Kami berbincang, apa yang akan kami lakukan selanjutnya, apakah mau meneruskan S2 atau mau langsung kerja. Kalo mau kerja, pertanyaannya mau kerja di mana? Dan sebagai apa? Ribet banget kan kehidupan generasi saya dulu?
Coba bayangin, sekumpulan orang bergelar sarjana tapi belom tau mau bekerja apa dan bekerja di mana. Parah, kan? Tapi memang begitulah keadaan generasi kami, generasi di mana internet belum muncul. Misalnya saya, sebagai lulusan Sastra Perancis, saya bingung mau kerja di mana?
Abang saya, Chappy Hakim yang waktu itu masih aktif di angkatan udara, rupanya cukup prihatin dengan situasi saya, dia nawarin apa mau ikut program wajib militer di Angkatan Udara. Kalo berminat, dia bisa bantuin saya untuk masuk ke sana.
"Setelah selesai pendidikan, ntar kerjanya ngapain, Chap?" tanya saya.
"Yah namanya juga lulusan Sastra, paling kerjanya di laboratorium bahasa ngajarin tentara-tentara yang mau belajar bahasa Perancis," jawabnya sambil ketawa-tawa.
Buset! Gak menarik banget ya tawarannya?
Saya sebenernya punya banyak bakat tapi rada sulit untuk dijadikan mata pencaharian hidup. Misalnya saya punya kemampuan bermain musik. Entah berapa kali saya datang ke stasiun TV Swasta untuk audisi supaya band saya bisa tampil di TV tersebut. Hasilnya? Gak pernah lulus, tuh.
Gak putus asa, saya juga banyak menciptakan lagu. Tau gak? Untuk bikin demo satu lagu aja biayanya mahal banget. Saya harus menyewa studio yang harga sewanya mencekik leher. Setelah itu, saya harus mempresentasikan demo lagu saya untuk direkam. Dengan menumpang bis kota, saya setiap hari pergi menyusuri panasnya Jakarta ke studio-studio rekaman yang letaknya jauh banget. Hasilnya? Aneh bin ajaib; semua gak ada kabarnya. Nyebelin banget! Buat saya lebih baik mendapat kabar buruk daripada gak ada kabar sama sekali.
Mungkin gak banyak yang tau, saya jago banget masak nasi goreng. Salah satu cita-cita saya waktu itu adalah mempunyai restoran nasi goreng atau kafe. Sayangnya saya gak punya modal untuk menyewa outlet dan peralatannya. Saya juga pengen punya perusahaan travel karena saya suka banget traveling tapi lagi-lagi masalah modal menghalangi.
"Lo bisa jadi wartawan, bisa jadi bankir dan bisa jadi apa aja, Bud," kata seorang teman.
"Kan sekolah gue bukan di bidang itu?"
"Perusahaan-perusahaan sering gak mempermasalahkan disiplin ilmu yang lo pelajari. Mereka beranggapan kalo lo lulusan S1, berarti penalaran lo udah bagus. Jadi bisa learning by doing," jawab temen saya lagi.
Dan memang itulah yang terjadi. Hampir semua temen saya bekerja di tempat yang gak sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari di perguruan tinggi. Hampir semuanya bekerja gak sesuai dengan passion mereka. Kebahagiaan apa yang didapat ketika kita menghabiskan umur untuk sesuatu yang kita gak sukai?
Tiba-tiba era digital pun datang. Gelombang perubahan melabrak semua jenis bisnis. Teknologi digital telah membuat semua serba mudah sehingga membuat berbagai jenis perusahaan raksasa terpaksa menggulung tikarnya.
Nah, buat temen-temen yang native digital, ini adalah berkah Tuhan yang bukan main besarnya. Kalian yang terlahir dan tumbuh bersama kehadiran teknologi digital, harus memanfaatkan kesempatan ini seluas-seluasnya.
Belajarlah dari pengalaman buruk saya. Jangan menunggu lulus sarjana lalu baru mikir mau kerja apa. Temukanlah passion kalian sejak dini lalu berbisnislah mulai sekarang. Juga buat teman-teman yang masih SMA bahkan yang masih SMP sekali pun, kalian sudah bisa belajar mencari duit.
Misalnya buat yang berbakat bikin lagu, kalian bisa membuatnya sendiri di komputer. Teknologi studio 24 track zaman saya dulu yang memerlukan ruangan sebesar 6m X 8m telah berpindah ke dalam satu laptop. Kalian gak perlu lagi bayar mahal-mahal buat nyewa studio. Kalo udah jadi lagunya, apakah mau bikin video clipnyanya? Silakan! Sekarang semua gampang banget, kalian tinggal install berbagai aplikasi, baik itu music maker sampai ke aplikasi editingnya. Bagaimana menayangkannya? Lupakan stasiun televisi atau radio. Untuk menayangkannya. Google telah menyediakan Youtube dan siap memfasilitasi lagu kalian. Gratis pula. Nikmat mana lagi yang kalian dustakan?
Buat yang suka masak? Ayo jalanin detik ini juga. Gak punya modal? Gampang! Gak usah sewa outlet, foto aja masakan itu lalu pamerin di Instagram. Instagram kita jadikan resto online kita. Captionnya bikin pake storytelling yang keren supaya menarik orang untuk membelinya. Masih kekurangan dana? Jangan takut! Bikin sistem pre-order, jadi kalian baru masakin menunya ketika konsumen sudah transfer uang ke rekening kalian. Pengirimannya? Tenang-tenang! Kita bisa kerja sama ama Gojek. Bebankan biaya pengiriman pada yang order. Beres, kan?
Rasanya, saat ini, gak ada yang gak bisa dilakukan dengan digital. Intinya adalah; temukan hobi dan passion kalian. Jadikan hobi itu penghasilan. Gak usah ngotot sama uangnya dulu tapi anggap saja sebagai pelajaran bagaimana cara mulai berbisnis. Kalo kita udah merasa mantep di bidang itu, pas lulus sarjana, barulah kita tekuni secara serius. Minimal kalian gak perlu memulai sesuatu dari nol. Kalian gak perlu kebingungan melakukan apa atau kerja di mana, seperti zaman saya dulu.
So, kids jaman now, syukurilah teknologi digital yang ada di depan kalian. Berbisnislah dari sekarang. Kalo kalian masih sibuk kuliah dan nunggu sampe sarjana baru mau berbisnis, itu artinya kalian kids zaman now bermental zaman old. Ingat! Rasulullah hanya mengajarkan dua hal pada umatnya, 1. Agama, 2. Berbisnis.
Kesimpulannya kita harus tetep berpegang pada agama. Berbisnis tanpa agama akan membuat kita jadi jahat. Selamat berbisnis kids zaman now! Doa saya beserta kalian. Aamiin 33X!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H