Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Sebar Foto Ketika Saya Sedang Sekarat

14 Agustus 2016   16:46 Diperbarui: 15 Agustus 2016   17:25 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dan anak menyanyi bersama lagu Bon Jovi.

Seseorang di FB mem-posting foto ibunya yang sedang dirawat di RS. Di bawah foto tersebut ada caption yang berbunyi, "Teman-teman, ibu saya sedang dalam keadaan sakit parah. Mohon doa untuk kesembuhan beliau ya?"

Ngeliat foto tersebut, saya langsung merasa miris. Di mulutnya ada dua selang, di lubang hidung ada selang sonde untuk aliran makanan. Dan leher ibu tersebut sudah dibuat lubang oleh dokter sebagai jalan masuk kabel untuk menghubungkan paru-parunya dengan ventilator.

Seharian pikiran saya terganggu dengan foto tersebut. Saat makan malam bersama keluarga, saya menceritakan peristiwa di atas pada semua anggota famili

“Wah...persis kayak nenek dulu ya?” kata anak saya Leon.

Keadaan ibu dari orang tersebut mengingatkan Leon ketika neneknya sakit dulu. Dan dalam keadaan penuh selang seperti itulah ibu saya menghembuskan napas yang terakhir.

“Bud, kalo gue sakit kayak gitu, lo jangan motret-motret gue kayak temen lo itu ya?” kata istri saya sambil melakukan knock on wood, yaitu dengan mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja bagian kayu.

“Iya. Lo juga jangan moto-moto gue pas gue sedang terbaring ga berdaya,” sahut saya.

“TOSS?” kata istri saya sambil mengangsurkan tangannya.

“TOSS!”sahut saya seraya menepukkan tangan ke tangannya. Dengan demikian sebuah kesepakatan penting telah terjadi.

“Emang kenapa sih kalo difoto pas lagi sakit? Kan maksudnya baik?” Tiba-tiba Leon anak saya bertanya.

“Kalo Leon mau punya kenangan bersama Ayah, biarkan kenangan yang menyenangkan aja yang diabadikan,” sahut saya.

“Maksudnya?”

“Jangan pernah menyimpan kenangan saat Ayah lagi tergolek ga berdaya. Kenangan seperti itu ga ada kebaikannya.” 

“Oh begitu ya?”

“Iya gitu. Kenanglah Ayah seperti sekarang ini, masih kuat dan ganteng. Kenanglah saat kita main game bareng, berenang bareng, kemping bareng, nyanyi bareng, ketawa bareng. Pokoknya pilih hal-hal yang menyenangkan aja.”

Saya dan anak menyanyi bersama lagu Bon Jovi.
Saya dan anak menyanyi bersama lagu Bon Jovi.
“Bunda juga alasannya sama?” tanya Leon lagi ke istri saya.

“Sama dong. Bunda maunya Leon punya kenangan yang indah sama Bunda. Kenangan indah itu pastinya pas Bunda lagi sehat, lagi cantik dan lagi melakukan kegiatan yang membahagiakan berdua; misalnya pas kita lagi fitness bareng, masak bareng, ngaji bareng...”

“Okay kalo begitu.”

“Bunda ini perempuan, Le. Ga ada perempuan di dunia ini yang mau keliatan jelek dan difoto. Sering anak-anak ga tau perasaan ibunya. Mereka main jeprat-jepret ngefoto ibunya yang sedang penuh selang lalu posting di media sosial,” jawab istri saya.

Anak saya terdiam.

“Ibunya ga mampu melarang karena tubuhnya sudah tidak berdaya, padahal bisa jadi dia akan menolak keras kalo masih mampu berbicara,” sahut Bunda lagi.

“Wah bener juga ya...” Anak saya mulai mikir.

“Bener banget! Dan bisa jadi hal itu juga yang mempercepat kematian Si Sakit,” samber saya.

“Kok bisa begitu?”

“Karena dia kesel difoto tapi ga bisa ngelarang karena ga berdaya,” kata saya lagi.

“Kalo ada yang membesuk terus mereka mau foto kita? Gimana?” tanya Leon lagi.

“Kalo Ayah atau Bunda sakit, jangan izinkan seorang pun ngambil foto. Ga usah takut mereka marah, lebih baik mereka marah daripada Leon bikin jengkel Ayah atau Bunda,” kata Vin lagi.

“Kalo mereka ngambil fotonya diem-diem? Kan susah mengantisipasinya kalo mereka moto pake HP?”

“Kalo begitu, jangan izinkan seorang pun membesuk Ayah atau Bunda kalo kami lagi sakit parah. Sederhana kan?”

Habis pembicaraan itu, saya mulai memahami kenapa orang Nasrani selalu mendandani keluarganya yang wafat. Apabila ada keluarga yang mati tabrakan, tentunya akan menjadi pemandangan yang menyeramkan melihat usus terburai, kepala pecah, sebelah kaki hilang entah ke mana. Mereka tidak akan membiarkan visual seperti itu yang akan nempel di ingatan. Melihat wajah keluarga yang wafat adalah saat terakhir sehingga haruslah ingatan yang baik untuk ditempelkan di kepala.

Umat Nasrani akan menyewa seorang perias mayat untuk mereparasi jenazah sampai bentuknya sempurna kembali. Bahkan mereka akan memakaikan jas, sepatu dan menyisir rambut sehingga Sang Jenazah terlihat perlente kayak mau pergi ke pesta. Tujuannya memang bukan untuk keperluan almarhum, tapi agar keluarganya tetap melihat sosok orang tersebut terlihat keren. Mereka ingin kenangan terakhir dengan almarhum adalah saat di mana almarhum berpenampilan sempurna. Dan saya yakin ini adalah insight seluruh manusia di dunia. Semua orang ingin mati bermartabat. 

Tiba-tiba HP saya berbunyi. Rupanya ada notifikasi dari seseorang yang baru mem-posting sesuatu dan nge-tag saya di Facebook. Ketika saya buka....apa yang saya lihat?

Kembali teman di atas mem-posting foto ibunya dengan caption, “Telah berpulang Ibunda kami bla...bla...bla....”

Foto ibunya sudah memakai kain kafan. wajahnya terlihat sangat pucat dengan bedak yang dibalurkan secara kurang rata. Kedua lubang hidungnya sudah disumpal dengan kapas dan berkombinasi sempurna dengan seragam pocongnya. Sementara di sekeliing foto terlihat anak-anaknya sedang selfie. Hadeuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun