“Bener banget! Dan bisa jadi hal itu juga yang mempercepat kematian Si Sakit,” samber saya.
“Kok bisa begitu?”
“Karena dia kesel difoto tapi ga bisa ngelarang karena ga berdaya,” kata saya lagi.
“Kalo ada yang membesuk terus mereka mau foto kita? Gimana?” tanya Leon lagi.
“Kalo Ayah atau Bunda sakit, jangan izinkan seorang pun ngambil foto. Ga usah takut mereka marah, lebih baik mereka marah daripada Leon bikin jengkel Ayah atau Bunda,” kata Vin lagi.
“Kalo mereka ngambil fotonya diem-diem? Kan susah mengantisipasinya kalo mereka moto pake HP?”
“Kalo begitu, jangan izinkan seorang pun membesuk Ayah atau Bunda kalo kami lagi sakit parah. Sederhana kan?”
Habis pembicaraan itu, saya mulai memahami kenapa orang Nasrani selalu mendandani keluarganya yang wafat. Apabila ada keluarga yang mati tabrakan, tentunya akan menjadi pemandangan yang menyeramkan melihat usus terburai, kepala pecah, sebelah kaki hilang entah ke mana. Mereka tidak akan membiarkan visual seperti itu yang akan nempel di ingatan. Melihat wajah keluarga yang wafat adalah saat terakhir sehingga haruslah ingatan yang baik untuk ditempelkan di kepala.
Umat Nasrani akan menyewa seorang perias mayat untuk mereparasi jenazah sampai bentuknya sempurna kembali. Bahkan mereka akan memakaikan jas, sepatu dan menyisir rambut sehingga Sang Jenazah terlihat perlente kayak mau pergi ke pesta. Tujuannya memang bukan untuk keperluan almarhum, tapi agar keluarganya tetap melihat sosok orang tersebut terlihat keren. Mereka ingin kenangan terakhir dengan almarhum adalah saat di mana almarhum berpenampilan sempurna. Dan saya yakin ini adalah insight seluruh manusia di dunia. Semua orang ingin mati bermartabat.
Tiba-tiba HP saya berbunyi. Rupanya ada notifikasi dari seseorang yang baru mem-posting sesuatu dan nge-tag saya di Facebook. Ketika saya buka....apa yang saya lihat?
Kembali teman di atas mem-posting foto ibunya dengan caption, “Telah berpulang Ibunda kami bla...bla...bla....”