Belom lama ini, ada sebuah production house mengundang saya mengajar untuk team kreatifnya. Materi yang diminta ada dua, yaitu presentasi dan penggalian ide. Kedua materi ini cukup panjang dan akan memakan waktu idealnya 3 hari. Kalo diperes-peres, mungkin dua hari masih bisalah. Sayangnya perusahaan ini cuma ngasih waktu buat saya setengah hari, dari jam 1.30 sampai jam 6.
Waktu saya sampein problem tersebut, Pak Boss bilang bahwa mereka gak ada waktu lagi karena mereka sangat sibuk mengerjakan banyak shooting untuk campaign akhir tahun klien-kliennya. Ngeliat saya masih ragu-ragu, Pak Boss bilang bahwa dia akan membayar saya sebesar kalo saya mengajar 3 hari.
Waduh! Pe Er banget, nih. Kalo cuma ngejer duitnya mah, bisa aja saya terima tawaran itu dan masa bodo amat dengan hasilnya. Masalahnya saya suka sekali mengajar, oleh sebab itu saya gak mau memaksakan diri mengajar materi panjang dengan waktu pendek yang akibatnya cuma buang-buang waktu dan gak bermanfaat buat para peserta. Mending ditolak aja deh.
Namun Pak Boss terus merengek dan merayu saya untuk menerima pekerjaan itu. Akhirnya saya bilang aja, "Gini deh! Gue terima tawaran lo tapi sehabis workshop, lo harus bikin angket dan tanya ke semua peserta, ada manfaatnya gak apa yang gue ajarkan."
"Oh, okay. Terus maksudnya angket itu buat apa?" tanya Pak Boss.
"Kalo 90% peserta bilang bermanfaat, lo boleh bayar gue. Tapi kalo kurang dari 90%, lo gak boleh bayar gue. Anggap aja ini workshop gratis sebagai bonus akhir tahun buat lo."
"Wah gak bisa, dong. Gue kan gak enak jadinya...."
"Itu penawaran terakhir dari gue. Take it or leave it," kata saya dengan intonasi tak terbantahkan.
Setelah garuk-garuk kepala beberapa kali, Pak Boss ngomong, "OK, deh. Tapi kalo beneran gue gak bayar, lo harus terima ajakan lunch or dinner dari gue minimal 3 kali."
"Hahahahaha...OK2!" Dan kesepakatan pun terjadi.
Pas hari H, saya dateng ke kantor mereka dan ternyata ada 24 peserta yang ikutan workshop. Buset! Banyak banget? Untungnya saya sudah mempersiapkan strategi khusus untuk workshop ini.
Mengingat waktu yang terlalu sedikit, tanpa membuang waktu, saya langsung ngomong ke semua peserta, "Kalian semua pernah liat Stand Up comedy, kan?"
"Pernah," Terdengar suara koor kompak banget.
"OK, sekarang semuanya silakan menulis materi stand up comedy. Harus ngarang sendiri, loh! Gak boleh menulis materi atau joke yang udah ada," kata saya lagi.
Untungnya para perserta sangat kooperatif dan woles-woles aja. Dengan bersemangat dan tanpa bertanya, mereka langsung menulis materi yang saya minta.
Setelah selesai, satu-persatu saya suruh mereka membawakan materinya. Dan tau gak? Hampir semuanya ternyata berbakat dalam mencari ide sekaligus jadi pelawak. Luar biasa! Setengah harian itu, kelas kami pecah dan ketawa gak berenti-berenti. Suasana sangat hidup dan menyenangkan banget.
Setiap seorang peserta selesai membawakan materinya, saya ngasih masukan bagaimana membuat opening yang ice breaking, tentang artikulasi, gesture, eye contact, intonasi, kapan harus pelan dan kapan harus lambat, mimik, penguasaan ruang, blocking, closing dengan punchline dan lain-lain yang berhubungan dengan rules of presentation yang saya kuasai. Saya jelaskan mana yang sudah bagus dan mana yang harus diperbaiki.
Setelah semuanya selesai, barulah saya kasih komen soal materi yang mereka bawakan dan dilanjutkan dengan kesimpulan, "Guys, dengan memanfaatkan metode stand up comedy, sebenernya kita sudah belajar dua hal sekaligus, yaitu nyari ide dan presentasi."
"Oooooooohhh...." Suara peserta lebih kompak dari sebelumnya. Rupanya mereka baru menyadari apa yang sedang saya lakukan buat mereka.
"Kalo stand up comedy, objectivenya cuma 1, yaitu membuat orang ketawa. Dan itu udah kita lakukan barusan."
Peserta mendengarkan dengan takzim.
"Tapi orang kreatif seperti kita harus memahami bahwa ide yang kita harus gali adalah bagaimana menggugah emosi. Bikin orang ketawa cuma salah satu di antaranya."
Peserta mendengarkan semakin khusuk.
"Menggugah emosi itu gak cuma bikin ketawa tapi bisa juga bikin marah, bikin sedih, bikin gelisah, bikin terharu bahagia dan masih banyak lagi. Jadi tugas kita dalam mencari ide jauh lebih banyak daripada stand up comedian."
"Boleh tanya, Om Bud?" Tiba-tiba salah seorang peserta yang paling cantik nunjuk tangan.
"Ya, silakan," sahut saya.
"Setelah selesai workshop ini, kita masih boleh konsultasi gak sama Om Bud?"
"Boleh! Silakan hubungi saya di WA atau Telegram," jawab saya sambil menuliskan nomor HP di flipchart.
"Yeay!!!" Semua orang seneng sampe bertepuk tangan.
Sebelum mengakhiri workshop tersebut, saya kasih ke cewek yang paling cantik tadi flashdisk materi 3 hari saya dan minta cewek itu mendistrbusikanya ke semua peserta.
"Pelajari materi yang saya kasih. Di situ lengkap bagaimana mencari ide dan bagaimana melakukan presentasi yang baik."
Acara workshop pun berakhir dan ditutup dengan foto bareng peserta dan juga bersama Pak Boss yang khusus dipanggil untuk sesi itu. Selesai foto-foto, Pak Boss menyalami saya sambil berkata, "Kayaknya gue gak butuh bikin angket lagi, ya? Suasana di sini sudah menjelaskan semuanya."
Saya cuma tersenyum dan menyalami Pak Boss lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Follow my twitter @budiman_hakim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H