Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Pernah Meremehkan Kekuatan Rima

30 Desember 2017   21:24 Diperbarui: 31 Desember 2017   11:20 2791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
regional.kompas.com

Banyak temen saya ngomong, "Kalimat penutup acara Matanjawa itu selalu bagus, ya? Jago banget tuh copywriter-nya."

Kita tentu tahu di acara Mata Najwa, ending-nya selalu ada kata penutup yang dibacakan oleh Najwa Shihab yang isinya juga merupakan pesan yang berkaitan dengan tema yang dibahas sesuai episode saat itu.

"Apanya yang bagus? Pesennya? atau susunan kalimatnya?" tanya saya pengen tahu.

"Secara umum semuanya bagus, sih," jawab orang itu.

"Coba jelaskan lebih spesifik." kata saya membuat orang itu kebingungan.

Setelah saya desak terus sambil ngajak diskusi, akhirnya keluar juga jawaban yang lebih spesifik, "Kalimatnya berima jadinya enak didengar sehingga pesannya juga gampang masuk." katanya.

Begitu juga yang terjadi pada orang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Mereka semuanya bilang bagus dan ternyata memang rimanya yang membuat kalimat-kalimat itu menjadi menonjol.

Dan saya setuju bahwa kalimat-kalimat penutup Mata Najwa memang bagus dan rimanya memang mengambil peran besar pada estetika kalimat tersebut misalnya:

"Hukum yang dibiayai transaksi suap, membuat wajah peradilan begitu gelap." Sumber: Mafia Perkara

"Tiap orang bisa punya mimpi, tapi tak semua bisa bangkitkan semangat tinggi." Sumber: Penebar Inspirasi

"Di pundak pemimpin yang bebas korupsi, di situlah masa depan negeri." Sumber: Perisai Antikorupsi

"Kebenaran & kepastian mengapung, di antara uang & kuasa yang mengepung." Sumber: Mafia Perkara

"Berbuat untuk sebuah harapan, yang tidak lagi dikeluhkan tetapi diperjuangkan." Sumber: Diam Bukan Pilihan

"Timur adalah kita yang terjaga lebih dulu, timur adalah Indonesia yang tak sabar menunggu." Sumber: Melihat Ke Timur

"Apa arti ijazah yang bertumpuk, jika kepedulian dan kepekaan tidak ikut dipupuk?" Sumber: Dari Jogja Untuk Bangsa

Sebelum kita kaji lebih jauh, mungkin kita perlu membahas apa yang melatarbelakangi munculnya sebuah rima. Saya kira begini sejarahnya: Pertama kali manusia berinteraksi atau berkomunikasi pastilah mereka menggunakan mulut untuk berbicara. Apabila bahasanya berbeda, mereka akan menambah bantuan dengan bahasa tubuh. Apakah mereka menggunakan bahasa tulis? Belum! Bahasa tulis belum lahir waktu itu.

Bahasa lisan muncul jauh sebelum bahasa tulis. Karena orang berkomunikasi dengan mulut makanya disebut dengan bahasa lisan. Bahasa lisan sama umurnya dengan peradaban manusia. Zaman bahasa lisan dipenuhi oleh mitos, dongeng, mantra sakral dan doa-doa ritual perdukunan. Segala macam budaya tersebut terutama yang sakral tentu harus dilestarikan untuk diturunkan kepada anak cucu mereka. Masalahnya zaman itu belum ada yang namanya bahasa tulis. Lalu apa yang harus diperbuat?

Di waktu itulah yang namanya rima dibutuhkan. Rima sengaja diciptakan untuk memudahkan orang untuk menghapal segala mantra dan doa-doa tadi. Dengan adanya rima, maka semua cerita dan mitos jadi gampang diingat dan bisa diwariskan pada generasi berikutnya dengan utuh.

Jadi bisa disimpulkan bahwasanya, Rima itu sebenarnya tercipta untuk kepentingan bahasa lisan. Namun dalam perjalanannya, manusia menganggap rima itu bukan hanya gampang diingat, akan tetapi juga enak didengar dan enak diucapkan. Secara umum muncul asumsi bahwa kalimat yang berima itu jadinya lebih indah. Karena itulah, walaupun zaman bahasa tulis telah berlangsung berabad-abad, orang masih suka menggunakan rima, entah itu penulis prosa, penulis puisi, penulis naskah iklan, penulis status Facebook sampai penulis Kompasiana...Dan gak ada yang salah dengan hal itu.

Sekarang pertanyaannya adalah haruskah kita menggunakan rima dalam sebuah penulisan? Ya gak harus sih. Tapi buat saya, sebisa mungkin, sebuah kalimat lebih baik dicari rimanya.

Perlu dicatat, jangan pernah mempertanyakan apakah lebih penting pesan atau rima. Kedua hal tersebut bukan untuk dipertentangkan. Kedua faktor tersebut justru harus bahu membahu dan bekerja sama agar pesan tersebut jadi semakin menarik. Jadi perlu digarisbawahi; jangan pernah mengorbankan pesan demi sebuah rima. Sebuah rima seyogyanya membuat pesan kita semakin kuat. Selain lebih kuat tentunya kalimat tersebut pasti jauh lebih mudah diingat.

Waktu jaman SBY berkuasa, Harian Kompas pernah membahas hal yang sangat menarik. Di sana dibahas tentang kritik-kritik yang ditujukan pada performance Presiden SBY. Kompas menulis bahwa dari begitu banyaknya kritik yang ada, hanya kritikan Megawatilah yang paling menonjol. Mengapa demikian? Selidik punya selidik, kalimat kritikan Megawati selain kritiknya pedas, ternyata menggunakan rima. Rimanya dikemas begitu menarik sehingga banyak koran yang meletakkannya dalam headline.

Contoh kritikannya yang paling menarik adalah sebagai berikut:

1. Seorang Presiden seharusnya tebar kinerja, bukan tebar pesona.
2. Janganlah berjanji setinggi langit, kalau kemampuan hanya sekaki bukit.

Di sini terlihat bahwa dari zaman dulu sampai sekarang, tua-muda, rakyat jelata sampai presiden, semuanya suka pada rima. 

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan,  jangan pernah meremehkan kekuatan rima. Kenapa? Karena bukan cuma manusia kok yang seneng sama rima. Allah SWT juga demen banget sama rima. Kalo gak percaya, baca aja tuh Al Quran. Contohnya:

Qul hu wallaahu ahad
Allaa hush-shamad
Lam yalid walam yuulad
Walam yakullahu kufuwan ahad

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun