Selanjutnya berbagai gambar buah ditempelkan di papan tulis. Tugas tiap kelompok adalah membunyikan angklung setiap buah kita ditunjuk oleh penggaris Ibu Nana. Tiap kelompok mendapatkan angklung dengan ukuran yang berbeda-beda. Ada yang besar, sedang dan kecil.
Rupanya tiap-tiap buah mewakili masing-masing nada. Wah senangnya semua murid. Kami langsung bisa membawakan lagu-lagu yang terkenal di jaman itu, seperti "Irdam kawanku Irdam", "Ruri adalah Abangku" dan macam-macam lagi.
Saya juga sangat menikmati situasi itu akan tetapi saya tidak pernah membunyikan angklung saya. Tidak masalah kan? Toh dua teman kelompok saya sudah membunyikannya. Jadi lagu tetap berlangsung dengan utuh. Sayangnya Ibu Nana ternyata melihat kelakuan saya.
"Budi, kenapa angklung tidak kamu bunyikan?" Tiba-tiba Ibu Nana bertanya.
"Ga apa-apa Bu. Kan teman saya sudah membunyikannya." sahut saya.
"Iya, Ibu lihat itu. Tapi Ibu mau tau kenapa kamu tidak membunyikan angklung kamu?" Ibu Nana mendesak.
"Maap Bu. Kelompok saya kebagian buah duren. Padahal saya ga suka duren." Saya memang ga pernah suka duren. Jangankan makan, mencium baunya aja saya udah ga tahan. Bisa mabok kalo kelamaan deket-deket sama duren.
"Bunyikan saja angklungmu. Itu cuma gambar kertas kok. " kata Bu Nana tegas.
"Tapi Bu, saya bisa muntah mencium baunya saja. Saya ga suka duren, Bu."
Ibu Nana tersenyum manis sekali. Beliau berjongkok dan memeluk saya sambil berkata lirih, "Ibu tidak akan memindahkan kamu ke kelompok lain. Teima saja apa yang kamu dapatkan."
"Kenapa Bu?" tanya saya hampir menangis.